Bab 16 Menjalani Hidup

"Wajahmu kecut sekali," ujar Freesia sambil membalik brosur di tangannya.

"Jeruk nipis lebih kecut dari wajahku," balas Snow.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," ucap Freesia sambil tertawa tanpa mengalihkan pandangan dari brosur.

"Apa yang kau tahu?" Snow penasaran.

"Tentu saja aku tahu yang kau tahu," jawab Freesia tergelak.

"Jangan berbelit-belit gadis muda!"

"Weh! Kau mengancam ku?"

"Mana aku berani."

Freesia meletakkan brosur di atas meja dan melipatnya seperti ke bentuk awal. Gadis itu menghela sebelum membuka mulut untuk bicara.

"Kau tidak bisa mengirim kabar ke alam abadi, tepatnya pada Dante," ucap Freesia sambil memainkan jari telunjuk dan tengah dengan mengetuk permukaan meja bergantian.

"Kau tahu!" Snow terkejut sampai melompat dari kursi nyamannya.

"Kan tadi sudah ku bilang, aku tahu yang kau tahu," balas Freesia sambil memainkan alis naik turun.

"Perlu kau ketahui, akulah yang menyebabkan kau tidak bisa mengirim kabar kepada Dante dan dia tidak bisa mencari keberadaan kita."

Snow tidak bisa membantah. Freesia berhak melakukan apa pun. Termasuk, membuat pembatas. Akan tetapi pelindung yang digunakan gadis itu sangat kuat. Dia sendiri tidak tahu pembatas atau pelindung jenis apa yang digunakan gadis itu.

"Kekuatanmu sudah kembali seluruhnya?" selidik Snow.

"Yups!"

"Sejak kapan?"

"Sejak terakhir kali aku bertemu Dante."

"Secepat itu?" Snow sedikit tidak percaya tapi setelah mengingat pencapaian yang dilakukan Freesia saat dari awal menjadi murid Dante, gadis itu termasuk gadis yang cerdas.

"Snow! Aku tahu kau mengkhawatirkan aku dan Dante," ujar Freesia sambil memegang lengan Snow.

"Aku dan dia sudah tidak mungkin bersama karena aku tidak ingin. Ini yang terbaik untuk semua alam. Aku tidak ingin terjadi peperangan dan kehancuran lagi," jelas Freesia.

"Aku hanya seorang tua yang berharap sesuatu yang baik untuk kalian."

"Aku tahu tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Aku bukan lagi seorang murid dari alam abadi. Setelah dilahirkan kembali, aku adalah orang dari dunia fana meski kekuatanku masih sama seperti dulu."

"Apa tidak ada kesempatan?" tanya Snow.

"Aku merasa kalian pasangan yang cocok," timpal Snow.

"Hahaha! Cocok dari mananya?" ledek Freesia sambil melepaskan tangannya dari lengan Snow.

"Dia sendiri yang mengatakan bahwa aku dan dia tidak akan pernah bersama dalam keadaan apa pun. Aku sudah memberinya banyak kesempatan tapi dia tidak ingin memberi kesempatan pada dirinya sendiri."

"Hhh! Mungkin aku saja yang belum bisa move on dari kisah kalian," keluh Snow.

"Aku ingin kau tahu alasan aku memutus semua koneksi. Aku tidak ingin hidup terperangkap oleh kejadian masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Aku ingin kita bertiga menjalani hidup aman dan damai di sini," jelas Freesia.

"Jika itu keputusanmu, aku akan mendukungmu gadis kecil," ucap Snow sambil menggenggam tangan Freesia.

Apa ini alasannya dia memilih Verona sebagai tempat tinggal kami? Secara tidak langsung, Freesia ingin memberitahuku bahwa dia tidak akan pernah bersatu dengan Dante melalui kisah novel yang terkenal itu. Snow bermonolog dalam hati.

"Terima kasih, Snow."

"Ah! Aku hampir melupakan sesuatu," timpal Freesia.

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari saku celana belakang.

"Ini," Freesia menyodorkan sebuah kartu identitas berwarna biru muda.

"Luther Gladiol," ucap Snow setelah membaca nama yang tertera di kartu identitas itu.

"Kenapa wajahku ada disini tapi namanya berbeda?" tanya Snow bingung.

"Itu identitasmu sekarang. Namamu Luther Gladiol begitu pula dengan bunda. Aku menambahkan nama Gladiol di belakang nama kalian. Maafkan aku karena lancang tapi itu adalah identitas terbaik saat kita tinggal di negara ini. Kau berstatus sebagai pamanku."

"Apa? Paman? Tidak! Terlalu tua jika aku, kau sebut paman," tolak Snow.

