NovelToon NovelToon

Freesia Gladiol

Bab 1 Lagi dan lagi

"Siapa yang menyiapkan dokumen-dokumen pagi ini?" tanya Deny dengan nada marah.

Bukannya mendapat jawaban, Deny malah mendapat keheningan. Membuat pria kurus tinggi itu semakin murka.

"Baik. Jika tidak ada seorangpun di antara kalian yang mau mengaku. Dengan senang hati aku akan memotong gajian kalian sebesar lima puluh persen bulan ini," jelas Deny dengan tegas.

"Sia, pak," ucap Boni. Pria bertulang lembut itu langsung angkat bicara setelah mendengar banyaknya rupiah yang akan terpotong akhir bulan nanti.

Sia mendongak tidak terima atas tuduhan yang dilontarkan padanya.

"Ti ..."

"Kau lagi!" teriak Deny.

Pria jangkung itu berjalan ke arah Sia dan menunjuknya.

"Sudah berapa kali kau melakukan kesalahan yang sama? Hah!"

Suara pria itu membuat gendang telinga Sia serasa digaruk dengan benda yang tajam. Belum sempat dia membantah, pria jangkung itu sudah di lebih dulu memarahinya.

"Kau ingin membuat perusahaan ku bangkrut?" tanya Deny sambil berjalan mondar-mandir dengan tangan di pinggang.

Salah satu cara Deny menahan tangannya untuk tidak melakukan kekerasan kepada wanita.

Sia tertunduk menerima tuduhan yang tidak dia lakukan. "Bukan aku yang melakukannya," ucapnya dalam hati.

Sia tak kuasa membantah. Bantahan yang dia lakukan hanya bisa dilakukan dalam hati. Takut. Ya, gadis cantik itu memang penakut. Selain itu dia juga lemah dan kampungan. Itulah alasan semua orang disekitarnya, baik di lingkungan tempat tinggal dan kantor membully-nya.

"Jika saja mendiang ayahku tidak berwasiat untuk membantumu, kau sudah aku tendang keluar dari sini. Mulai sekarang kau turun ke bagian cleaning service!" tegas Deny.

"Emma, antarkan aku salinan dokumen yang tertunda itu sekarang!" perintah Deny sambil berbalik menuju ruang kerjanya.

Mendengar perintah dari pak bos, Emma segera mengambil berkas yang memang sudah dipersiapkannya dari tadi. Bagaimana gadis itu bisa tahu keinginan bosnya? Karena dialah penyebab bos jangkung itu murka. Emma lupa meletakkan dokumen yang harus ditandatangani. Namun, wanita itu takut menghadapi murka sang bos.

"Terima kasih," ledek Emma seraya melewati Sia.

Wajah Sia memerah seperti tomat. Tangannya terkepal menahan emosi yang ingin melonjak keluar. Sia ingin memaki dan membantah setiap tuduhan. Tapi apalah daya. Dengan sedih Sia berjalan menuju ruang cleaning service.

Bruk

"Aduh!" teriak Sia. Gadis itu terjatuh dengan lutut yang mendarat terlebih dulu ke lantai.

"Hahaha, begitu saja jatuh!" ejek Risma.

Sia menatap Risma tajam. Dalam benaknya, dia ingin menjambak dan mencabut kuku kakinya satu persatu.

"Apa?" Risma membalas tatapan tak terima Sia tiga kali lebih tajam.

Lagi-lagi Sia tertunduk. Daripada dia harus beradu hal yang mustahil dia lakukan, gadis itu memilih bangkit dan menuju ke ruang kerja barunya.

Waktu berlalu cepat hari ini. Jam kerja telah usai sepuluh menit yang lalu. Usai kejadian tadi siang, dua rekan kerja yang selalu mengerjainya terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing hingga tidak ada waktu untuk mengerjainya lagi seperti hari-hari sebelumnya.

"Mendung," ucap Sia saat menatap langit yang tengah diselimuti awan gelap.

Sia mengancing jaketnya hingga ke atas dan mengeratkan tas ransel mini di punggungnya. Bersiap jika dia harus berlari saat air dari langit tiba-tiba turun. Gadis cantik itu melangkah lebar agar segera tiba di rumah. Dia tidak ingin pulang terlambat karena terjebak hujan. Kedua orang tua dan tiga saudarinya mana peduli dengan keadaannya. Sia harus menyiapkan makan malam sebelum mereka semua pulang ke rumah.

