NovelToon NovelToon

Duda Terpaksa Turun Ranjang

Hari Kelabu

Dewangga menatap pilu pada jenazah sang istri yang meregang nyawa ketika bayi kecilnya Qinan masih berusia tiga bulan. Ya, raga yang sudah tak bernyawa itu membujur kaku tampak menutup mata untuk selamanya dengan wajah yang teduh. Kain kafan berwarna putih membungkus tubuh Tya. Itu adalah pakaian terakhirnya yang akan menemaninya untuk disemayamkan di dalam pusara keabadian nanti.

Sementara pandangan Dewa tak henti-hentinya tertuju kepada almarhumah istri tercinta. Dunia yang dia miliki seakan runtuh. Dengan perasaan yang koyak, Dewa hanya bisa meratap dalam hati. Air mata tak bisa berlinang, tapi kedua bola matanya memerah dan terasa perih.

"Ikhlaskan Tya, Dewa ... Insyaallah, Tya sudah tidak merasakan sakit lagi di dunia ini. Tya meninggal dengan husnul khotimah. Sabar dan kuat," kata Bu Endang kepada menantunya itu.

Sementara Dewa terdiam tanpa kata. Rasanya, Tya meninggalkannya terlalu cepat. Bahkan sangat menyiksa batinnya. Seolah-olah separuh nyawanya turut membersamai Tya.

Hingga beberapa saat kemudian usai prosesi acara di rumah, jenazah Tya akan diberangkatkan menuju ke pemakaman. Dewa berusaha tegar, dia turut mengangkat keranda jenazah istrinya. Memasuki ambulance yang kali ini akan menuju ke tempat pemakaman.

Baju koko hitam dan peci hitam yang Dewa kenakan seakan menjadi simbol bahwa memang pria itu sedang berduka. Hari ini benar-benar menjadi hari yang kelabu bagi Dewa. Baginya, Tya adalah dunianya. Ketika Tya pergi untuk selama-lamanya, maka dunia itu hancur.

Begitu tiba di area pemakaman, mulailah seorang pemuka agama memimpin pembacaan ayat i suci Al'Quran. Lalu, jenazah Tya mulai disemayamkan di liang lahat. Pun dengan Dewa yang turut turun dan membaringkan istri tercintanya di sana.

Sebelum tanah mulai mengubur jenazah Tya, Dewa melantunkan kalimat syahadat terlebih dahulu di telinga Tya. Dalam pusara gelap dan terdalam, ada Allah yang Maha Besar dan Maha Kuasa. Kiranya Allah membukakan pintu surga, mengampuni dosa-dosanya, dan juga melapangkan jalannya.

"Insyaallah, aku akan mencoba ikhlas, Tya. Aku akan selalu mencintaimu," kata Dewa lirih dengan setitik air mata yang jatuh di pipinya.

Hingga akhirnya tanah perlahan-lahan dimasukkan dan mengubur sepenuhnya raga yang terbujur kaku di dalam pembaringan terakhir. Sirat jingga di angkasa, tiupan angin yang membuat beberapa bunga kamboja jatuh seolah menjadi saksi betapa pilunya kehilangan yang dirasakan oleh Dewa.

Hingga pria itu bersimpuh di depan pusara, bunga-bunga mulai ditaburkan dengan linangan air mata dari keluarga dan sahabat. Bahkan Bu Endang tergugu pilu di sana.

"Kamu pergi mendahului Mama, Tya. Pertama Papamu yang pergi terlebih dahulu. Sekarang, kamu yang meninggalkan Mama," kata Bu Endang dengan terisak-isak.

"Sabar, Bu. Ikhlas, Mbak Tya sudah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah," kata salah seorang pelayat di sana.

Hingga akhirnya beberapa pelayat mulai meninggalkan tempat pemakaman. Sementara masih ada Dewa, Bu Endang, dan seorang gadis muda yang membawa foto almarhumah Tya.

Jika Bu Endang dan gadis muda itu menangis tersedu. Sementara Dewa hanya terdiam. Pandangannya jatuh hanya ke atas pusara dan nisan yang mencetak jelas nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian istri tercintanya.

Dua puluh delapan tahun, terbilang begitu muda. Namun, bukankah sejatinya hidup, pertemuan, jodoh, dan maut sepenuhnya ada di tangan Allah? Di dalam ketetapan-Nya saja?

"Mari kita pulang," ajak pemuka agama di sana.

