"Kamu mau kan, Ta?"
Kalimat pertanyaan dari Dewa meluncur juga. Dia mengatakan untuk memulai lagi dari awal. Memberi kesempatan untuk menata kehidupan pernikahan yang lebih baik lagi.
Belum Gita menjawab, Qinan terbangun. Anak kecil itu tak menangis, tapi langsung tersenyum lebar. Sedangkan Dewa masih nyaman menggenggam tangan Gita. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Dewa akan menyentuh tangan Gita seperti ini.
"Lepas, Mas," kata Gita lirih.
Dewa menggelengkan kepalanya. "Biar saja."
Dewa memilih untuk tetap menggenggam tangan Gita. Lagipula Qinan masih kecil, dia mungkin tak begitu memperhatikan kedua orang tuanya kini yang sedang berpegangan tangan.
Hingga akhirnya, mereka makan malam bersama. Kemudian Gita juga menidurkan Qinan terlebih dahulu. Mungkin karena kelelahan bermain, Qinan bisa tidur lebih cepat. Saat itu, terdengar ketukan di pintu kamar Gita. Gadis itu berdiri dan merapikan rambutnya, barulah membukakan pintu. Ternyata yang mengetuk pintu adalah Dewa.
"Kenapa Mas?" tanya Gita pelan.
"Hm, ini ... ada yang mau aku katakan," katanya.
Gita mengernyitkan keningnya. Hingga akhirnya, dia seolah menunggu apa lagi yang akan dikatakan oleh Dewa kepadanya.
"Ta, terkait ucapanku tadi sore. Kita mulai dari awal untuk pernikahan kita yah?"
Dewa mengatakan itu. Pria itu berusaha untuk menatap wajah Gita. Sedangkan, Gita sekarang justru menunduk.
"Kita duduk dulu aja, aku mau bicara."
Dewa berjalan, dan Gita mengekorinya. Sekarang, keduanya duduk bersama di sofa yang ada di sudut lantai dua. Gita sebenarnya mulai sungkan, terlebih tadi ketika Dewa berani menggenggam tangannya.
"Mau bicara apa, Mas?" tanya Gita.
"Pertanyaanku tadi sore, belum kamu jawab."
Gita berusaha mengingat-ingat, pertanyaan yang mana yang belum sempat dia jawab. Jujur, Gita nyaris lupa. Walau begitu, Gita sekarang masih berusaha untuk mengingat-ingat lagi.
"Yang mana?" tanya Gita lirih.
"Maukah kita mewujudkan kehidupan pernikahan yang lebih baik? Duka di hatiku perlahan bisa ku atasi, mentalku semakin membaik. Jadi, aku ingin kita bisa melangkah lebih maju," kata Dewa.
Harus Dewa akui butuh waktu baginya untuk mengatasi duka di dalam hatinya. Butuh waktu baginya untuk menyehatkan kembali mentalnya. Pria itu tertekan dan kehilangan, tapi selama ini hanya diam.
"Seperti apa itu?" tanya Gita.
"Dulu kamu pernah berkata bahwa pernikahan kita hanya di atas kertas saja kan? mulai hari ini, ayo kita wujudkan bersama kehidupan pernikahan yang sesungguhnya."
Dewa mengatakan semua itu dengan sangat serius. Sekarang, dia merasa sudah siap untuk memulai kehidupan rumah tangga. Hampir satu tahun sejak kepergian Tya. Waktu yang terbilang panjang bagi Dewa untuk membereskan hatinya.
Sementara dalam kurun waktu itu juga, Gita memilih diam dan menunggu. Dia melakukan tugasnya sebagai pengasuh Qinan dengan sangat baik. Memprioritaskan Qinan, walau sebenarnya Qinan hanya keponakannya saja.
"Kamu mau kan? Menganggap aku, Qinan, dan pernikahan ini sebagai takdir?" tanya Dewa perlahan.
"Apa Mas Dewa yakin? Bisa menerimaku yang jelas-jelas berbeda dengan almarhumah Mbak Tya, tidak membandingkan aku dengan kakakku sendiri yang sudah tiada?"
Selama menjadi istri Dewa, luka yang Gita rasakan paling pahit adalah ketika Dewa membandingkannya dengan Tya. Benar mereka saudara kandung, tapi keduanya berbeda satu sama lain. Layaknya induk ayam yang bertelor kemudian mengerami telornya selama 21 hari. Akan tetapi, ketika telor-telor itu menetes akan menghasilkan anak ayam yang beragam. Ada yang bulunya hitam, ada yang bulunya kuning. Walau dari induk yang sama, tetap saja berbeda.
