Freesia Gladiol

Freesia Gladiol

Bab 1 Lagi dan lagi

"Siapa yang menyiapkan dokumen-dokumen pagi ini?" tanya Deny dengan nada marah.

Bukannya mendapat jawaban, Deny malah mendapat keheningan. Membuat pria kurus tinggi itu semakin murka.

"Baik. Jika tidak ada seorangpun di antara kalian yang mau mengaku. Dengan senang hati aku akan memotong gajian kalian sebesar lima puluh persen bulan ini," jelas Deny dengan tegas.

"Sia, pak," ucap Boni. Pria bertulang lembut itu langsung angkat bicara setelah mendengar banyaknya rupiah yang akan terpotong akhir bulan nanti.

Sia mendongak tidak terima atas tuduhan yang dilontarkan padanya.

"Ti ..."

"Kau lagi!" teriak Deny.

Pria jangkung itu berjalan ke arah Sia dan menunjuknya.

"Sudah berapa kali kau melakukan kesalahan yang sama? Hah!"

Suara pria itu membuat gendang telinga Sia serasa digaruk dengan benda yang tajam. Belum sempat dia membantah, pria jangkung itu sudah di lebih dulu memarahinya.

"Kau ingin membuat perusahaan ku bangkrut?" tanya Deny sambil berjalan mondar-mandir dengan tangan di pinggang.

Salah satu cara Deny menahan tangannya untuk tidak melakukan kekerasan kepada wanita.

Sia tertunduk menerima tuduhan yang tidak dia lakukan. "Bukan aku yang melakukannya," ucapnya dalam hati.

Sia tak kuasa membantah. Bantahan yang dia lakukan hanya bisa dilakukan dalam hati. Takut. Ya, gadis cantik itu memang penakut. Selain itu dia juga lemah dan kampungan. Itulah alasan semua orang disekitarnya, baik di lingkungan tempat tinggal dan kantor membully-nya.

"Jika saja mendiang ayahku tidak berwasiat untuk membantumu, kau sudah aku tendang keluar dari sini. Mulai sekarang kau turun ke bagian cleaning service!" tegas Deny.

"Emma, antarkan aku salinan dokumen yang tertunda itu sekarang!" perintah Deny sambil berbalik menuju ruang kerjanya.

Mendengar perintah dari pak bos, Emma segera mengambil berkas yang memang sudah dipersiapkannya dari tadi. Bagaimana gadis itu bisa tahu keinginan bosnya? Karena dialah penyebab bos jangkung itu murka. Emma lupa meletakkan dokumen yang harus ditandatangani. Namun, wanita itu takut menghadapi murka sang bos.

"Terima kasih," ledek Emma seraya melewati Sia.

Wajah Sia memerah seperti tomat. Tangannya terkepal menahan emosi yang ingin melonjak keluar. Sia ingin memaki dan membantah setiap tuduhan. Tapi apalah daya. Dengan sedih Sia berjalan menuju ruang cleaning service.

Bruk

"Aduh!" teriak Sia. Gadis itu terjatuh dengan lutut yang mendarat terlebih dulu ke lantai.

"Hahaha, begitu saja jatuh!" ejek Risma.

Sia menatap Risma tajam. Dalam benaknya, dia ingin menjambak dan mencabut kuku kakinya satu persatu.

"Apa?" Risma membalas tatapan tak terima Sia tiga kali lebih tajam.

Lagi-lagi Sia tertunduk. Daripada dia harus beradu hal yang mustahil dia lakukan, gadis itu memilih bangkit dan menuju ke ruang kerja barunya.

Waktu berlalu cepat hari ini. Jam kerja telah usai sepuluh menit yang lalu. Usai kejadian tadi siang, dua rekan kerja yang selalu mengerjainya terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing hingga tidak ada waktu untuk mengerjainya lagi seperti hari-hari sebelumnya.

"Mendung," ucap Sia saat menatap langit yang tengah diselimuti awan gelap.

