"Freesia Gladiol?" Danu Wijaya mengulang nama yang diutarakan Sia.
"Apa ada masalah papa?" tanya Sia.
"Tidak," jawab Wijaya cepat.
"Aku segera mengurusnya," timpal Wijaya.
"Aku ingin sekarang," ujar Sia.
"Mengapa kau terburu-buru?"
"Bukan urusanmu!"
"Ok. Beri aku waktu hingga sore. Sekarang waktunya memperkenalkan mu sebagai ahli waris perusahaan Wijaya."
"Ok."
"Snow! Aku ingin kau membuat rincian pembagian jatah bulanan untuk di rumah dan perusahaan!"
"Baik."
Sia dan Wijaya berjalan menuju ruang meeting. Di sana seluruh karyawan sudah berkumpul. Danu Wijaya tidak membuang waktu. Pria paruh baya itu langsung mengenalkan sia sebagai ahli waris perusahaan dan sebagai CEO Wijaya Group. Hampir seluruh karyawan terkejut mendengar berita itu. Namun, mereka menerimanya dengan senang hati.
Segala urusan di perusahaan sudah selesai. Snow juga selesai dengan tugasnya. Tinggal identitas baru Sia yang harusnya selesai sore nanti. Sia tetap menunjuk papa biologisnya mengurus perusahaan karena Sia memiliki rencana lain. Sia dan Snow memutuskan kembali ke rumah sakit sambil menunggu identitas barunya.
"Aku cukup terkejut kau menggunakan nama lama," ujar Snow.
"Itu kan juga namaku."
"Yah, kupikir kau akan menggunakan nama lain."
"Tidak. Aku suka nama pemberian mendiang orang tuaku di alam gaib," jawab Sia.
"Lagipula aku lebih cocok dengan nama keluarga Gladiol daripada Wijaya," timpalnya sambil terkekeh.
"Bagaimana dengan Martha?" tanya Snow.
"Aku ingin membawanya pulang besok."
"Kau gila! Keadaannya cukup buruk meski kau sudah mentransfer kekuatanmu."
"Tidak. Jika keadaannya membaik dengan cepat," jawab Sia santai.
"Jangan bilang kau akan melakukannya lagi!"
"Tentu saja aku akan melakukannya lagi," jawab Sia sambil tersenyum tipis.
"Ini," Snow memberikan Sia sebuah botol kecil berisi pil penunjang vital.
Sia mengambil dan membuat tutupnya. Aroma khas ginseng menyeruak. Sia menumpahkan isi botol itu ke telapak tangannya. Tampak dua pil seukuran kacang kedelai berwarna hitam pekat. Sia memasukkan dua pil itu ke dalam mulut Martha dan membantunya menelan.
"Sebaiknya kau istirahat!"
"Tidak bisa. Aku baru teringat, ada sesuatu yang harus di urus," jawab Sia sambil merapikan selimut Martha.
"Apa lagi?" tanah Snow penasaran.
"Bukannya balas dendammu sudah selesai?" timpal Snow.
"Bukan balas dendam," jawab Sia singkat.
"Lantas apa?"
"Kau akan tahu setelah mengikuti ku."
"Kita akan pergi lagi?"
"Yups!"
"Ya ampun Sia. Tenagamu banyak sekali!" keluh Snow.
"Ayo!" ajak Sia.
Sia menyuruh Snow untuk mengikutinya. Sebelum keluar kamar, Sia menyuruh Snow untuk menghilangkan tubuh. Maklum saja, di rumah sakit dilarang membawa hewan peliharaan. Sesampainya di lantai dasar rumah sakit, Sia memilih menggunakan taxi online untuk segera tiba ke tempat tujuannya. Snow berjalan dengan penuh tanya.
Setelah melalui kurang lebih setengah jam perjalanan, mereka berhenti di sebuah mansion yang megah namun terlihat suram. Ada dua orang berbadan kekar yang Sia tebak adalah penjaga bagian depan. Snow tak ingin penasarannya berlanjut lebih lama lagi. Dia menarik napas dan melontarkan aura panas untuk mencari tahu siapa pemilik mansion itu.