Ketiganya mengangguk, lantas berjalan menunggu tempat peristirahatan terakhir Tya. Wajah menunduk pilu, dan ada rasa kehilangan karena perpisahan yang begitu mendalam.

Begitu tiba di rumah, Dewa menatap putri kecilnya Qinan yang masih berusia tiga bulan. Hatinya begitu iba karena anak sekecil Qinan sudah harus terpisah dari Mama tercintanya. Menyebut nama sang Mama saja belum bisa, tapi Qinan sudah harus berpisah. Bukan perpisahan sementara, tapi perpisahan untuk selama-lamanya.

Dewa memilih membersihkan dirinya terlebih dahulu, dan setelahnya mulai menggendong Bayi Qinan.

"Qinan sama Papa yah," katanya lirih.

Menatap wajah Qinan, hati Dewa bak diremas. Bagaimana tidak, mata yang Qinan miliki seperti mata Tya. Bibir yang Qinan punyai seperti bibir Tya. Menatap wajah Qinan seolah membuat Dewa menatap wajah mendiang istrinya yang telah tiada.

"Bagaimana bisa Papa bangkit kalau menatapmu saja membuat Papa mengingat mamamu?"

Qinan tentu tak memahami apa yang terjadi sekarang. Kehilangan pun tak bisa dia rasakan. Usainya masih terlalu kecil untuk memahami semuanya. Kelak saat Qinan beranjak besar pastilah perlahan-lahan dia akan memahami bahwa ada Mama yang tersenyum melihatnya dari surga sana. Mama yang belum sempat dia panggil, belum sempat berkenalan dengannya untuk waktu yang lama. Akan tetapi, sosok itu adalah wanita yang hebat untuk Qinan.

...🍀🍀🍀...

Malam Harinya ....

Turun dari kamarnya, Dewa bergabung dengan acara pembacaan doa dan surat Yasin untuk mendiang Tya. Hati pria itu masih berselimut duka, berusaha tegar, walau sebenarnya Dewa sendiri begitu rapuh. Dia sekarang bagaikan kayu lapuk yang tidak memiliki kekuatan sendiri. Pada acara tahlilan itu, setiap orang yang hadir melihat iba pada bayi Qinan. Bayi sekecil Qinan sudah berpisah selama-lamanya dari Mamanya adalah sebuah petaka.

"Kasihan sekali Qinan sudah harus berpisah dari Mamanya ...."

"Cuma sempat mengenal Mama Tya selama tiga bulan yah. Kasihan, Nak ...."

"Qinan cantik selalu bahagia yah."

Ucapan demi ucapan dari para ibu yang hadir seolah iba kepada Baby Qinan. Jika bisa memilih tentunya tak ingin menjadi Qinan yang harus berpisah selamanya dari mama tercinta. Namun, Allah sudah mengambil Mamanya terlebih dahulu.

"Apa yang Allah gariskan terjadi, itulah yang akan terjadi. Saya percaya almarhumah sudah bahagia bersama dengan Allah. Semoga Mas Dewa ikhlas dan terus Allah kuatkan. Nantinya semua makhluk akan kembali pula kepada Sang Khalik. Kuat ya Mas Dewa," kata Ustad Dradjat yang memimpin Tahlilan malam itu.

Dewa hanya menunduk, tak berkomentar sama sekali. Hatinya masih terlalu perih. Hingga ketika tahlilan usai, Dewa duduk dan irit berbicara. Dia harus mendamaikan hatinya yang kehilangan.

Ketika semua orang sudah pulang, rumah itu kembali sepi. Dewa benar-benar merasakan kehilangan saat malam tiba. Di dalam kamar yang biasa dia tempati kini hanya dia hanya berbaring seorang diri.

Ranjang yang biasa dia gunakan berbaring bersama Tya, kini dia sendirilah yang harus menempatinya. Pria itu berbaring miring, satu tangannya membelai sisi ranjang yang biasa digunakan oleh Tya.

"Akhirnya ... seperti ini kisah kita, Tya. Sampai detik terakhir kehidupanmu, aku mencintaimu. Bahkan sampai sekarang, ketika dunia kita sudah berbeda, aku tetap mencintaimu. Aku bersujud kepada Allah untuk memperpanjang umurmu, tapi nyatanya kamu pergi lebih cepat. Aku sendiri di sini ... hanya berteman ... bayangmu."

