Dewa tertegun, Gita kali ini mengatakan hal demikian. Pria itu mengusapi wajahnya, sesaat tadi Gita sangat baik dan perhatian untuk Qinan. Namun, setelahnya Gita berargumentasi berdasarkan kisah cinta Utsman bin Affan, Ruqqayah, dan Ummu Khulsum.
"Kenapa berat untuk bisa melepaskan semua tentang Tya? Bahkan di mataku, Gita masih seorang adik ipar bagiku."
Dewa bergumam sendiri. Harus dia akui dalam hatinya bahwa dia memandang Gita masih sebagai adik iparnya. Sikap ketusnya seolah menunjukkan bahwa dia memang belum bisa menerima Gita.
"Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah?"
Akhirnya Dewa berjalan lunglai masuk ke dalam kamarnya. Dia merebahkan dirinya di ranjang, dengan bagian kakinya masih menjuntai di lantai. Dia mencari arti juga apa sebenarnya yang dimaui hatinya.
Hingga keesokan harinya, Gita dan Dewa kembali bertatap muka. Gadis itu seperti biasa, masih terlihat ceria dan mengurus Qinan seperti biasanya. Namun, Gita sejatinya juga manusia biasa. Dia menginginkan kejelasan dan rasa hormat terhadap sebuah ikatan. Setidaknya suaminya itu tidak mengubur diri dalam duka yang tak berkesudahan.
"Mas, minggu depan aku akan mengikuti liburan dengan teman-temanku dari Bank dulu ke Johor Bahru," kata Gita kepada Dewa.
"Kalau aku tidak mengizinkan? Kamu sudah mengambil keputusan sendiri, padahal aku belum memberikan izin," balas Dewa yang berbicara tanpa menatap Gita.
"Aku ke Johor untuk tiga hari. Ku pikir aku tidak membutuhkan izin dari Mas Dewa, aku hanya memberitahu saja kalau aku akan pergi," balas Gita.
Jika sudah seperti ini sikap Gita seakan seperti seorang istri yang kurang ajar. Tidak hormat kepada suami sendiri. Namun, istri mana yang akan tahan ketika dia jelas-jelas tak diinginkan suaminya.
"Kenapa kamu membangkang sih, Ta? Sejak dulu kamu seperti ini? Kenapa kadang aku tidak melihat sikapmu yang seperti ini. Waktu menjadi adik iparku, kamu tidak seperti ini," kata Dewa.
"Kan dulu kita jarang bertemu, Mas. Sekarang kita kan satu atap," balas Gita.
Yang disampaikan oleh Gita pun ada benarnya. Dulu, mungkin ada beberapa sifat dan karakter yang tak terlihat karena dulu hanya saudara ipar, tidak setiap hari bertemu. Sekarang, ketika tinggal bersama dalam satu atap, lambat laun setiap karakter akan terlihat dengan jelas.
"Aku ini suamimu, harusnya kamu nurut sama suami."
Saat Dewa mengatakan demikian, Gita tersenyum, walau dadanya sebenarnya terasa sesak dan begitu sakit.
"Suami dalam konteks apa, Mas? Jangan-jangan Mas mengikatku di sini agar supaya ada yang mengasuh Qinan kan? Jika benar, aku benar-benar tak masalah mengasuhnya, karena aku sayang kepada Qinan. Ketika terdesak, Mas bilang sebagai suami. Padahal satu-satunya yang Mas pandang sebagai istri itu hanya Mbak Tya. Seseorang pernah berkata bahwa kita gak akan pernah cukup untuk orang yang tidak tepat. Sama seperti aku kan Mas? Kamu nilai aku ini pembangkang bahkan tidak sama seperti Mbak Tya. Itu artinya kita tidak tepat untuk satu sama lain."
Usai mengatakan semua itu, Gita masuk ke dalam kamarnya. Sementara Dewa masih berdiri di tempatnya. Jika dipikir-pikir intensitas adu mulut Dewa dan Gita sekarang semakin meningkat. Tak jarang memang Dewa sering emosi karenanya.
...🍀🍀🍀...
Satu Minggu Kemudian ....
Dengan atau pun tanpa restu dari Dewa, Gita tetap melakukan packing untuk perjalanan selama tiga hari ke Johor Bahru. Jika Dewa menganggapnya hanya sebagai seorang pengasuh, bukankah seorang pengasuh juga membutuhkan cuti dan hari libur? Sedangkan Gita sejak menikah dengan Dewa, pengasuhan Qinan dan mengurus rumah Gita lakukan tanpa pernah ada hari libur.
