"Apa yang dia lakukan?" Sia mengulang pertanyaannya pada Snow.
"Oh, itu," ucap Snow datar.
"Um, Ah!" Sania menahan de sa han yang meluncur dari bibirnya.
"ih! Kenapa dia mengeluarkan suara seperti itu?" Sia semakin penasaran.
"Snow!" Bentak Sia. Dia butuh penjelasan untuk situasi yang dia lihat.
"Mereka sedang pemanasan," jawab Snow ringan.
"Pemanasan apa? Di sini kan perpustakaan bukan gedung olahraga!" tuntut Sia.
"Lama-lama aku bisa mencakar mu," kesal Snow.
Duar
Snow tersambar sesuatu hingga membuat bulu putihnya sedikit kehitaman. Dia lupa akan perjanjian dengan tuan abadi yang egois itu. Jika dia berlaku kasar pada Freesia (Sia), dia akan tersambar petir.
"Kau kenapa?"
Sia juga terkejut saat Snow tersambar sesuatu. Seperti kilatan petir.
"Eleh, pura-pura tidak tahu!"
"Aku memang tidak tahu," balas Sia cepat.
"Perjanjian dengan pangeran di masa lalu di hatimu," jawab Snow sinis.
Sia diam dan sedikit merenung. Sekelebat bayangan Dante terlintas di ingatannya lalu gadis cantik itu menggeleng untuk menghilangkan bayangan pria itu di pikiran dan hatinya.
"Tidak lagi Snow. Aku tidak ingin memberi hatiku lagi padanya," jawab Sia.
"Kau yakin?"
"Jangan bahas yang lain. Urus dulu adik keduaku! Apa yang dia lakukan? Kenapa mengeluarkan suara aneh? Kenapa tubuhnya bergoyang tidak karuan?"
"Satu-satu. Banyak sekali pertanyaanmu. Inilah sebabnya aku tidak ingin berurusan dengan anak muda. Masih belum banyak pengalaman."
"Jawab saja pertanyaanku. Apa kau mau disambar lagi?" tantang Sia.
"Wek!" Snow menjulurkan lidah mungilnya.
"Coba saja kau jongkok dan lihat ke bawah meja!" tambah Snow.
"Untuk apa?"
"Untuk menjawab semua pertanyaan polos mu."
Sia mengikuti perintah Snow. Gadis itu berjongkok dan mengarahkan pandangan lurus ke depan. Sia melihat seorang pria sedang berjongkok di bawah tepat di antara kaki Sania.
"Argh!" pekik Sia.
"Siapa?" tanya Sania terkejut.
Teriakan Sia terdengar bersamaan dengan lepasnya ilmu penghilang tubuh. Pria yang tadi berada di bawah meja berusaha keluar dari tempatnya. Sania merapikan rok yang dia kenakan. Sedangkan Sia menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan dan Snow tertawa melihat tingkah konyol Sia.
"Siapa yang berteriak tadi?" tanya pria itu.
"Entahlah," jawab Sania.
Sebelum pria itu membungkuk untuk melihat keadaan di bawah meja, Sia segera melakukan ilmu penghilang tubuh lagi. Gadis cantik itu terkejut melihat kelakuan yang menurutnya tidak bermoral. Sia kesal karena perpustakaan adalah tempat mencari tambahan ilmu malah dijadikan tempat panas oleh mereka.
"Ini gara-gara kau, Snow!"
"Eh, kenapa jadi aku?" Snow tak terima disalahkan.
"Kau kan bisa mengatakan saja kenapa harus menyuruhku melihat perbuatan mereka!" gerutu Sia.
"Kalau tidak begitu, kau tidak akan mengerti. Anggap saja aku sedang mengajarimu ilmu tambahan tentang kehidupan asmara," jawab Snow sambil terkekeh.
"Dua kali!" Sia mengacungkan dua jari pada Snow.
"Sst! Diam lah! Kau mau kita ketahuan lagi?"
"Tidak ada siapa-siapa," ucap teman pria Sania.
"Tapi tadi kau juga mendengarkannya, kan?"
"Iya," jawabnya sambil mengangguk.
"Mungkin ada yang berteriak di tempat lain dan suaranya menggema," tambahnya lagi.
"Mungkin saja."
"Jadi?" si pria mulai memeluk Sania dari belakang.
"Kau ingin aku meneruskannya di sini atau di tempat lain?" goda pria itu setengah berbisik.
"ih, geli Antonio!" seru Sania.
"Sst! Jangan ribut! Nanti kita ketahuan," ucap di pria.
Sania tersenyum dan mengarahkan pria itu ke bawah. Dengan gerakan aneh, mereka melanjutkan kembali permainan yang tertunda.
"Snow, lama-lama aku bisa muntah. Hoek!" ucap Sia sambil memperagakan berpura muntah.
"Kau masih mau mendapat bukti keburukan adikmu atau tidak?" goda Snow.
Sia memutar kedua bola matanya. Salah satu kebiasaan saat Sia tidak suka melakukan atau mendengar sesuatu yang tidak ingin dia lakukan alias malas.
"Nih! Kau saja yang merekam!" Sia menyerahkan ponsel pada Snow.
"Kau lupa kalau aku ini seekor kucing."
"Kau kan bisa berubah wujud," jawab Sia cepat.
"Atau kau mau di sambar petir lagi?" goda Sia.
"Menyebalkan!" gerutu Snow.
"Anggap saja kau sedang menonton film dua puluh satu tahun keatas secara live," Sia mengembalikan kalimat Snow dengan mudah.