Pretikor Pun Meninggalkan Kenangan

"Sepi ... berteman bayangmu."

Ah, rasanya malam itu begitu sedih untuk Dewa. Sesekali Dewa berusaha memejamkan matanya, berharap sedikit tidur bisa membuatnya merasa lebih tenang. Sayangnya, matanya enggan untuk terpejam.

Justru malam itu, hujan turun dengan begitu derasnya. Rinai hujan yang jatuh di atap rumah, membuat Dewa berjalan ke kamar Qinan. Dia tatap wajah bayinya yang tengah tertidur. Lantaran panik, bila ada petir atau pun guruh, Dewa menggendong Qinan dan membaringkan Qinan di tempat tidurnya.

Kemudian, Dewa berdiri di balkon kamarnya sejenak. Dia biarkan hujan menyapa wajahnya dengan airnya yang dingin. Terpaan angin berbalut air yang perlahan membasahi wajahnya. Pria itu lantas menengadahkan wajahnya, langit di atas begitu gelap dengan derai hujan yang begitu derasnya. Awan gelap seolah menjadi payung bagi Dewa malam itu. Semerbak pretikor, aroma tanah yang terkena air menyapa erat di indera penciuman Dewa.

"Hujan dan kamu adalah kenangan yang tidak bisa aku lupakan, Tya."

Angan Dewa melayang, teringat satu hari di bulan Juni ketika dia bertemu Tya untuk kali pertama.

...🍀🍀🍀...

Dua Tahun yang Lalu ....

Hujan turun dengan begitu derasnya sore itu di Kota Gurindam yaitu Tanjung Pinang. Pelabuhan Sri Bintan Pura yang bersisian dengan Taman Gurindam dan berseberangan dengan Pulau Penyengat, di sanalah Dewa bertemu dengan Tya untuk kali pertama.

"Permisi Pak Dewangga dari Alamatra Buana Grup?" tanya seorang gadis cantik yang datang membawa payung. Walau hujan begitu derasnya, tapi gadis itu tetap melaksanakan tugasnya untuk menjemput tamu dari perusahaan di Kota Batam. Batam dan Tanjung Pinang hanya terpisahkan oleh lautan. Keduanya dihubungkan oleh pelabuhan yaitu Pelabuhan Telaga Punggur di Batam dan Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang.

"Ya, benar. Saya sendiri. Dari Indoka Grup kah?" tanya Dewa.

"Benar, Bapak Dewa sudah ditunggu makan siang bersama Pak Sutarto selaku Direktur Utama Indoka di Rumah Makan di tepi Pelabuhan," katanya.

Dewa menganggukkan kepalanya, lantas dia mengikuti gadis itu berjalan hingga ke pintu keluar pelabuhan. Sudah ada sebuah mobil yang menunggu Dewa di sana. Rupanya di dalam mobil itu ada Pak Sutarto yang menunggu Dewa.

"Akhirnya sudah di Tanjung Pinang, Mas Dewa. Hujannya deras banget, di kapal tadi serem enggak?" sapa Pak Sutarto.

"Gelombang di laut lumayan tinggi, Pak. Senang akhirnya bertemu dengan Bapak," sapa Dewa.

"Ini sekretarisku, Mas Dewa. Namanya Tya."

Bermula dari pertemuan di kota Gurindam saat itulah dan banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh Dewa dan Tya, juga projek yang saling terkait. Mulailah muncul benih-benih cinta bersemi di hati keduanya.

Hingga empat bulan kemudian di dalam kapal Ferry dalam perjalanan dari Tanjung Pinang menuju ke Batam, Dewa yang saat itu duduk dengan Tya mengatakan niatnya.

"Tya, kayaknya kita cocok deh satu sama lain. Bukan hanya saat kita mengurus projek dua perusahaan ini, tapi pembicaraan kita juga nyambung. Jadi ..., kalau kamu mau, aku ingin serius. Aku ingin mengajakmu membina rumah tangga," kata Dewa.

Di buritan kapal, ketika kapal ferry itu terus melaju membelah lautan yang orang Melayu menyebutnya Telaga. Diiringi deru mesin kapal dan buih-buih air laut, Tya menoleh menatap Dewa. Sungguh, dia tidak mengira bahwa Dewa akan mengatakan keinginannya itu kepadanya.

"Mas Dewa seriusan?" tanyanya singkat.

