"Apa dia sudah sadar?" tanya dokter Martin seraya memasuki kamar pasien.
Martha tak kuasa berkata. Wanita paruh baya itu masih terkejut dengan sadarnya Sia secara tiba-tiba. Biasanya pasien yang sadar dari koma paling minimal menggerakkan jari atau membuka mata perlahan. Berbeda sekali dengan pasiennya yang satu ini.
"Baiklah! Mari kita periksa!" seru dokter Martin sambil mengeluarkan senter kecil.
"Semuanya bagus. Bagaimana perasaanmu?" tanya dokter Martin pada Sia.
"Ba... baik," jawab Sia gugup.
Gadis cantik itu menatap ke sekeliling ruangan. Sudah pasti ini bukan kamarnya.
"A ... aku di mana?" tanyanya lagi gugup.
"Tentu saja di rumah sakit," jawab dokter Martin lembut.
"Aku tinggal, ya. Jika keadaanmu semakin membaik, aku akan memindahkanmu ke kamar inap dan lebih baik lagi kau bisa pulang," jelas dokter Martin.
"Pulang," ucap Sia pelan nyaris tak terdengar siapa pun. Ingin menangis tapi air matanya sudah kering. Kata pulang membuat Sia sedih. Mengingat dia telah diusir dari rumah.
"Martha, dia di bawah pengawasan mu lagi!" perintah dokter Martin lembut.
"Baik dokter," jawab Martha sambil membuka pintu untuk dokter Martin.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Martha.
Sia mengangguk. Kepalanya terasa sedikit berat tapi bukan pusing.
"Sebaiknya kau istirahat!" perintah Martha lembut.
Sia mengangguk lagi dan merebahkan tubuhnya perlahan. Martha membantu gadis cantik itu dengan merapikan selimut.
"Oh, iya! Apa kau menyimpan nomor keluargamu? Aku harus menghubungi keluarga atau kerabat mu. Aku yakin mereka pasti sangat khawatir. Mengingat kau koma selama lima hari," jelas Martha.
Sia sempat terdiam. Bukan karena koma tapi kalimat dari perawat baik itu yang menyatakan bahwa keluarganya pasti khawatir. Sia tersenyum kecut.
"Tidak ada, Bu." jawab Sia pelan.
Martha melepas napas dengan kasar. Dia menatap Sia dengan perasaan kasihan. Mengingat gadis itu baru saja siuman. Martha memilih untuk tidak memperpanjang.
"Istirahatlah!" ucap Martha lembut.
Tiga hari kemudian, Sia diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Namun, bukan raut senang yang tersurat melainkan sedih.
"Bukannya kau sudah harus pulang?" tanya Martha setelah membantu Sia mengurus administrasi rumah sakit.
Beruntung gadis itu sudah mengurus asuransi kesehatan. Sia tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan keluarganya. Semenjak dia duduk di kelas sembilan, Sia mulai belajar mencari yang sendiri dengan cara halal. Tepat berusia tujuh belas tahun, Sia memohon pada bekas pelayan di rumahnya untuk dimasukkan sebagai keponakan di kartu keluarga agar bisa memiliki kartu identitas dan mengurus hal lainnya ke depan. Benar saja, semua terbukti saat ini. Kedua orang tuanya tidak pernah menganggap Sia sebagai putri kandung. Gadis itu juga tidak dimasukkan ke dalam kartu keluarga.
"Apa di sini ada lowongan pekerjaan?" tanya Sia.
"Sebagai cleaning service juga tidak apa-apa, Bu," timpal Sia.
Martha langsung berkacak pinggang mendengar pertanyaan Sia. Bingung, sudah pasti.
"Mengapa kau ingin bekerja di sini?" tanya Martha penasaran.
"A ... aku tidak punya tempat tinggal dan sudah pasti aku dipecat di kantor ku yang dulu," jawab Sia sambil menunduk.
"Sebentar! Aku sedikit bingung di sini. Bagaimana bisa kau tidak punya tempat tinggal? Dari penampilanmu saat kau di bawa di unit gawat darurat, kau terlihat seperti gadis baik-baik yang dirawat dengan baik meski keadaanmu cukup parah saat itu."
Sia terdiam. Dia bingung harus menjelaskan dari mana. Sejauh ini Martha adalah orang baik yang dia temui setelah keluar dari rumah.
"Apa jangan-jangan kau kabur dari rumah?" tanya Martha dengan nada terkejut.
"Tidak, tidak. Bukan begitu, Bu,"
"Terus?" Martha semakin penasaran.
"Aku, aku diusir dari rumah."
"Apa?" Martha sampai menutup mulut saking terkejutnya.
"Hanya karena guci kesayangan mama pecah," tambah Sia.
"Kau diusir karena memecahkan guci?"
Sia menggeleng, "Bukan aku yang memecahkan tapi adikku nomor dua yang melakukannya."
"Ya ampun. Masa ada ibu kandung seperti itu. Lebih sayang guci daripada anak kandung," kesal Martha.