"Untung tepat waktu," ucap Sia saat memasuki rumah.

Jaketnya sedikit basah terkena gerimis. Beruntung nasib baik masih memihaknya. Gerimis mulai turun saat jarak rumah Sia hampir dekat. Ketika sampai di rumah, hujan turun dengan derasnya. Sia segera melepas jaket dan langsung menuju dapur.

"Meong," seekor kucing putih menyambut kedatangan gadis itu.

"Hei, snow! Apa kau merindukanku?" tanya Sia sambil memeluk kucing gemoy itu.

"Meong," seolah mengerti dan menjawab pertanyaan pemiliknya.

"Baiklah! Kita lihat apa yang ada di dalam kulkas," seru Sia sambil memeluk kucing kesayangannya.

"Aku rasa aku akan memasak sup jagung dan ayam goreng filet untuk makan malam," ucap Sia sambil mengeluarkan bahan-bahan yang dia perlukan.

Tak ingin diganggu oleh snow saat memasak, Sia memberinya sekaleng makanan kucing. Kucing gemoy itu dengan senang hati melahap makan malamnya.

"Aku yakin berat tubuhmu pasti bertambah," ucap Sia sambil terkekeh.

Sia segera melanjutkan aktivitas memasak makan malam. Waktunya tidak kurang dari dua jam untuk memasak dan membereskan rumah. Padahal ayah dan ibunya sangat kaya tapi mereka tidak memiliki seorang juru masak di rumah dengan alasan agar keempat anak perempuan mereka bisa memasak. Alhasil, hanya Sia seorang yang disuruh memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian seluruh keluarga, dan merapikan semua kamar. Sedangkan ketiga saudarinya bagaikan tuan putri di rumah yang besar itu.

"Beres," ucap Sia sambil melepas celemek.

"Sia! Sia!" teriak seorang gadis dari arah depan.

Sia segera berlari menuju sumber suara. Dia tidak ingin mendapat masalah jika terlambat barang semenit saja.

"Lusi! Kau mabuk lagi?" tanya Sia sambil membantu adik bungsunya berdiri.

"Siapkan air hangat untuk aku mandi dan ..."

Hoek

Gadis belia itu muntah karena mabuk. Untung saja Sia segera menghindar.

"dan teh jahe," ucap Lusi dengan nada mabuk.

Gadis belia itu berjalan sempoyongan meninggalkan Sia menuju kamarnya di lantai dua. Sesekali gadis itu tersandung dan hampir jatuh.

"Aduh!" seru Sia saat melihat kening Lusi terbentur dinding.

Sia segera menyusul adik bungsunya itu dan menyiapkan air hangat sebelum gadis itu tiba di kamarnya. Selesai mengurusi Lusi, Sia dikejutkan oleh sesuatu yang berasal dari lantai bawah. Dia segera berlari menuju lantai bawah.

"Astaga, guci kesayangan mama!" teriak Sia terkejut melihat guci kesayangan sang mama telah hancur di lantai.

"Apa yang kau lihat! Cepat bersihkan!" perintah Sania

"Guci itu kesayangan mama. Bagaimana kau..."

"Diam! Bersihkan saja! Jangan banyak tanya!" hardik Sania.

Sania menghempaskan bokongnya di atas sofa. Tanpa rasa bersalah gadis itu malah sibuk memainkan jarinya di atas layar ponsel. Memasukkan beberapa item ke keranjang orange dan biru. Tak berapa lama, suara mobil memasuki halaman rumah. Gadis berkulit kuning langsat itu langsung beranjak dan mengambil alih sapu dari tangan Sia.

"What? Apa yang terjadi dengan guci kesayanganku?" tanya Ratna. Wanita paruh baya itu terkejut melihat gucinya hancur.

"Sia, ma! Dia memecahkan guci kesayangan mama," jawab Sania tanpa bersalah.

Sia terkejut mendengar tuduhan yang dilontarkan padanya. "Bukan ..."

Plak

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus gadis itu. Wajahnya yang putih memerah.