Gadis berambut panjang itu lantas merapikan rambutnya yang tertiup angin. Sembari menunduk, Tya pun kembali berbicara.

"Sebaiknya sih jangan Mas Dewa. Sebab, Tya ini sakit," katanya.

Dewa mengernyitkan keningnya. Di matanya Tya terlihat sehat dan bugar. Lalu, bagaimana bisa Tya justru mengaku bahwa dia sedang sakit.

"Sakit apa?" Dewa membalas dengan menanyai apa sakit yang diderita Tya.

"Kanker, Mas. Di Payudara. Sudah stadium tiga," jawab Tya dengan tersenyum pias.

Dewa sungguh tak mengira bahwa gadis yang membuatnya suka, nyambung saat diajak berbicara, dan juga memiliki sifat yang lemah lembut itu ternyata adalah pejuang kanker. Padahal di mata Dewa, Tya sendiri terlihat sehat. Bahkan selama empat bulan sering mengurusi projek bersama, Tya juga tidak pernah mengeluh sakit.

"Sebaiknya jangan, bisa-bisa ketika kita serius dan menikah nanti, usia pernikahan kita hanya seumur jagung," kata Tya lagi.

Dewa kemudian menatap lurus pada lautan biru di hadapannya. Ucapan Tya itu membuat dadanya merasa sesak. Masakan iya, keinginan beribadah sepanjang hayat nyatanya terhalang dengan sakit yang dialami oleh Tya. Padahal Dewa berharap bisa menua bersama dengan Tya.

"Mas Dewa pikirkan saja dulu. Kalau bisa sih jangan," kata Tya.

Butuh waktu hingga dua bulan kemudian. Sekarang, di tepi laut Harbour Bay yang berada di kota Batam, Dewa dan Tya kembali bertemu. Sejauh mata memandang, terlihat jelas Negeri Singapura yang terjelas dari sana.

"Tya, aku sudah memikirkannya matang-matang. Sejauh apa pun aku berpikir, jawabannya pastilah kembali kepadamu. Jadi, aku sungguh-sungguh bahwa aku ingin mengajakmu beribadah bersama hingga di akhir usia terakhirmu."

Dewa berbicara dengan sungguh-sungguh. Dia tidak memungkiri perasaannya karena memang sudah mencintai Tya. Yang Dewa maui sekarang adalah mengajak Tya untuk beribadah bersama.

"Jangan bercanda, Mas. Kan sudah ku bilang sebelumnya bahwa aku seorang survivor cancer. Sel itu selalu aktif sekalipun aku menjalani kemoterapi. Tidak akan sembuh, hanya upaya memperpanjang usia saja," balas Tya.

"Sudah ku pikirkan dan sekarang waktunya bagiku mengambil keputusan bahwa aku ingin beribadah denganmu. Bukan sekadar pernikahan yang mengedepankan cinta antara pria dan wanita, tapi beribadah bersama. Munajatku adalah bisa menjadi suami dan sekaligus imam bagimu," kata Dewa.

Bulir bening air mata Tya sekaligus jatuh membasahi pipinya. Benarkah Dewa menginginkan ibadah bersama? Benarkah ada pria yang sebaik dan semulia niatannya seperti Dewa? Sungguh, ucapan Dewa sangat menyentuh hati Tya.

Hingga akhirnya, Dewa menatap Tya. Dia berbicara dengan serius dan meminta dengan sepenuh hatinya.

"Aristya Maharani, maukah kamu beribadah bersamaku?"

Derai air mata kian membasahi pipi Tya. Hingga akhirnya, gadis itu menganggukkan kepalanya. "Insyaallah, aku mau."

Dewa menghela napas begitu lega rasanya. Dua bulan dia menimbang-nimbang perasaannya, jawabannya tetap sama. Niat tulus meminang Tya tak urung kemungkinan ibadah itu hanya beberapa saat lamanya.

Tepat saat itulah, gerimis turun dan semerbak pretikor mulai tercium. Aroma yang indah dan juga harum. Saat cinta terbalas, saat niat hati bersambut, sungguh indahnya.

...🍀🍀🍀...

Sekarang ....

"Hujannya sudah berhenti, Tya Sayang ..., tapi harus kamu ketahui bahwa pretikor pun membawa kenangan."

Setitik air mata Dewa kembali jatuh. Sesak di dada, perih hingga ke ulu hati. Pretikor yang turun kali ini pun membuat Dewa mengenang sosok Tya. Sosok yang akan selalu hidup dalam hatinya.

