"Benar ini tempatnya?" tanya Sia pada Snow melalui kontak batin.
"Aku tidak pernah salah," jawab Snow.
Snow masih berwujud kucing jadi mereka melakukan kontak batin untuk berkomunikasi. Bisa gawat jika orang melihat kucing yang bisa berbicara.
"Aku tidak suka tempatnya. Sangat bising."
"Wajar saja bising, tempat ini memang khusus untuk bersenang-senang. Kalau sepi di kuburan."
"ish, kau itu!"
"Aku tanya kau sekali lagi. Apa kau yakin akan melakukannya?"
"Yakin," jawab Sia mantap.
"Apa kau tidak kasihan padanya?"
"Justru karena aku kasihan jadi aku harus melakukan hal itu padanya."
"Eh!" Snow tidak mengerti dengan pikiran Sia.
"Walau bagaimanapun dia adik kandungmu di dunia ini," Snow berusaha mengingatkan Sia.
"Percayalah, snow! Aku tahu yang aku lakukan," jawab Sia.
"Baiklah kalau tekadmu sudah bulat. Kau memang keras kepala."
"Ayo, cepat selesaikan ini! Kepalaku mau pecah mendengar musik keras di ruangan tertutup begini.
Tubuh kucing Snow membuat dia dengan mudah berjalan tanpa diketahui pengunjung bar. Beda halnya dengan Sia. Meski sudah menggunakan ilmu penghilang tubuh tetap saja dia harus berjalan dengan hati-hati. Tadi saja ada seorang wanita yang tidak sengaja menabraknya. Dalam keadaan setengah mabuk wanita itu bingung karena tubuhnya menabrak sesuatu tetapi yang ditabrak tidak ada. Sia geli melihat kelakuan wanita itu.
"Di sana!" tunjuk Snow dengan moncongnya.
Sia mengikuti Snow. Jalan itu menuju sebuah lorong. Di setiap lorong terdapat pintu yang berjarak sekitar tiga meter. Sia yakin pintu-pintu itu adalah kamar yang disediakan oleh pemilik bar untuk tamu. Bisa jadi adik bungsunya berada di antara pintu kamar itu. Namun, Snow justru semakin berlenggang hingga keluar dari lorong dan menuju lantai dasar.
Sia menuruni sekitar dua puluh anak tangga baru sampai ke dasar. Ternyata ada ruangan vip. Sinar lampu temaram dan suara dari balik pintu membuat Sia bergidik 'geli'.
"Eh, darimana kucing ini masuk?" tanya salah seorang penjaga di depan pintu kamar yang bertuliskan private.
"Mungkin dari atas," jawab temannya.
"Hei, kucing! Apa yang kau lakukan di sini? Disini bukan tempat untukmu. Tidak ada makanan. Oh, atau kau juga ingin mencari kucing betina?" tanya pria itu lagi sambil berjongkok.
Kedua pria itu tertawa mendengar bualan mereka sendiri dengan seekor kucing.
"Mau ku cakar ya, wajahmu!" seru Snow melalui kontak batin dengan Sia tapi suara yang didengar pria itu adalah meong.
"Jangan melakukan hal konyol, Snow!" perintah Sia sambil terkekeh.
"Cih! Dasar manusia! Aku yakin adik bungsumu ada di dalam kamar ini."
Baru saja Snow ingin melakukan teknik menghilang di depan kedua pria itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang pria yang datang dari lantai atas.
"Bagaimana?" tanya pria itu.
"Aman bos. Dia ada di dalam. Aku rasa dia tidak sabar menunggu anda, bos."
Sia menebak jika pria yang baru datang itu adalah bos mereka. Perawakannya tidak terlalu buruk. Tinggi badannya sesuai dengan tinggi badan laki-laki normal. Wajahnya cukup enak dilihat.
"Jangan bilang kau akan menyerahkan pria itu untuknya!" seru Snow.
"Tentu saja. Setidaknya dia cukup layak menjadi adik iparku," ucap Sia sambil terkekeh.
Pintu kamar itu dibuka dari luar. Pria itu segera masuk begitu pula dengan Sia dan Snow. Mereka tak ingin kehilangan kesempatan baik itu.
"Wow! Tak bisa kubayangkan jika mantan kedua orang tuaku melihat ini," ucap Sia sambil mengeluarkan ponsel.
Lusi terbaring di atas ranjang nyaris tanpa busana. Tubuhnya menggeliat bagai cacing kepanasan dan pastinya gadis itu sudah mabuk. Padahal usianya masih lima belas tahun tapi kelakuannya seperti wanita mahir diatas ranjang.
"Memangnya ada ya, mantan orang tua?" ejek Snow.
"Tentu saja ada, menurutku," ucap Sia.
Tangannya tak berhenti mengarahkan kamera ponsel mengambil sudut-sudut yang bagus.Untuk penutup, Sia mengambil rekaman video hingga gadis itu menjerit pelan.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Sia sambil memalingkan wajah.
"Apalagi kalau bukan bercocok tanam," jawab Snow sambil terkekeh.