"Kau!" geram Ratna sambil mencengkram kedua lengan putri sulungnya itu.

"Selalu saja membuat masalah. Seharusnya dulu aku mendengarkan saran dokter untuk menggugurkan mu," geram Ratna.

Kedua netra Sia berkaca-kaca. Dia tidak menyangka wanita yang sangat dihormati dan dia sayangi mengatakan hal yang sangat menyakitkan hatinya.

"Untuk apa kau menangis? Hah! Setelah kau pecahkan guci malah Sania yang membersihkan. Kakak macam apa kamu?" murka Ratna.

Danu yang baru saja masuk ke rumah setelah memarkirkan mobil dibuat terkejut melihat keadaan rumah yang kacau.

"Ada apa, ma?" tanya Danu.

"Sia memecahkan guci kesayanganku dan dia malah menyuruh Sania yang membersihkan," kesal Ratna. Melihat suaminya, dia langsung meninggalkan Sia.

Plak

Lagi dan lagi Sia mendapat tamparan. Kali ini dari papanya.

"Kau itu, selalu membuat masalah. Apa tidak bisa seperti ketiga adikmu yang lain?" bentak Danu.

Cairan bening mengalir deras bak keran air yang tidak terkunci.

"Aku tidak seperti mereka. Ya, mereka memang pintar dan membanggakan tapi kelakuan mereka sangat buruk," bantah Sia dalam hati.

Brak

"Pergi dari sini! Aku sudah tidak tahan memiliki anak sepertimu. Ingat! Jangan pernah kau menyebut nama Wijaya sebagai nama keluargamu!" bentak Ratna sambil melempar koper dan beberapa helai pakaian Sia.

Ternyata wanita paruh baya itu pergi ke kamar Sia dan memasukkan pakaian Sia dengan asal ke dalam koper.

Lagi dan lagi Sia tak kuasa untuk membantah. Meski mendapat perlakuan kasar dari orang tua kandungnya sendiri, Sia tidak ingin menjadi anak durhaka. Gadis cantik itu hanya bisa menuruti keinginan sang mama. Sia merapikan pakaiannya ke dalam koper dan meraih jaket serta tas ransel mini yang tadi dia letakkan tak jauh dari tangga.

"Si, Sia pamit, ma," ucap Sia terisak.

"Pergi saja sana! Tak usah pamitan dan mencium tanganku!" ketus Ratna.

"Mampus!" Sania bersorak dalam hati.

Sania sengaja melakukan itu karena tahu bahwa Sia pasti akan dimarahi habis-habisan. Tapi siapa sangka, mamanya justru mengusir Sia.

"Sia, Sia. Kasihan sekali kau! Aku rasa tambahan huruf 'l' di akhir namamu sangat cocok," ucap Sania dalam hati.

Sia langsung melangkah pergi meninggalkan rumah dengan air mata yang terus mengalir.

"Aku harus kemana?" tanya Sia pada dirinya sendiri.

Diluar sangat dingin sisa hujan tadi sore. Perutnya belum terisi makanan dari tadi siang. Sia berjalan mengikuti langkah kaki yang membawanya tanpa tujuan.

Bab 2 Koma

Cukup jauh Sia berjalan. Kakinya terasa lelah dan perutnya tak berhenti berbunyi dari tadi. Sekitar seratus meter di depan tampak sebuah halte yang sudah tidak terpakai. Sia memilih untuk istirahat sejenak di sana. Gadis cantik itu mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Di sana tidak ada satu pun foto dirinya bersama keluarga. Gadis cantik itu tidak pernah dibawa keluar bersama keluarga karena saat berusia tujuh tahun pikiran Sia seperti anak berumur tiga tahun. Sejak saat itu kedua orang tuanya menganggap Sia sebagai aib bagi keluarga mereka.

Teringat akan pesan sang mama untuk tidak membawa nama keluarga, Sia beralih ke kontak dan mulai menghapus satu persatu daftar kontak keluarga. Dimulai dari nama kontak 'My Mama', 'My Papa', 'Bunga adikku', 'Sania cantik', dan terakhir 'Si Imut Lusi'. Tak ada lagi cairan bening yang mengalir saat Sia menghapus kelima daftar kontak itu.

"Huft! Aku harus kemana?"