Dewa mengangguk setuju. "Maaf, kalau selama ini aku sering menyakiti hatimu dengan mengatakan demikian. Aku sudah belajar, dan berusaha tidak akan melakukannya lagi," kata Dewa.
Gita juga mengangguk pelan. Jika memaafkan, pastilah Gita akan memaafkan. Allah saja maha pengasih dan penyayang. Sehingga, dia juga mau mengampuni dan memaafkan.
"Makasih, Ta."
"Iya, sudah kan Mas? Aku mau kembali masuk," balas Gita.
Dewa sekarang bisa tersenyum tipis lagi. "Tidak perlu masuk ke sana lagi, Ta. Kan kita mau memulai mewujudkan yang lebih baik. Jadi, mulai malam ini kita sekamar yah? Membiasakan diri dulu satu sama lain," kata Dewa.
Gita bingung seketika. Kenapa harus sekamar? padahal selama ini, dia tak pernah memasuki kamar Dewa. Dulu pun saat masih berstatus sebagai adik ipar, Gita juga tidak pernah memasuki kamar kakaknya. Gita tahu bagi pasangan yang menikah, kamar itu adalah privasi. Sehingga Gita juga tidak pernah masuk-masuk ke kamar Tya dan Dewa dulu.
"Harus sekarang?" tanya Gita dengan begitu naif.
"Iya, kenapa kamu takut? Dulu, di Tanjung Pinang, kita pernah menginap satu kamar berdua kan?"
Memang benar dulu mereka pernah satu kamar, tapi waktu itu Dewa memilih tidur di sofa. Sementara Gita sendiri yang menempati ranjang berukuran Super King size di Tanjung Pinang dulu.
"Tapi, Mas ...."
Dewa sudah berdiri, dia mengulurkan tangannya dan mengajak Gita untuk masuk ke dalam kamarnya. Lantaran Gita tak menautkan tangannya, Dewa pun segera meraih tangan Gita.
"Ayo ...."
Mau tidak mau Gita berdiri dan mengikuti Dewa untuk masuk ke dalam kamarnya. Jantung gadis itu berdebar-debar, ada rasa takut juga. Terkadang Gita memang naif, tapi Gita juga tahu bahwa mewujudkan pernikahan sesungguhnya pastilah akan lebih banyak romansa yang tercipta.
Dewa membuka pintu kamarnya. Akhirnya, ada wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya. Kamar adalah tempat privasi bagi seseorang, bermula dengan satu kamar inilah Dewa ingin membagi hidupnya, menunjukkan bagian hidup pribadinya yang tidak banyak diketahui oleh orang lain.
Pandangan Gita mengedar ke seluruh penjuru kamar. Walau ditempati dan dibersihkan Dewa sendiri, kamar itu begitu rapi dengan ranjang berukuran besar di tengah-tengahnya. Mata Gita menangkap masih ada foto pernikahan Dewa dengan Tya yang menghiasi dinding kamar itu. Sangat wajar, bagaimana pun Tya adalah kekasih hatinya yang Allah pisahkan melalui maut.
"Kamarku, dan akan menjadi kamarmu juga," kata Dewa.
Gita diam, walau rasanya masih begitu sungkan. Satu kamar dengan lawan jenis rasanya tetap tidak biasa untuknya.
"Ayo, masuk."
"Mas, tapi ...."
Dewa mengangguk pelan. "Tidak ada tapi, ayo ... kamar ini terkoneksi dengan kamar Qinan, jadi aman."
Gita juga melihat pintu yang terakses ke kamar Qinan. Namun, Gita juga masih takut dan sungkan. Kenapa tiba-tiba Dewa berubah.
"Cuma satu kamar kok, satu tahap demi satu tahap dulu. Tidak usah terburu-buru," kata Dewa lagi.
Dewa juga tidak ingin buru-buru. Yang pasti Dewa sudah membuka hatinya, Dewa sudah merasa lebih baik untuk meninggalkan kain berkabung yang selama ini menyelimuti hatinya. Dia akan memulai kehidupan pernikahan yang lebih baik dengan Gita sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Alissia
/Facepalm/
2025-03-29
0
Esther Lestari
foto Tya turunin dulu Dewa, nanti Gita merasa diawasi Tya kalo tidur sama kamu
2023-12-30
3
Enisensi Klara
Harusnya foto lama udah diturunkan aja lah ganti foto baru ,kan katanya memulai yg baru
2023-12-23
2