Hujan Telah Reda Kenangan Masih Ada

Sungguh pedih garis takdir yang Dewa alami, secara khusus ketika tujuh hari yang dia alami bergelayut mendung gelap. Bukan hanya hatinya, tapi dalam seminggu ini hujan selalu mengguyur kota Batam. Suasana dingin dan mendung seolah mempersonifikasikan perasaan Dewa yang tengah kehilangan.

Pun di hari ketujuh ini, dengan membawa payung hitam, Dewa mendatangi pusara mendiang istri tercintanya. Andai bisa, setiap hari Dewa akan menyempatkan ke tempat pemakaman. Dalam seminggu, sudah lima hari Dewa selalu mengunjungi tempat pemakaman ini.

Bukan dengan tangan kosong, melainkan Dewa selalu membawa bunga kesukaan Tya yaitu Krisan Kuning.

"Aku datang dengan membawa bunga Krisan Kuning kesukaanmu, Sayang. Bunga ini melambangkan keceriaan, semangat, dan kehangatan. Sama seperti sosokmu yang ceria, semangat, dan hangat. Walau sel kanker perlahan-lahan menggerogoti tubuhmu, tapi kamu selalu semangat dan ceria. Bahkan kamu menyembunyikan rasa sakitmu itu."

Sekadar bermonolog dalam hati saja, setitik air mata jatuh dari mata Dewa. Dengan posisi bersimpuh di dekat pusara, tangan Dewa mengusap beberapa kali nisan kayu yang berada di sana. Jujur, setelah kepergian Tya, hatinya menjadi sangat kosong. Hidupnya hanya bergelayut duka.

"Setelah kamu pergi, semua keceriaan, kehangatan, dan semangat itu sirna, Sayang. Aku pun tak memilikinya. Yang ada padaku sekarang hanya rindu. Ya, rindu kepadamu yang raganya sudah tak mampu lagi untuk ku peluk. Rindu kepadamu yang telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya."

Seketika Dewa teringat dengan peristiwa bersama dengan Tya. Satu momen yang masih tersimpan rapat dalam ingatannya.

...🍀🍀🍀...

Delapan Bulan yang Lalu ....

"Gimana Sayang, aku sebenarnya takut dengan kehamilan kamu ini. Aku membaca dan konsultasi dengan temanku, hormon estrogen yang muncul saat kehamilan bisa menyuburkan sisa sel kanker yang masih ada di dalam tubuh usai terapi," kata Dewa.

Ya, Dewa memang banyak melakukan konsultasi. Dia tahu bahwa hormon estrogen yang dihasilkan selama wanita hamil bisa mempersubur sisa sel kanker. Terlebih Tya sendiri mengidap kanker payu-dara tipe ER positif.

"Kalau kamu khawatir sama aku, apa artinya kamu tak menginginkan buah hati kita, Mas? Buah cinta dari ibadah kita bersama?" tanya Tya.

Pertanyaan dari Tya merupakan sebuah pertanyaan yang sangat berat untuk Dewa. Di satu sisi dia tak ingin kehilangan Tya, tapi di sisi lain seolah itu membuat Dewa menjadi sosok calon papa yang antagonis dan kejam. Terkadang terbesit, dia lebih menginginkan Tya saja yang ada di sisinya.

"Dosa loh, Mas. Aku bisa hamil kan berkah dari Allah. Masak iya, kamu menolaknya?"

Ah, rasa-rasanya Dewa merasa benar-benar berdosa. Namun, dia sangat mencintai Tya sampai rasanya takut kehilangan. Sama-sama beratnya, tapi Dewa juga hanya manusia biasa yang takut kehilangan pendamping hidupnya.

"Ada studi di mana 43% penderita kanker payu-dara ketika hamil akan dilakukan abortus spontan, jadi ...."

Dewa tak jadi melanjutkan ucapannya. Hatinya terasa sesak. Seolah-olah dia secara implisit meminta istrinya melakukan abortus spontan. Ya Allah, Dewa merasa berdosa dan bersalah dengan janin yang masih berada di dalam rahim istrinya.

"Astagfirullah, Mas. Jangan begitu. Berdosa loh, Mas. Hidup dan mati manusia itu ada di tangan Allah. Biarkan aku merasakan nikmatnya menjadi seorang ibu. Hasil akhirnya, aku serahkan kepada Allah. Jangan cabut harapan ketika aku sendiri sedang menyemainya," balas Tya.