Sia mengancing jaketnya hingga ke atas dan mengeratkan tas ransel mini di punggungnya. Bersiap jika dia harus berlari saat air dari langit tiba-tiba turun. Gadis cantik itu melangkah lebar agar segera tiba di rumah. Dia tidak ingin pulang terlambat karena terjebak hujan. Kedua orang tua dan tiga saudarinya mana peduli dengan keadaannya. Sia harus menyiapkan makan malam sebelum mereka semua pulang ke rumah.

"Untung tepat waktu," ucap Sia saat memasuki rumah.

Jaketnya sedikit basah terkena gerimis. Beruntung nasib baik masih memihaknya. Gerimis mulai turun saat jarak rumah Sia hampir dekat. Ketika sampai di rumah, hujan turun dengan derasnya. Sia segera melepas jaket dan langsung menuju dapur.

"Meong," seekor kucing putih menyambut kedatangan gadis itu.

"Hei, snow! Apa kau merindukanku?" tanya Sia sambil memeluk kucing gemoy itu.

"Meong," seolah mengerti dan menjawab pertanyaan pemiliknya.

"Baiklah! Kita lihat apa yang ada di dalam kulkas," seru Sia sambil memeluk kucing kesayangannya.

"Aku rasa aku akan memasak sup jagung dan ayam goreng filet untuk makan malam," ucap Sia sambil mengeluarkan bahan-bahan yang dia perlukan.

Tak ingin diganggu oleh snow saat memasak, Sia memberinya sekaleng makanan kucing. Kucing gemoy itu dengan senang hati melahap makan malamnya.

"Aku yakin berat tubuhmu pasti bertambah," ucap Sia sambil terkekeh.

Sia segera melanjutkan aktivitas memasak makan malam. Waktunya tidak kurang dari dua jam untuk memasak dan membereskan rumah. Padahal ayah dan ibunya sangat kaya tapi mereka tidak memiliki seorang juru masak di rumah dengan alasan agar keempat anak perempuan mereka bisa memasak. Alhasil, hanya Sia seorang yang disuruh memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian seluruh keluarga, dan merapikan semua kamar. Sedangkan ketiga saudarinya bagaikan tuan putri di rumah yang besar itu.

"Beres," ucap Sia sambil melepas celemek.

"Sia! Sia!" teriak seorang gadis dari arah depan.

Sia segera berlari menuju sumber suara. Dia tidak ingin mendapat masalah jika terlambat barang semenit saja.

"Lusi! Kau mabuk lagi?" tanya Sia sambil membantu adik bungsunya berdiri.

"Siapkan air hangat untuk aku mandi dan ..."

Hoek

Gadis belia itu muntah karena mabuk. Untung saja Sia segera menghindar.

"dan teh jahe," ucap Lusi dengan nada mabuk.

Gadis belia itu berjalan sempoyongan meninggalkan Sia menuju kamarnya di lantai dua. Sesekali gadis itu tersandung dan hampir jatuh.

"Aduh!" seru Sia saat melihat kening Lusi terbentur dinding.

Sia segera menyusul adik bungsunya itu dan menyiapkan air hangat sebelum gadis itu tiba di kamarnya. Selesai mengurusi Lusi, Sia dikejutkan oleh sesuatu yang berasal dari lantai bawah. Dia segera berlari menuju lantai bawah.

"Astaga, guci kesayangan mama!" teriak Sia terkejut melihat guci kesayangan sang mama telah hancur di lantai.

"Apa yang kau lihat! Cepat bersihkan!" perintah Sania

"Guci itu kesayangan mama. Bagaimana kau..."

"Diam! Bersihkan saja! Jangan banyak tanya!" hardik Sania.

Sania menghempaskan bokongnya di atas sofa. Tanpa rasa bersalah gadis itu malah sibuk memainkan jarinya di atas layar ponsel. Memasukkan beberapa item ke keranjang orange dan biru. Tak berapa lama, suara mobil memasuki halaman rumah. Gadis berkulit kuning langsat itu langsung beranjak dan mengambil alih sapu dari tangan Sia.