"Meong."

"Snow!" seru Sia saat mendengar suara kucing yang mengeong.

Gadis itu tersenyum lalu menggendong snow dan memeluknya erat.

"Apa kau diusir juga?" tanyanya pada snow.

Si kucing gemoy hanya mengeong dan menjilati cakarnya.

Tanpa Sia sadari di kejauhan ada dua orang pemuda yang sedari tadi memperhatikannya.

"Bagaimana? Kita rampok saja gadis itu. Daripada tidak membawa apa-apa," usul salah seorang pria.

"Ya udah, gas! Mumpung jalanan masih sepi," jawab pria di sebelahnya.

Kedua pria itu berjalan mendekati Sia perlahan. Dua bayangan satu gemuk pendek dan kurus tinggi perlahan menutupi bayangan Sia yang sedang duduk dan sedang asyik membelai lembut snow.

"Hai, sendiri aja!" ucap si pria gemuk pendek.

"O ... om siapa?" tanya Sia dengan gugup.

"Om? Hahaha! Enak saja om. Memangnya aku kawin dengan tantemu?" ledek si pria gendut.

"Sudah! Langsung sikat saja," usul si pria kurus.

"Ka... kalian mau apa?" Sia semakin gugup.

Si pria gendut langsung mengambil koper Sia dan si kurus berusaha merampas tas ransel mininya. Snow yang dari tadi menikmati belaian lembut Sia seketika berubah menjadi seekor kucing yang garang. Snow melompat ke arah pria kurus dan mencakar wajahnya.

"Lari!" suara batin yang cukup lantang di telinga Sia. Entah suara itu dari mana asalnya tapi berhasil membuat Sia lari. Gadis cantik itu berlari sambil menoleh ke belakang. Khawatir akan dikejar oleh dua penjahat itu. Namun, naas bagi Sia.

Bruk

Tubuh Sia terpental beberapa meter sebelum mendarat hebat di permukaan aspal yang basah. Sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh Sia. Sunyinya jalan karena hujan membuat sang supir melajukan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Namun, setelah menabrak bukannya berhenti, truk itu justru melaju lebih kencang meninggalkan tubuh Sia tergeletak begitu saja.

* * *

Alam Abadi.

"Guru! Guru!" Max berlari dengan tergesa menuju gua kehampaan. Napasnya tersengal saat tiba di depan gua. Tidak ada pintu masuk namun ada seseorang yang berada di dalam sana.

"Mengapa kau menganggu kultivasiku?" tanya suara dari dalam terdengar tajam dan tegas.

"Freesia ..."

Pria itu langsung membuka pintu gua dari dalam saat salah seorang muridnya menyebut nama yang tidak asing di telinganya.

Max bergegas memasuki gua. Jalan masuknya hanya setapak dengan diterangi obor di kanan kiri dengan jarak kurang lebih satu meter setiap obor. Max berjalan perlahan karena dia tidak mengenal jalan ini. Seumur hidupnya ini adalah kali pertama dia memasuki gua kehampaan. Udara dingin menusuk hingga ke tulang pemuda itu.

"Pantas saja namanya gua kehampaan. Udara di dalam sini sangat tidak enak," ucap Max sambil bergidik ngeri.

Cukup lama dia berjalan hingga dia melihat cahaya diujung jalan. Max menghirup napas dalam-dalam karena kelegaan. Akhirnya dia terbebas dari jalan sempit yang menyesakkan.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya suara pria yang berhasil menyadarkan Max.

"Lapor, guru! Freesia mengalami kecelakaan di dunia fana. Dia ..."

Sesuatu seperti bayangan berkelebat di depan Max. Belum selesai dia menyampaikan informasi yang didapatnya, gurunya sudah pergi lebih dulu.

"Huft! Enaknya menjadi seorang abadi. Bisa mengetahui apa pun meski baru aku sampaikan sedikit," keluh Max.

Seketika tubuh pemuda itu menggigil ngeri. Dia melihat ke sekeliling. Tak ada apapun dan seorang pun di sana.

"S i a l! Aku sendirian," rutuk Max.

Pemuda itu segera menyusul gurunya. Siapa yang tahan tinggal berlama-lama di gua kehampaan. Rasanya sepi hingga ke tulang.