"Bukannya bercocok tanam itu di sawah, ladang atau kebun?"
"Sawah dengkulmu! Mereka bercocok tanam yang lain alias latihan berpasangan," jawab Snow sambil terkekeh.
"Hah! Aku mau keluar dari sini! Mereka benar-benar tidak waras," gerutu Sia sambil mematikan rekaman video.
Saat Snow mengatakan latihan berpasangan, Sia baru mengerti yang dimaksud bercocok tanam. Di alam abadi latihan berpasangan dilakukan saat dua orang berbeda jenis kelamin menikah dan melanjutkan pelatihan mereka ke tingkat pasangan.
"Heh! Bagian mana yang tidak waras?" tanya Snow bingung.
"Bercocok tanam lah!" kesal Sia sambil berjalan menuju pintu keluar.
"Kalau saja saat ini aku dengan tubuh manusia, aku sudah memukul kepalamu agar otakmu bekerja sedikit lebih keras."
"Mengapa kau harus begitu?"
"Bercocok tanam dilakukan oleh dua orang yang sedang memadu kasih itu wajar."
"Tapi mereka belum menikah!" kesal Sia.
"Aduh! Kenapa kau tiba-tiba berhenti?" kesal Snow sambil menggosok hidung dengan kaki depannya.
"Pintunya."
"Bukannya tinggal di buka saja."
"Kalau aku buka sekarang, dua penjaga itu akan terkejut melihat pintu yang dibuka tapi tidak ada orang yang keluar," kesal Sia.
"Hahaha, aku rasa kau harus berdiam di sini sampai mereka selesai bercocok tanam." Snow tertawa senang puas melihat Sia menderita.
"Kau gila!"
"Apa kau punya jalan keluar?" tanya Snow santai.
Sia diam sejenak dan menggeleng.
"Apa ku bilang. Hahaha... Sudah, anggap saja sedang menonton live film dua puluh satu tahun keatas."
Sia menatap tajam pada Snow. Ingin rasanya dia menendang kucing jadi-jadian itu tapi di dunia manusia, semua jenis hewan dilindungi bahkan ada perkumpulan khusus hewan. Bisa-bisa Sia mendapat masalah.
"Hitung-hitung belajar. Hahaha..." ledek Snow.
"Kau!" Sia kesal dan ingin memukul kepala kucing gemoy itu tapi tidak mungkin.
Sia memilih berdiri menghadap pintu dan menutup rapat telinganya. Gadis itu tidak ingin mendengar suara lenguhan yang membuatnya geli.
* * *
"Di mana dia?" tanya Sia pada Snow.
"Perpustakaan," jawab Snow sambil berlenggang.
"Apa benar?" tanya Sia sambil mengangkat Snow dengan menjepit leher gemuk kucing itu.
"Lepaskan aku!" Snow berontak.
"Kau harus meyakinkan aku dulu!"
"Adik keduamu memang berada di perpustakaan," jawab Snow.
"Aku tidak ingin kejadian seperti kemarin terjadi lagi!" tegas Sia.
"Memangnya apa yang bisa orang lakukan di perpustakaan?"
"Membaca atau meminjam buku."
"Kau tahu sendiri jawabannya. Cepat lepaskan aku! Kalau tidak aku akan mengeong sejadi-jadinya."
"Ish, kau itu! Ayo jalan!"
Sia berjalan menuju perpustakaan kota sambil mengendong Snow. Sekali lagi, gadis itu membuat tubuhnya tidak terlihat. Dia tidak ingin meninggalkan jejak agar dapat disalahkan nanti.
"Sepi," ucap Sia saat berada di dalam perpustakaan.
"Heh! Kemarin kau kebisingan. Sekarang menggerutu sepi," balas Snow sambil menjilati cakarnya.
"Tapi ini terlalu sepi untuk ukuran perpustakaan yang sangat luas begini. Sudahlah, cari Sania!"
Snow menarik napas mencari aura yang dimaksud oleh rekannya.
"Ketemu! Dia berada di blok kedua dari ujung," ucap Snow sambil terkekeh.
"Mengapa kau tertawa?" tanya Sia penasaran.
"Memangnya harus ijin dulu padamu untuk tertawa?"
"Tidak sih," jawab Sia tak peduli.
Sia berjalan menuju tempat yang ditunjuk Snow. Hanya ada tiga orang yang duduk tersebar di bagian depan. Sedangkan di bagian tengah, cukup banyak. Memasuki bagian belakang dan agak ke ujung, nyaris tidak ada yang duduk di sana. Sia melihat ke sekeliling langit-langit. Area yang cukup terpencil dan tidak terjangkau cctv.
"Astaga, Snow! Apa yang dia lakukan?" tanya Sia saat pandangannya beralih pada Sania yang sedang duduk dengan kedua tangan menutupi sesuatu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Earlene
bercocok tanam wei/Facepalm//Facepalm//Grin/
2023-12-25
1
Earlene
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2023-12-25
1
Baim
dasar meong/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2023-12-23
1