"What? Apa yang terjadi dengan guci kesayanganku?" tanya Ratna. Wanita paruh baya itu terkejut melihat gucinya hancur.

"Sia, ma! Dia memecahkan guci kesayangan mama," jawab Sania tanpa bersalah.

Sia terkejut mendengar tuduhan yang dilontarkan padanya. "Bukan ..."

Plak

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus gadis itu. Wajahnya yang putih memerah.

"Kau!" geram Ratna sambil mencengkram kedua lengan putri sulungnya itu.

"Selalu saja membuat masalah. Seharusnya dulu aku mendengarkan saran dokter untuk menggugurkan mu," geram Ratna.

Kedua netra Sia berkaca-kaca. Dia tidak menyangka wanita yang sangat dihormati dan dia sayangi mengatakan hal yang sangat menyakitkan hatinya.

"Untuk apa kau menangis? Hah! Setelah kau pecahkan guci malah Sania yang membersihkan. Kakak macam apa kamu?" murka Ratna.

Danu yang baru saja masuk ke rumah setelah memarkirkan mobil dibuat terkejut melihat keadaan rumah yang kacau.

"Ada apa, ma?" tanya Danu.

"Sia memecahkan guci kesayanganku dan dia malah menyuruh Sania yang membersihkan," kesal Ratna. Melihat suaminya, dia langsung meninggalkan Sia.

Plak

Lagi dan lagi Sia mendapat tamparan. Kali ini dari papanya.

"Kau itu, selalu membuat masalah. Apa tidak bisa seperti ketiga adikmu yang lain?" bentak Danu.

Cairan bening mengalir deras bak keran air yang tidak terkunci.

"Aku tidak seperti mereka. Ya, mereka memang pintar dan membanggakan tapi kelakuan mereka sangat buruk," bantah Sia dalam hati.

Brak

"Pergi dari sini! Aku sudah tidak tahan memiliki anak sepertimu. Ingat! Jangan pernah kau menyebut nama Wijaya sebagai nama keluargamu!" bentak Ratna sambil melempar koper dan beberapa helai pakaian Sia.

Ternyata wanita paruh baya itu pergi ke kamar Sia dan memasukkan pakaian Sia dengan asal ke dalam koper.

Lagi dan lagi Sia tak kuasa untuk membantah. Meski mendapat perlakuan kasar dari orang tua kandungnya sendiri, Sia tidak ingin menjadi anak durhaka. Gadis cantik itu hanya bisa menuruti keinginan sang mama. Sia merapikan pakaiannya ke dalam koper dan meraih jaket serta tas ransel mini yang tadi dia letakkan tak jauh dari tangga.

"Si, Sia pamit, ma," ucap Sia terisak.

"Pergi saja sana! Tak usah pamitan dan mencium tanganku!" ketus Ratna.

"Mampus!" Sania bersorak dalam hati.

Sania sengaja melakukan itu karena tahu bahwa Sia pasti akan dimarahi habis-habisan. Tapi siapa sangka, mamanya justru mengusir Sia.

"Sia, Sia. Kasihan sekali kau! Aku rasa tambahan huruf 'l' di akhir namamu sangat cocok," ucap Sania dalam hati.

Sia langsung melangkah pergi meninggalkan rumah dengan air mata yang terus mengalir.

"Aku harus kemana?" tanya Sia pada dirinya sendiri.

Diluar sangat dingin sisa hujan tadi sore. Perutnya belum terisi makanan dari tadi siang. Sia berjalan mengikuti langkah kaki yang membawanya tanpa tujuan.

Terpopuler

Comments

Paulina H. Alamsyah Asir

Paulina H. Alamsyah Asir

vote plus bunganya sudah yaa...

Mangat Thor 😍❤💪

2024-02-06

5

Elizabeth Jack

Elizabeth Jack

semagat

2024-01-15

3

Isss

Isss

awal yang bagus

2023-12-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!