Martha menghela napas sedikit kasar. "Aku tinggal sendiri. Putriku sudah tiada saat dia berusia lima belas tahun karena kecelakaan. Jika kau mau, kau bisa tinggal bersamaku. Aku rasa kau bisa menempati kamar mendiang putriku."
"Benarkah? Terimakasih, Bu," jawab Sia sambil melompat dari tempat tidur dan memeluk Martha.
* * *
Hampir satu bulan Sia tinggal bersama Martha. Kehidupannya mulai berangsur baik. Martha adalah satu-satunya orang luar yang bersikap baik padanya. Martha tidak membiarkan Sia untuk berkerja mengingat Sia baru sembuh.
"Kesehatan lebih utama," Martha tak pernah lupa mengingatkan gadis cantik itu.
"Iya ibu," jawab Sia.
"Sudah kubilang jangan panggil aku, ibu. Terdengar aneh," jawab Martha berpura cemberut.
"Terus aku harus panggil apa?"
"Hmm, sebentar biar aku pikir dulu," ucap Martha sambil berpikir keras.
"Bunda! Ya, bunda. Panggil bunda saja. Bagaimana?" tanya Martha antusias.
"Iya," jawab Sia senang.
"Iya, apa?"
"Iya, Bun.. bunda," jawab Sia malu-malu.
"Bagus. Aku akan pergi ke rumah sakit. Ingat! Istirahat!"
* * *
"Eh, tumben! Perasaan dua hari terakhir keseimbangan tubuhku bagus. Kenapa ya?" tanya Sia pada dirinya sendiri.
Biasanya setiap kali dia beraktivitas ada saja yang terjadi. Entah kakinya terbentur sesuatu, terpeleset, bahkan menabrak sesuatu yang jelas dia sendiri tahu letaknya tapi tidak bisa menghindar.
"Mungkin karena koma kemarin," jawab Sia asal.
Tidak sampai disitu. Keanehan lain mulai muncul perlahan. Seluruh indra gadis cantik itu menjadi lebih peka dari sebelumnya bahkan lebih peka dari kondisi normal dan tenaganya lebih kuat dari sebelumnya.
"Argh! Ada apa denganku?" tanya Sia frustasi.
"Sudahlah! Toh, kondisi tubuhku lebih baik dari sebelumnya. Tapi ini diatas normal, hiks!"
Gadis itu tidak tahu harus senang atau sedih. Sia tidak pernah bermimpi memiliki kekuatan lebih. Dia lebih suka sesuatu yang sederhana.
"Meong!"
"Eh, seperti suara kucing," Sia mencari sumber suara.
"Kau di sini rupanya!" seru Martha sambil menggendong seekor kucing gemoy berwarna putih.
"Ah, snow!" pekik Sia.
Snow langsung menghambur ke pelukan Sia.
"Itu kucingmu?" tanya Martha.
"Iya, Bun. Dia yang sudah menyelamatkanku dari perampok."
Sia membelai snow tanpa henti. Kucing itu menikmati setiap sentuhan Sia.
"Astaga! Jadi sebelum terjadi kecelakaan kau di rampok?"
Sia mengangguk.
"Di mana bunda menemukannya?"
"Dia berkeliaran di rumah sakit seminggu terakhir. Aku tidak tega membuangnya. Jadi, aku membawanya pulang. Hitung-hitung untuk menemanimu di rumah," ucap Martha sambil duduk.
"Terima kasih, bunda. Sudah membawanya pulang."
Martha membalas Sia dengan senyum. Namun, selesai tersenyum gadis itu justru ambruk ke lantai.
"Ya ampun, Sia!" pekik Martha.
* * *
Tiga hari setelah Sia pingsan. Gadis itu berubah total menjadi seseorang yang lain. Sia tidak menunjukkan perubahannya pada Martha. Dia selalu menjadi seorang Sia yang dulu.
"Aku rasa sudah waktunya untuk membalas mereka!"
"Meong," Snow menjawab Sia seolah mengerti.
"Bukannya kau bisa berbicara?"
"Sembilan belas tahun aku menjadi kucing di dunia manusia, tentu saja sulit meninggalkan kebiasaan lama," keluh snow.
"Hehehe ... aku lupa!" Sia terkekeh.
"Kau ingin membalas dari mana?"
"Bagaimana dengan adik bungsuku?"
"Ide yang bagus. Kau lebih cocok begini setelah ingatanmu pulih," ucap Snow.
"Tentu saja. Aku tidak menyangka ternyata aku bereinkarnasi setelah kejadian itu. Aku pikir jiwaku sudah hancur dan tidak bisa reinkarnasi."
"Itu namanya rahasia Ilahi tapi dengan kembalinya ingatanmu akan kehidupan yang lalu aku rasa ada seseorang yang merasa 'gusar'," ucap Snow sambil mengangkat tangan membuat tanda kutip pada kata gusar.
Sia terdiam sesaat sampai dia memutuskan untuk segera pergi menemui si adik bungsu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments