Selang sepekan kemudian, Dewa berbicara kepada Gita. Dia mendapat undangan untuk menghadiri rekannya di Tanjung Pinang. Setidaknya Dewa hendak pamit terlebih dahulu kepada Gita.
Sayangnya, waktu itu di rumah ada Mama Endang dan Mama Rita sama-sama berada di rumah Dewa. Keduanya datang untuk mengunjungi Gita dan Qinan tentunya. Mama Rita juga banyak bertanya terkait perkembangan rumah tangga Gita dan Dewa.
"Bagaimana, Ta ... bisa beradaptasi dengan Dewa?" tanyanya.
"Sedikit, Ma," jawabnya.
"Yang sabar ya, Ta. Kunci menjalani kehidupan pernikahan itu sabar. Sabar di hati, sabar menjalani. Insyaallah, nanti kalian berdua akan bahagia," kata Mama Rita.
Gita tersenyum tipis. Sejauh ini dia sudah begitu sabar dengan Dewa. Ketika dia tak diperlakukan layaknya seorang istri saja, Gita sabar. Diabaikan, sering tidak diajak bicara, dan juga seolah menjalani mengasuh Qinan sendiri saja Gita sudah sabar. Akan tetapi, sekarang Gita memilih diam. Dia tidak akan membuka keburukan suaminya. Menjaga marwah seorang suami yang akan Gita lakukan.
"Kalau menikahi duda dengan status cerai mati, itu lebih sulit ya Ma?" tanya Gita.
Saat itu Mama Endang dan Mama Rita saling pandang. Kemudian Mama Endang bertanya kepada Gita. "Kenapa, Ta? Apakah Mas Dewa masih berduka?"
Gita tersenyum tipis lagi. Kemudian dia berbicara. "Bukan, maksudnya Gita kan kalau cerai karena meninggal dunia itu bisa saja dalam sujudnya masih menyebut nama almarhumah, dalam lamunan masih terbayang, lebih sukar ya, Ma?"
"Itu bisa saja terjadi, Ta. Yang pasti kamu yang sabar. Isi hari-hari Dewa dengan hal yang baik dan kebahagiaan," kata Mama Rita.
Setelahnya Dewa turun dari kamarnya, dia bergabung dengan Mama Rita dan Mama Endang di ruang tamu. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin dia sampaikan kepada Gita.
"Gita, akhir pekan nanti aku akan ke Tanjung Pinang. Ada temanku yang menikah. Acaranya sore hari, jika tak memungkinkan mendapatkan kapal ferry pada malam hari, aku akan menginap di sana semalam," kata Dewa.
Gita menganggukkan kepalanya saja. Kemudian Mama Rita berbicara. "Kenapa kamu enggak mengajak Gita saja?"
"Qinan tidak ada yang menjaga, Ma," balas Dewa.
"Qinan biar Mama yang jaga. Kamu ajak saja Gita. Teman-temanmu juga biar tahu bahwa kamu sudah menikah," balas Mama Rita.
"Gak usah, Ma. Gita di rumah saja mengasuh Qinan."
Mama Endang kemudian menatap putri bungsunya itu. "Ikut saja, Qinan biar Mama yang urus. Lagipula, sejak menikah dengan Dewa, kamu hanya berada di dalam rumah aja. Ikutlah Dewa."
Gita terdiam, bagaimana pun sebenarnya dia tidak diajak oleh Dewa. Sehingga memang lebih baik berada saja di rumah. Beda kalau suaminya memang berinisiatif untuk mengajaknya.
"Sudah sana, kalian butuh waktu bersama. Urusan Qinan biar kami yang mengasuh, lagian Qinan minumnya juga bukan ASI, penting stok Susu Formula ada."
Dewa dan Gita sama-sama diam. Tak bereaksi apa pun. Namun, Mama Rita dan Mama Endang memang berharap Dewa dan Gita akan sama-sama bahagia.
...🍀🍀🍀...
Akhir Pekan Kemudian ....
Dewa akhirnya mengajak Gita menuju ke Tanjung Pinang. Bukan naik ferry, tapi Dewa memilih naik Kapal Roro, karena dia membawa mobil dari Batam. Dari rumahnya menuju Pelabuhan Telaga Punggur seakan tidak ada yang keduanya bicarakan.
Hingga begitu sudah tiba di Pelabuhan Telaga Punggur, Dewa barulah berbicara. "Aku membeli tiketnya dulu, tunggu di sini."
"Ya, Mas."