Dewa menunduk lesu. Rasa takut di hatinya kian menjadi-jadi. Benar, seperti ucapannya. Produksi hormon estrogen nyatanya membuat sel kanker di tubuh Tya semakin subur.

...🍀🍀🍀...

Usai Kelahiran Baby Qinan ....

"Bu Tya, Anda tahu bahwa Anda mengidap kanker payu-dara tipe ER-Positif (Estrogen Reaktif-Positif). Nah, jadi sebenarnya kondisi tubuh Bu Tya sekarang istilah medisnya Metastasis atau kanker memasuki stadium lanjut. Bersiap kembali kemoterapi yah, Bu."

Dewa terhenyak, mendengar kata kemoterapi yang Dewa bayangkan adalah rambut Tya akan perlahan-lahan rontok hingga akhirnya botak. Oleh karena itu, tak jarang para survivor kanker membotaki kepalanya.

"Apa saya akan botak, dok?" tanya Tya.

"Tidak, reaksi kemoterapi kali ini akan membuat kulit Bu Tya menggelap."

Mendengar risiko itu saja Tya masih bisa tersenyum. "Syukurlah, dengan begitu bayi saya masih akan melihat Mamanya masih cantik, tidak botak," balas Tya.

"Sayang," suara Dewa terdengar lirih.

"Tidak apa-apa, Mas. Setidaknya Qinan akan melihatku seperti ini adanya."

dokter Pritha yang mendengarkannya saja merasa begitu sedih. Namun, dia harus menguatkan pasiennya.

Setelah itu, setiap kali kemoterapi, tubuh Tya benar-benar rapuh. Dia mengalami mual dengan begitu hebat. Walau begitu, dia masih berusaha menggendong Qinan.

"Maafkan Mama ya, Qinan Sayang. Qinan gak bisa merasakan ASI. Sejak Qinan lahir, Qinan cuma bisa merasakan susu formula. Walau tak bisa memberikan ASI, Qinan semoga sehat selalu dan selalu sayang Mama yah. Walau ... Mama tak tahu lagi... usia Mama akan terhenti di batas apa. Kamu akan besar dan tumbuh tanpa ... Mama, Nak."

Melakukan sounding dengan Baby Qinan, justru hati Tya bak diremas hingga sangat sakit dan ngilu. Sorot binar kedua mata Qinan hanya bisa menatap sang Mama, dengan kemampuan pandangan bayi yang masih samar. Namun, ada senyuman di sudut bibir Qinan.

"Sedihnya Mama ... harus berpisah denganmu, Qinan."

Sejak saat itu kesehatan Tya semakin menurun. Bagian kulit di tangannya semakin gelap efek dari kemoterapi. Hingga akhirnya sel kanker itu menyebar hingga ke paru-paru dan akhirnya Tya tak mampu lagi bertahan. Ketika usia Qinan baru tiga bulan, bayi kecil itu sudah harus berpisah dengan Mamanya.

...🍀🍀🍀...

Sekarang ....

"Ada rasa bersalah ketika aku mengatakan tentang abortus spontan dulu, Sayang. Kini, saat menatap mata Qinan, aku seolah menatap mata kamu. Ya, Qinan seolah replika kamu."

Kepada Tya, Dewa bisa jujur. Sakit di hati kian bertambah rasanya. Namun, sekarang baru Dewa sadari bahwa keputusan Tya mempertahankan Qinan sangat tepat.

"Qinan seolah menjadi cindera mata terindah darimu. Kepada Qinan, aku akan mencurahkan kasih sayangku."

Usai itu gerimis rintik-rintik kembali turun. Dewa kemudian mengusap perlahan nisan yang ada di sana. Sorot matanya memindai dari nisan kayu hingga dengan gundukan tanah merah yang berada di sana hingga bunga-bunga yang perlahan kering. Hujan kembali datang, seolah menjadi tanda bahwa dia harus segera pulang.

"Aku akan pulang, Sayang. Sebisa mungkin aku akan sering datang. Hujan memang reda, tapi setiap kenangan dirimu tetap ada."

Pria itu berdiri, kemudian dia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Perlahan-lahan kakinya melangkah meninggalkan tempat pemakaman itu. Ya, hujan memang sudah reda, tapi semua kenangan masih ada. Kenangan tentang Tya akan tetap hidup di hatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!