"Aku tunggu diluar, ok!" ucap Sia sambil berlenggang menuju pintu keluar.
* * *
Setengah jam kemudian, Snow keluar dengan tubuh kucing. Ponsel yang diberikan Sia, dia simpan di dalam ruang penyimpan pribadi di tubuhnya.
"Bagaimana?"
"Aman. Ayo kita pulang!" ajak Snow.
"Tidak!" tolak Sia.
"Memangnya mau kemana lagi?"
"Aku ingin menghampiri Bunga."
"Bukannya besok?"
"Aku berubah pikiran. Semakin cepat semakin baik. Semakin cepat balas dendamku selesai."
"Dasar wanita keji!" gerutu Snow.
"Apa kau bilang?"
"Aku bilang, aku ingin kuaci," elak Snow.
"Eh, sejak kapan kau makan kuaci?"
"Kau ingin membahas kuaci atau adik pertamamu?"
"Tentu saja Bunga!"
"Ya sudah, ayo kita pergi!"
"Eh, kemana?" tanya Sia bingung.
"Kau sendiri yang bilang mau mengunjungi adik pertamamu."
"Maksudku, kita pergi kemana?"
"Oh! Hehehe..."
"Akibat kebanyakan makan makanan kucing," balas Sia.
"Hmm, kita ke kampus," Snow tak ingin membalas sindiran Sia. Lebih baik dia mencari aman saja.
"Kau jalan duluan!" perintah Sia.
"Kenapa? Trauma, ya?" goda Snow.
"Iya."
"Tenang saja. Adik mu yang satu ini tidak melakukan perbuatan senonoh."
"Tadi kau juga bicara begitu."
"Masa?"
"Terserah apa katamu, yang pasti aku tidak mau jatuh ke dalam perangkap kucing lagi," ledek Sia.
"Baiklah! Aku yang memimpin."
Kurang lebih satu jam kemudian, mereka tiba di salah satu kampus ternama di ibukota. Keadaan kampus sangat ramai hingga membuat gadis itu sedikit takjub.
"Cepatlah!" seru Snow.
Fakultas jurusan ekonomi terletak di sebelah barat dari gedung utama. Jadi, Sia mempercepat langkahnya. Sesampainya di gedung itu, Dia harus berjalan memasuki area dalam kampus. Snow yang memimpin jalan berlenggang seolah dia hafal tempat ini.
"Tunggu!"
"Apa lagi?" tanya Snow tanpa menoleh dan tetap berjalan.
"Kenapa semakin ke dalam semakin sepi?" selidik Sia.
"Tentu saja menuju ke tempat adikmu berada," jawab Snow santai.
"Tapi kenapa agak sepi?"
"Huh! Kau ini, setiap kali ingin mencari bukti keburukan mereka pasti mengeluh," ucap Snow seraya berhenti.
"Aku bukannya mengeluh. Masalahnya sudah dua kali aku melihat adegan di luar perkiraan ku," balas Sia.
"Memangnya apa yang kau harapkan?"
"Yah, aku pikir akan menemukan kecurangan yang mereka lakukan atau kenakalan remaja lain."
"Misalnya?"
"Konsumsi obat-obatan terlarang atau curang dalam ujian,"
"Kau naif sekali Sia," jawab Snow.
"Ayo, sedikit lagi! Aku tidak ingin terlambat menikmati makan malam," timpal Snow.
"Huh!"
Benar saja, tidak jauh dari tempat terakhir mereka berhenti, Snow menunjuk tempat di mana adik pertamanya berada.
"Toilet?" tanya Sia bingung.
"Apa yang ...?"
Belum selesai Sia mengajukan protes, suara ribut dari dalam toilet membuat Sia bergegas memasukinya. Dalam keterkejutannya, Dia segera mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian yang dilihatnya. Sebenarnya Sia ingin langsung membantu gadis yang di bully itu tapi karena harus mendapat bukti, Sia harus menahannya.
"S i a l! Bisa-bisanya dia melakukan itu!" kesal Sia.
"Kau kerjai saja mereka." Snow memberi saran sambil bersantai melihat adegan yang menurutnya biasa saja.
"Kau saja. Aku masih menggunakan ilmu penghilang tubuh. Lagipula bukannya dari kemarin kau menjilat cakarmu. Aku rasa sudah cukup tajam untuk meninggalkan bekas."
"Dengan senang hati," jawab Snow sambil tersenyum licik.
"Meong!" seru Snow dengan nada tajam dan berhasil mendapat perhatian tiga orang pembully.
Snow melancarkan aksinya dengan cepat dan rapi. Nyaris tanpa perlawanan. Usai membantu gadis itu, Sia dan Snow pulang ke rumah dengan puas.
"Akhirnya, semua bukti sudah kudapatkan," ucap Sia puas.
"Ralat! Tidak semua bukti. Bukti ayahmu aku sendiri yang mendapatkannya."
"Itu kan karena kau sendiri yang memulai hingga membuat aku trauma," balas Sia.
"Eleh! Kapan kau akan membuat kacau mereka?"
"Besok."
"Kau memang berniat balas dendam. Dasar gadis kejam!"
Sia tertawa mendengar ucapan Snow. Jika saja keluarganya berlalu baik, Sia dengan senang hati akan memberi karma baik untuk mereka tapi ini sebaliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Earlene
ini si Sia kena lagi dah/Facepalm//Grin//Chuckle/
2023-12-25
3
Isss
wkwkwkwk
2023-12-13
1
Reinon
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/ gokil jatuh ke perangkap kucing...
2023-12-02
3