"Memangnya kau mau menjadi apa?"

"Ya, kakakmu!"

"Kau sudah tidak muda lagi untuk ku jadikan seorang kakak."

Snow berdiri dan melangkah menuju dapur kamar mandi untuk tamu yang terletak di bawah tangga ruang tamu. Pria itu menatap wajahnya lekat. Sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Hhh! Aku memang tidak cocok menjadi kakakmu," keluh Snow seraya kembali ke beranda samping.

"Sudahlah! Terserah mau jadi apa! Yang penting aku ingin bersenang-senang selama tinggal di sini."

"Ingat! Jangan berubah wujud lagi menjadi seekor kucing," ujar Freesia sambil terkekeh.

"Dengan senang hati," jawab Snow sambil tersenyum licik.

Sudah tiga bulan berlalu. Kehidupan yang dijalani Freesia bersama keluarga barunya sangat aman, damai, dan nyaman. Seolah kejadian di masa lalu tidak pernah ada. Semuanya berubah menjadi lebih ceria. Hanya suara Martha yang tidak tahu kapan akan kembali. Namun, wanita paruh baya itu sudah mahir menggunakan bahasa isyarat yang dia pelajari melalui sebuah kelas privat di kota Verona.

"Bunda, aku berangkat kerja dulu," ucap Freesia sambil mengecup pipi Martha.

Freesia mengisi waktu luangnya dengan bekerja di sebuah kafe yang terletak di Verona. Jaraknya tidak terlalu jauh dari San Zeno. Sekitar lima belas menit dengan kendaraan pribadi. Itu juga dikendarai dengan santai.

"Iya. Hati-hati di jalan dan langsung pulang usai bekerja." Martha menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

Freesia dan Luther (identitas baru Snow) juga mengerti bahasa isyarat. Selama Martha mengikuti kelas bahasa isyarat, mereka juga tidak mau ketinggalan mengikuti kelas itu. Ternyata, dampaknya sangat baik bagi komunikasi mereka.

"Tentu bunda," balas Freesia dengan bahasa isyarat.

Freesia berjalan menuju garasi. Gadis itu menyalakan mesin mobil dan keluar perlahan. Langit di San Zeno malam ini tampak indah. Taburan bintang menjadi untaian berlian yang tidak ternilai. Freesia menatap cukup lama sambil mengendarai mobilnya dengan perlahan.

Freesia tiba di tempat kerja sepuluh menit lebih awal. Dia absen kemudian berbenah diri sebelum shift nya dimulai.

"Hai, cantik!" sapa Robert saat memasuki ruang khusus karyawan.

Pria jangkung dengan tubuh proposional itu terlihat tampan dengan pakaian kasual yang dia kenakan.

"Hampir saja kau terlambat," ucap Freesia sambil menunjuk jam tangan di tangannya dengan telunjuk kiri.

"Yup! Nyaris," jawab pemuda itu.

"Aku ke depan dulu."

"Mmm, Freesia!" panggil Robert.

"Ya."

"Apa kau ada waktu seusai kerja?" tanya Robert malu-malu.

"Aku sudah berjanji pada bunda untuk segera pulang setelah shift kerjaku selesai," jawab Freesia.

"Oh!"

"Ada apa?"

"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan."

"Mmm, bagaimana kalau lusa?" tawar Freesia.

"Benarkah?" Robert antusias mendengar tawaran Freesia.

"Tentu saja. Lusa aku di shift pagi. Jadi, aku rasa bisa meminta ijin bunda. Lagipula tidak terlalu malam untuk pulang."

"Aku rasa ide yang bagus."

"Freesia! Robert! Sudah hampir shift kalian," teriak manager kafe.

"Aku tidak ingin dipecat terlalu awal," ucap Freesia terkekeh.

"Begitu juga aku. Bisa-bisa aku tidak bisa membayar makan malam lusa nanti," goda Robert.

* * *

Luther sedang berjalan di sepanjang jembatan yang dilewati sungai Adige. Sungai terbesar kedua Italia. Udara malam cukup dingin tapi tidak membutuhkan baju hangat. Baru beberapa langkah, pria itu berhenti dan memilih menepi menikmati suasana malam sungai Adige.

"Lama tidak berjumpa sobat," ucap seorang pria.

Luther tidak perlu menoleh karena dia tahu persis pemilik suara itu.

"Bagaimana caramu menemukanku?" tanya Luther santai.

"Tinggal di alam manusia membuatmu pikun," balas pria itu sambil tertawa.

Terpopuler

Comments

Earlene

Earlene

/Facepalm//Facepalm//Facepalm/ jadi pengen punya kucing kek snow

2023-12-25

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!