Di ujung tebing dunia abadi, seorang pria tampan dengan perawakan bak malaikat berdiri sambil menatap cermin kehidupan. Wajahnya tenang namun kedua netranya mencari sesuatu dengan tidak sabar.

"Mengapa aku tidak bisa menemukannya?" tanya pria itu pada dirinya sendiri.

"Freesia terlahir kembali dan ingatannya tentang kehidupan di dunia abadi terhapus. Wajar saja kau sulit menemukannya," suara lembut seorang wanita membuat pria itu tersadar.

"Dante, kau harus bersabar sedikit lagi," tambahnya lagi.

"Aku sudah cukup bersabar. Untuk apa selama ini aku tinggal di gua kehampaan?"

"Apa kau ingin ingatannya kembali dengan cara dipaksa atau tidak?" tanya wanita itu sambil mengeluarkan sebotol ramuan dari telapak tangannya.

"Kau tentukan sendiri. Apa kau siap menanggungnya?" tantang wanita itu.

Dante menghela napas panjang sambil menatap sebotol ramuan di telapak tangan Ella, seorang abadi dari kaum peri.

* * *

Rumah sakit kota.

"Bagaimana keadaanya?" tanya dokter Martin pada seorang perawat yang sedang bertugas merawat Sia.

"Semuanya stabil, dok. Hanya saja dia terlihat seperti mati suri," jawab perawat Martha.

"Keluarganya?"

"Masih belum bisa dihubungi."

"Kerabat atau teman?" tanya dokter Martin penasaran.

"Tidak ada," jawab Martha singkat sambil memainkan pundaknya.

"Kasihan sekali kau, nak!" seru dokter Martin sambil meletakkan kembali stetoskop di pundak.

"Semuanya terlihat baik. Kita hanya perlu menunggunya sadar. Entah apa yang sedang dia mimpikan hingga malas untuk bangun," tambah dokter Martin.

"Aku akan bertanggung jawab merawatnya. Anda tidak usah khawatir," jawab Martha.

"Aku tahu kau yang terbaik," jawab dokter Martin sambil melangkah pergi.

Martha merapikan selimut agar pasiennya tidak kedinginan. Cuaca diluar sedang mendung. Sejak tiga hari yang lalu, matahari di ibu kota enggan keluar dari peraduannya.

"Segera bangun, ok!" bisik Martha sebelum meninggalkan Sia.

* * *

Sia berjalan di sebuah padang pasir. Meski otaknya lebih lamban dari anak-anak yang lain sewaktu kecil, tapi dia tahu bahwa gurun pasir itu sangat luas dan panas. Teriknya mentari membuat tenggorokan Sia mengering dengan cepat. Sia berjalan tanpa arah dan tujuan. Gadis cantik itu membiarkan kakinya memimpin.

"Huft! Sudah sejauh ini masih tidak terlihat apa pun," keluh Sia.

"Oh, Tuhan! Bukannya tadi aku sedang melarikan diri?" Gadis itu bingung dengan keadaannya saat ini.

Terik mentari membuat pertahanan Sia roboh. Gadis itu terduduk beralaskan pasir yang sangat panas. Napasnya tersengal menahan dahaga yang tak kunjung hilang hingga membuat gadis cantik itu kehilangan kesadarannya.

"Dingin, dingin," ucap Sia dengan suara bergetar.

Matanya tertutup namun tubuhnya menggigil kedinginan. Dalam keadaan menahan dingin sebuah potongan gambar bagai film yang diputar mulai bermunculan. Sebuah panorama indah di sebuah tempat diatas langit. Banyak pemuda-pemudi dari berbagai ras berkumpul di sana. Termasuk dirinya sendiri.

Sia melihat dirinya sendiri sedang berdiri seorang diri di sebuah gerbang yang bertuliskan 'Abadi'. Di seberang gerbang terdapat lima kursi megah yang diduduki oleh lima orang pendekar hebat dari lima ras. Salah seorang dari mereka membuat jantung Sia berdetak lebih kencang. Bukan perasaan suka melainkan benci. Padahal dia tidak pernah melihat pria itu sebelumnya.

"Aneh! Mengapa aku melihat diriku yang lain? Di mana ini?" tanya Sia dalam kebingungan.