Akhirnya, Dewa membeli tiket kapal terlebih dahulu, kemudian dia memarkirkan mobilnya memasuki Kapal Roro yang akan menyebrang ke Tanjung Pinang. Di sana keduanya berpisah. Sama-sama di bagian atas kapal yang outdoor, tapi tidak berdekatan satu sama lain. Gita memilih menikmati buku yang sengaja dia bawa supaya tidak banyak berbicara dengan Dewa. Dari jauh, sesekali Dewa memperhatikan Gita. Setidaknya memang Gita masih dia awasi.
Satu jam berlalu, akhirnya Dewa berjalan ke arah Gita dan mengajak Gita untuk masuk ke mobilnya karena perjalanan akan dilanjutkan dengan mobilnya.
"Ayo, Ta ... kita turun," ajaknya.
Gadis itu kemudian menganggukkan dan berjalan mengekori Dewa. Hingga akhirnya, kapal bersandar dan mereka lanjutkan perjalanan dengan mobil ke dalam tempat acara. Gita tak bertanya apa pun, lebih tepatnya dia hanya lebih menjaga supaya tidak berdebat saja dengan Dewa.
Sebelum di tempat acara, Dewa menghentikan mobilnya di tempat pengisian bahan bakar karena pria butuh toilet untuk mengganti pakaiannya.
"Kita berhenti di sini dulu kalau kamu mau berganti baju, bisa di toilet yang ada di pom bensin. Aku tunggu, aku bertukar kemeja di sini saja."
Gita menurut saja, dia turun dan mengganti pakaiannya. Kali ini dia mengenakan kebaya model encim berwarna biru. Bagian bawahnya dia kenakan rok batik model lilit panjang. Tak lupa Gita merapikan rambutnya juga, sekadar mencepolnya dan sedikit merapikan riasan di wajahnya. Begitu minimalis make up yang Gita buat di wajahnya, tidak pernah menor.
Usai itu, Gita kembali ke mobil suaminya. Di sana Dewa juga sudah mengganti kemeja dengan mengenakan kemeja batik dan mengenakan sepatu. Dewa sedikit mencuri pandang ke arah Gita.
"Kita lanjut lagi yah," kata Dewa.
"Hm, iya."
Akhirnya sekarang mereka tiba di sebuah resort yang berada di tepi pantai. Acara pesta pernikahan sore itu memang dilangsungkan di resort dengan mengusung konsep outdoor. Gita terpukau dengan dekorasi pernikahan yang indah dengan lautan biru sebagai latarnya. Namun, seperti biasa gadis itu tak banyak berbicara.
"Dewa, sini ...."
Akhirnya Dewa bergabung dengan teman-temannya dari perusahaan tempatnya bekerja. Ada beberapa teman juga yang menanyakan siapa gadis yang dibawa Dewa.
"Sama siapa, Dewa?"
"Gandengan baru nih ...."
"Dikenalin ceweknya, Pak Dewa."
Dewa tersenyum, kemudian dia berbicara. "Perkenalkan, dia Gita ... istriku," katanya.
Gita tersenyum dan bersalaman dengan teman-teman suaminya. Bersikap sopan dan sewajarnya saja. Dewa pun lebih banyak tersenyum sore itu.
"Kalau istrinya, digandeng Pak Dewa. Istrinya kecil gitu, nanti hilang," kata seorang temannya.
Perawakan Gita memang kecil badannya, walau sebenarnya dia lumayan tinggi. Walau memang Dewa berpostur tinggi dan tegap.
Lalu, ada kalangan petinggi perusahaan yang datang juga. Dewa mengajak Gita menyapa kalangan para Boss di perusahaan tempatnya bekerja.
"Selamat petang Pak Tarto, Pak Supri, dan Pak Ahsan," sapa Dewa.
"Datang juga, Dewa. Sama siapa ini?" tanya Pak Tarto yang memang atasan Dewa secara langsung.
"Dia istri saya ... namanya Gita."
"Kali ini harus bahagia ya, Dewa. Semua kenangan jika memang masih tersimpan tidak apa-apa. Namun, hari tak selamanya berkabut kan? Allah sudah berikan Gita. Kamu harus berbahagia," kata Pak Tarto.
Di saat itu, tanpa sengaja Dewa menyentuh tangan Gita dan menggenggam telapak tangan yang ukurannya jauh lebih kecil dari miliknya. Gita merasa terkesiap, sedangkan Dewa tersenyum menatap atasannya. Tak ada kontak mata dengan Gita yang berdiri di sampingnya. Lalu, apa maksud genggaman tangan Dewa itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Enisensi Klara
Awal2 mulai genggam tangan Gita ,nanti2 apa yah 🤔🤔🤔
2023-12-12
3
Enisensi Klara
Tuh ...dengarin omongan pak tarto ....dewa ....jgn bandingkan lagi Gita dgn Tya 😳
2023-12-12
2
Enisensi Klara
suka membandingkan ma dgn Tya 😳😳😳
2023-12-12
1