Jujur, Gita pun sedih ketika harus berpisah sebentar dari Qinan. Namun, dia butuh istirahat sebentar, mengisi hari dengan keseruan lain dengan teman-temannya. Berbulan-bulan berlalu, dan Gita terbilang mengasuh Qinan dengan sangat baik.
"Besok Ante akan jalan-jalan ke Johor Bahru dulu yah, Qinan. Nanti Ante beliin oleh-oleh buat Qinan dari Johor. Jangan menangis yah, hanya dua malam Qinan bobok sama Papa dulu yah," kata Gita dengan mencium pipi Qinan.
Keesokan Paginya ....
Dari Batam ke Johor Bahru terdapat sebuah fast ferry yang akan berangkat pukul 06.00 pagi dari Harbour Front. Oleh karena itu, Gita bangun sangat pagi untuk mempersiapkan perjalanannya. Juga harus mengantri di imigrasi untuk pengecekan pasport.
Pagi masih buta, Gita sudah mandi dan berganti baju dengan kemeja dan celana jeans panjang. Dia tinggal menunggu nanti akan memesan taksi untuk menuju ke Harbour Front dan segera menikmati jalan-jalan ke Johor Bahru. Akan tetapi, pagi itu Qinan tantrum, ya bayi itu menangis. Dewa sudah menggendong Qinan, tapi Qinan masih menangis.
Mendengar suara tangisan Qinan, Gita merasa tersentuh. Gadis itu berjalan keluar dari kamarnya dan mengetuk ke kamarnya Dewa. Yang empunya kamar pun membukakan pintu dengan menggendong Qinan.
"Masih pagi, Nak ... Qinan kok nangis sih," kata Gita.
Dewa diam saja, dia tetap menggendong Qinan dan berusaha menenangkan putrinya itu. Sementara Gita akhirnya membuka kedua tangannya. "Sini, Qinan ikut Ante dulu yah," katanya.
Dewa memberikan Qinan kepada Gita, pria itu masih berdiri di depan Gita. Gita menggendong Qinan dan mengusapi punggung bayi kecil itu, sembari melakukan sounding supaya Qinan menjadi lebih tenang. Namun, semakin lama menggendong Qinan, Gita merasakan ada yang berbeda.
Suhu tubuh Qinan naik dan terasa panas. Ya, Qinan demam pagi itu. Gita kemudian meraba kening Qinan, menyentuhkan telapak tangannya di kening keponakan yang kini sudah menjadi anak sambungnya itu.
"Kayaknya kamu demam deh, Qinan."
Satu kalimat yang Gita ucapkan membuat Dewa panik. Dia juga meraba kening Qinan, telapak tangannya merasakan memang kening Qinan terasa panas.
Gita berusaha tenang walau sebenarnya dia sendiri juga khawatir. "Ikut Ante ke kamar dulu yah. Kita cari termometer dan cek suhu tubuh kamu yah."
Gita menggendong Qinan masuk ke kamar, dan Dewa pun mengekori Gita. Gita berusaha tenang, walau juga panik. Setelahnya dia meraih termometer dan mengarahkannya ke kening Qinan untuk mengetahui suhu tubuh bayi kecil.
Termometer itu berbunyi dan layarnya menjadi orange. Tanda bahwa memang Qinan tengah demam.
"Demam. 38'."
Gita mengedarkan matanya ke sekeliling kamarnya berusaha mencari obat penurun demam yang bisa diminum Qinan terlebih dahulu. Dewa juga turut membantu.
"Itu obatnya di lemari atas, biar aku yang ambil," kata Dewa.
Gita hanya mengangguk, tapi lebih baik baginya untuk tak terlalu banyak berbicara.
"Diminumin ini?" tanya Dewa.
"Iya."
"Takarannya berapa, Ta?"
"0,6ml aja, Mas. Biasanya Qinan gak suka minum obat tuh. Gimana yah?"
Dewa kemudian kembali berbicara. "Kita coba minumkan dulu aja. Setelahnya boleh kamu tinggal, Ta. Kamu kan mau ke pelabuhan. Maaf, aku gak bisa nganter kamu karena Qinan demam dan tantrum."
Gita mengangguk saja, walau sekarang dia kepikiran Qinan juga. Masak iya, ketika anak sedang sakit, dia akan tetap pergi. Lalu, apakah keputusan yang akan Gita ambil?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Enisensi Klara
Pasti Gita ga jadi pergi karena Qinan demam 😳😳😳
2023-12-22
1
Enisensi Klara
masa dewa ga tau dan ga merasa Qinan demam sih ,malahan Gita yg tau
2023-12-22
1
Enisensi Klara
Qinan tau kalo ditinggal mm Gita jadi nangis 😳
2023-12-22
1