"Ah! Ternyata pria itu!" seru Snow setelah mengetahui tujuan Sia.
"Apa kubilang kau tidak bisa lepas dari sifat alami baik mu, hehehe!" timpal Snow sambil terkekeh.
"Karena kau sudah tahu. Lanjutkan pekerjaanku!" perintah Sia.
"Terus apa yang akan kau lakukan?"
"Duduk di sini sambil makan kuaci," ucap Sia santai.
Pletak
"Auw! Mengapa kau menjitak keningku?" tanya Sia sambil mengusap keningnya yang sakit.
"Anggap saja sebagai bayaran kerja dadakan," balas Snow.
Snow kesal karena dia pikir, Sia yang akan melancarkan aksinya. Snow pikir gadis itu memiliki rencananya sendiri. Ternyata, sesampainya ditempat tujuan malah menyuruhnya.
"ish!" kesal Sia.
"Apa tugasku?" tanya Snow.
"Aku ingin pria itu bertanggung jawab atas Lusi," ucap Sia.
"Meski Lusi nakal tapi dia masih bisa menjaga kehormatannya dan bo dohnya memberikan pada pria itu dengan mudah."
"Ok," jawab Snow sambil berlenggang dan berubah wujud saat jalanan sepi.
Tidak butuh waktu lama, Sia sudah mendapatkan keinginannya. Snow meyakinkan Sia bahwa pria itu akan bertanggung jawab dan akan menikahi Lusi sore ini juga.
"Bagus. Sekarang kita ke rumah Antonio!"
"Siapa lagi Antonio?" tanya Snow.
"Pria yang bersama Sania saat di perpustakaan."
"Wah, wah! Ternyata diam-diam kau sudah menyelidikinya. Kemajuan yang baik," puji Snow dengan nada mengejek.
Sia tidak banyak bicara. Dia ingin menyelesaikan semua sebelum meninggalkan negara ini. Snow belum mengetahui rencana Sia yang satu ini. Gadis itu sengaja menyembunyikannya dari Snow. Dia ingin melihat ekspresi Snow. Tanpa sepengetahuan Snow, Sia meminta papa biologisnya untuk mengurus paspor mereka.
"Cepat lakukan! Aku tidak ingin berlama-lama!" seru Sia.
* * *
Di sisi lain, Dante terus mengikuti Sia. Pria itu bingung harus memulai dari mana. Padahal dulu dia tidak pernah berada di situasi seperti ini. Jika saja dulu dia lebih cepat menyadari tentang perasaannya, keadaan mereka pasti tidak akan seperti ini. Sekarang dia tidak lebih seperti seorang penguntit. Saat ingatan Sia kembali, sosok Dia langsung muncul di cermin kehidupan. Memudahkan Dante untuk mencari keberadaannya.
"Guru!" seru Max yang baru saja turun ke dunia manusia.
"Ada apa?"
"Alam abadi sedang membutuhkanmu," ucap Max sopan.
"Aku sudah meminta tiga paman gurumu untuk mengurus semuanya."
"Maaf guru. Justru aku datang kemari atas perintah ketiga paman guru."
Dante terusik dan mau tidak mau dia mengalihkan pandangan dari Sia.
"Ada apa?"
"Tuan Sam memaksa anda untuk menerima putrinya sebagai murid anda. Dia tidak mau kembali jika anda tidak menemuinya."
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak akan menerima murid lagi."
"Paman guru sudah mengatakannya pada beliau tapi putrinya terus merengek sehingga membuat keributan di alam abadi."
Dante terdiam sejenak. Dia kembali menatap Sia saat sedang berbicara dengan Snow. Dulu, di alam abadi, Dante selalu mengajarkan Sia pada hal kebaikan. Menjauhkan diri dari sifat kejam dan balas dendam. Namun kali ini, dia membiarkan Sia melakukan segalanya. Asalkan gadis itu hidup dan tetap mencintainya.
"Baik. Kita kembali!" seru Dante.
Ada perasaan berat meninggalkan Sia tapi dia harus menyelesaikan urusan di alam abadi. Kedua pria itu melesat terbang menuju alam abadi di atas awan.
"Pokoknya aku tidak mau pulang!" rengek suara seorang gadis kecil.
Suara tangisannya cukup mengganggu. Sesaat setelah Dante tiba di alam abadi, dia disambut dengan suara cempreng khas gadis kecil. Pantas saja, ketiga seniornya meminta dia kembali. Murid-murid di alam abadi merasa terganggu.
"Ah, adik!" sapa Josh.
"Untung kau segera pulang kalau tidak gendang telingaku pasti sudah rusak," timpal Josh.
"Dia bisa memilih guru yang lain. Mengapa harus aku?"
"Selamat siang guru Dante! Maaf kan aku menganggu anda. Putriku ingin menjadi murid anda. Aku harap anda bersedia untuk mengangkatnya menjadi murid anda," ucap Sam sopan.
Dante melirik gadis yang usianya sekitar lima belas tahun. Usia yang sama saat Sia memasuki alam abadi tapi mengapa dia masih merengek meski Dante sudah berada di alam abadi. Tanpa menjawab ucapan tuan Sam, Dante mendekati gadis remaja itu.
Jasmine langsung memberi hormat saat melihat ketua alam abadi berdiri dihadapannya.
"Ketua!" sapa Jasmine sopan.
"Aku tidak akan basa-basi padamu meski kau masih muda. Aku tidak akan pernah menerima murid perempuan lagi. Aku rasa kau bisa memilih guru lain." tegas Dante dengan suara dingin.
"Ketua. Saya tidak ingin menjadi murid anda," ucap gadis itu pelan tak ingin terdengar oleh orang lain.
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin menjadi murid kak Freesia Gladiol," ucap gadis itu pelan. Dia tidak ingin seorang pun mendengar ucapannya. Terutama sang ayah. Ayahnya pasti akan memarahinya habis-habisan.
Dante terkejut mendengar penuturan gadis remaja itu.
"Mengapa kau ingin menjadi muridnya?" tanya Dante penasaran.
Setelah peperangan yang terjadi lima puluh tahun lalu mengapa gadis remaja ini bisa mengetahui tentang Freesia.
"Aku mengaguminya. Dia sangat hebat dan keren," jawab gadis itu dengan wajah senang.
"Aku juga mengetahui cerita tentang cintanya yang ditolak mentah-mentah oleh ketua," timpal Jasmine malu-malu.
Dante diam sejenak. Pria tampan itu teringat akan suatu keinginan pujaan hatinya bahwa dia ingin memiliki seorang murid agar dia bisa menyuruhnya melakukan pekerjaan apa pun yang dia inginkan. Mungkin tidak ada salahnya Dante menerima gadis remaja itu sebagai murid Freesia.
"Baiklah. Aku akan mewakilinya untuk menerimamu," jawab Dante.
"Terima kasih ketua. Terima kasih," Jasmine terlewat senang hingga hampir melupakan sesuatu.
"Ah, ketua! Ada satu hal lagi."
Dante memiringkan kepalanya sedikit tanda mau mendengarkan permintaan gadis itu.
"Sebenarnya bukan aku saja yang ingin menjadi murid kak Freesia," ucapnya pelan.
Dante masih diam menyimak.
"Masih ada Goldi dan Ellora. Mereka tidak berani menemui anda. Mereka takut kecewa jika anda menolak mereka karena mereka dari kasta bawah," timpal Jasmine.
"Hmm! Kalau begitu mereka juga akan menjadi muridnya," ucap Dante.
"Terima kasih ketua," teriak Jasmine.
Freesia aku tidak tahu apa kau akan menyetujui keputusan guru. Apa kau akan senang atau kecewa atas keputusanku? Aku harap dengan kehadiran mereka bisa menahan mu saat kau kembali ke alam abadi.
Dante bermonolog dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Earlene
aroma-aroma bucin/Chuckle/
2023-12-25
1