Sungguh pedih garis takdir yang Dewa alami, secara khusus ketika tujuh hari yang dia alami bergelayut mendung gelap. Bukan hanya hatinya, tapi dalam seminggu ini hujan selalu mengguyur kota Batam. Suasana dingin dan mendung seolah mempersonifikasikan perasaan Dewa yang tengah kehilangan.
Pun di hari ketujuh ini, dengan membawa payung hitam, Dewa mendatangi pusara mendiang istri tercintanya. Andai bisa, setiap hari Dewa akan menyempatkan ke tempat pemakaman. Dalam seminggu, sudah lima hari Dewa selalu mengunjungi tempat pemakaman ini.
Bukan dengan tangan kosong, melainkan Dewa selalu membawa bunga kesukaan Tya yaitu Krisan Kuning.
"Aku datang dengan membawa bunga Krisan Kuning kesukaanmu, Sayang. Bunga ini melambangkan keceriaan, semangat, dan kehangatan. Sama seperti sosokmu yang ceria, semangat, dan hangat. Walau sel kanker perlahan-lahan menggerogoti tubuhmu, tapi kamu selalu semangat dan ceria. Bahkan kamu menyembunyikan rasa sakitmu itu."
Sekadar bermonolog dalam hati saja, setitik air mata jatuh dari mata Dewa. Dengan posisi bersimpuh di dekat pusara, tangan Dewa mengusap beberapa kali nisan kayu yang berada di sana. Jujur, setelah kepergian Tya, hatinya menjadi sangat kosong. Hidupnya hanya bergelayut duka.
"Setelah kamu pergi, semua keceriaan, kehangatan, dan semangat itu sirna, Sayang. Aku pun tak memilikinya. Yang ada padaku sekarang hanya rindu. Ya, rindu kepadamu yang raganya sudah tak mampu lagi untuk ku peluk. Rindu kepadamu yang telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya."
Seketika Dewa teringat dengan peristiwa bersama dengan Tya. Satu momen yang masih tersimpan rapat dalam ingatannya.
...🍀🍀🍀...
Delapan Bulan yang Lalu ....
"Gimana Sayang, aku sebenarnya takut dengan kehamilan kamu ini. Aku membaca dan konsultasi dengan temanku, hormon estrogen yang muncul saat kehamilan bisa menyuburkan sisa sel kanker yang masih ada di dalam tubuh usai terapi," kata Dewa.
Ya, Dewa memang banyak melakukan konsultasi. Dia tahu bahwa hormon estrogen yang dihasilkan selama wanita hamil bisa mempersubur sisa sel kanker. Terlebih Tya sendiri mengidap kanker payu-dara tipe ER positif.
"Kalau kamu khawatir sama aku, apa artinya kamu tak menginginkan buah hati kita, Mas? Buah cinta dari ibadah kita bersama?" tanya Tya.
Pertanyaan dari Tya merupakan sebuah pertanyaan yang sangat berat untuk Dewa. Di satu sisi dia tak ingin kehilangan Tya, tapi di sisi lain seolah itu membuat Dewa menjadi sosok calon papa yang antagonis dan kejam. Terkadang terbesit, dia lebih menginginkan Tya saja yang ada di sisinya.
"Dosa loh, Mas. Aku bisa hamil kan berkah dari Allah. Masak iya, kamu menolaknya?"
Ah, rasa-rasanya Dewa merasa benar-benar berdosa. Namun, dia sangat mencintai Tya sampai rasanya takut kehilangan. Sama-sama beratnya, tapi Dewa juga hanya manusia biasa yang takut kehilangan pendamping hidupnya.
"Ada studi di mana 43% penderita kanker payu-dara ketika hamil akan dilakukan abortus spontan, jadi ...."
Dewa tak jadi melanjutkan ucapannya. Hatinya terasa sesak. Seolah-olah dia secara implisit meminta istrinya melakukan abortus spontan. Ya Allah, Dewa merasa berdosa dan bersalah dengan janin yang masih berada di dalam rahim istrinya.
"Astagfirullah, Mas. Jangan begitu. Berdosa loh, Mas. Hidup dan mati manusia itu ada di tangan Allah. Biarkan aku merasakan nikmatnya menjadi seorang ibu. Hasil akhirnya, aku serahkan kepada Allah. Jangan cabut harapan ketika aku sendiri sedang menyemainya," balas Tya.
Dewa menunduk lesu. Rasa takut di hatinya kian menjadi-jadi. Benar, seperti ucapannya. Produksi hormon estrogen nyatanya membuat sel kanker di tubuh Tya semakin subur.
...🍀🍀🍀...
Usai Kelahiran Baby Qinan ....
"Bu Tya, Anda tahu bahwa Anda mengidap kanker payu-dara tipe ER-Positif (Estrogen Reaktif-Positif). Nah, jadi sebenarnya kondisi tubuh Bu Tya sekarang istilah medisnya Metastasis atau kanker memasuki stadium lanjut. Bersiap kembali kemoterapi yah, Bu."
Dewa terhenyak, mendengar kata kemoterapi yang Dewa bayangkan adalah rambut Tya akan perlahan-lahan rontok hingga akhirnya botak. Oleh karena itu, tak jarang para survivor kanker membotaki kepalanya.
"Apa saya akan botak, dok?" tanya Tya.
"Tidak, reaksi kemoterapi kali ini akan membuat kulit Bu Tya menggelap."
Mendengar risiko itu saja Tya masih bisa tersenyum. "Syukurlah, dengan begitu bayi saya masih akan melihat Mamanya masih cantik, tidak botak," balas Tya.
"Sayang," suara Dewa terdengar lirih.
"Tidak apa-apa, Mas. Setidaknya Qinan akan melihatku seperti ini adanya."
dokter Pritha yang mendengarkannya saja merasa begitu sedih. Namun, dia harus menguatkan pasiennya.
Setelah itu, setiap kali kemoterapi, tubuh Tya benar-benar rapuh. Dia mengalami mual dengan begitu hebat. Walau begitu, dia masih berusaha menggendong Qinan.
"Maafkan Mama ya, Qinan Sayang. Qinan gak bisa merasakan ASI. Sejak Qinan lahir, Qinan cuma bisa merasakan susu formula. Walau tak bisa memberikan ASI, Qinan semoga sehat selalu dan selalu sayang Mama yah. Walau ... Mama tak tahu lagi... usia Mama akan terhenti di batas apa. Kamu akan besar dan tumbuh tanpa ... Mama, Nak."
Melakukan sounding dengan Baby Qinan, justru hati Tya bak diremas hingga sangat sakit dan ngilu. Sorot binar kedua mata Qinan hanya bisa menatap sang Mama, dengan kemampuan pandangan bayi yang masih samar. Namun, ada senyuman di sudut bibir Qinan.
"Sedihnya Mama ... harus berpisah denganmu, Qinan."
Sejak saat itu kesehatan Tya semakin menurun. Bagian kulit di tangannya semakin gelap efek dari kemoterapi. Hingga akhirnya sel kanker itu menyebar hingga ke paru-paru dan akhirnya Tya tak mampu lagi bertahan. Ketika usia Qinan baru tiga bulan, bayi kecil itu sudah harus berpisah dengan Mamanya.
...🍀🍀🍀...
Sekarang ....
"Ada rasa bersalah ketika aku mengatakan tentang abortus spontan dulu, Sayang. Kini, saat menatap mata Qinan, aku seolah menatap mata kamu. Ya, Qinan seolah replika kamu."
Kepada Tya, Dewa bisa jujur. Sakit di hati kian bertambah rasanya. Namun, sekarang baru Dewa sadari bahwa keputusan Tya mempertahankan Qinan sangat tepat.
"Qinan seolah menjadi cindera mata terindah darimu. Kepada Qinan, aku akan mencurahkan kasih sayangku."
Usai itu gerimis rintik-rintik kembali turun. Dewa kemudian mengusap perlahan nisan yang ada di sana. Sorot matanya memindai dari nisan kayu hingga dengan gundukan tanah merah yang berada di sana hingga bunga-bunga yang perlahan kering. Hujan kembali datang, seolah menjadi tanda bahwa dia harus segera pulang.
"Aku akan pulang, Sayang. Sebisa mungkin aku akan sering datang. Hujan memang reda, tapi setiap kenangan dirimu tetap ada."
Pria itu berdiri, kemudian dia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Perlahan-lahan kakinya melangkah meninggalkan tempat pemakaman itu. Ya, hujan memang sudah reda, tapi semua kenangan masih ada. Kenangan tentang Tya akan tetap hidup di hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
💜jiminaa💜🐣
😭😭😭
2024-02-21
1
R_3DHE 💪('ω'💪)
😭😭😭😭😭
2024-01-28
0
Esther Lestari
😢😢😭😭
2023-12-30
0