"Siapa pria itu? Mengapa aku tidak suka padanya?"

"Mungkin benar ejekan teman-temanku dulu. Otakku bermasalah bak kura-kura yang berjalan lamban,"

Potongan-potongan gambar itu perlahan bersatu seperti cerita hingga berakhir dengan sebuah adegan di mana Sia terbunuh dan berkata ...

"Aku tidak akan jatuh cinta lagi padamu," ucap Sia sambil terduduk dengan napas tersengal.

Martha segera memencet tombol agar perawat dan dokter segera datang.

"Apa gadis itu sudah sadar, Martha?" tanya dokter Martin sambil berjalan masuk.

Martha tak mampu berkata-kata. Wanita paruh baya itu hanya bisa menunjuk Sia dengan telunjuk kanannya.

"Ah!" seru dokter Martin.

Terkejut. Sudah pasti. Selama Martha merawat pasien koma, belum pernah dia menemukan pasien yang terbangun dari koma dalam keadaan meracau dan terduduk.

Bab 3 Dimulai

"Apa dia sudah sadar?" tanya dokter Martin seraya memasuki kamar pasien.

Martha tak kuasa berkata. Wanita paruh baya itu masih terkejut dengan sadarnya Sia secara tiba-tiba. Biasanya pasien yang sadar dari koma paling minimal menggerakkan jari atau membuka mata perlahan. Berbeda sekali dengan pasiennya yang satu ini.

"Baiklah! Mari kita periksa!" seru dokter Martin sambil mengeluarkan senter kecil.

"Semuanya bagus. Bagaimana perasaanmu?" tanya dokter Martin pada Sia.

"Ba... baik," jawab Sia gugup.

Gadis cantik itu menatap ke sekeliling ruangan. Sudah pasti ini bukan kamarnya.

"A ... aku di mana?" tanyanya lagi gugup.

"Tentu saja di rumah sakit," jawab dokter Martin lembut.

"Aku tinggal, ya. Jika keadaanmu semakin membaik, aku akan memindahkanmu ke kamar inap dan lebih baik lagi kau bisa pulang," jelas dokter Martin.

"Pulang," ucap Sia pelan nyaris tak terdengar siapa pun. Ingin menangis tapi air matanya sudah kering. Kata pulang membuat Sia sedih. Mengingat dia telah diusir dari rumah.

"Martha, dia di bawah pengawasan mu lagi!" perintah dokter Martin lembut.

"Baik dokter," jawab Martha sambil membuka pintu untuk dokter Martin.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Martha.

Sia mengangguk. Kepalanya terasa sedikit berat tapi bukan pusing.

"Sebaiknya kau istirahat!" perintah Martha lembut.

Sia mengangguk lagi dan merebahkan tubuhnya perlahan. Martha membantu gadis cantik itu dengan merapikan selimut.

"Oh, iya! Apa kau menyimpan nomor keluargamu? Aku harus menghubungi keluarga atau kerabat mu. Aku yakin mereka pasti sangat khawatir. Mengingat kau koma selama lima hari," jelas Martha.

Sia sempat terdiam. Bukan karena koma tapi kalimat dari perawat baik itu yang menyatakan bahwa keluarganya pasti khawatir. Sia tersenyum kecut.

"Tidak ada, Bu." jawab Sia pelan.

Martha melepas napas dengan kasar. Dia menatap Sia dengan perasaan kasihan. Mengingat gadis itu baru saja siuman. Martha memilih untuk tidak memperpanjang.

"Istirahatlah!" ucap Martha lembut.

Tiga hari kemudian, Sia diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Namun, bukan raut senang yang tersurat melainkan sedih.

"Bukannya kau sudah harus pulang?" tanya Martha setelah membantu Sia mengurus administrasi rumah sakit.

Beruntung gadis itu sudah mengurus asuransi kesehatan. Sia tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan keluarganya. Semenjak dia duduk di kelas sembilan, Sia mulai belajar mencari yang sendiri dengan cara halal. Tepat berusia tujuh belas tahun, Sia memohon pada bekas pelayan di rumahnya untuk dimasukkan sebagai keponakan di kartu keluarga agar bisa memiliki kartu identitas dan mengurus hal lainnya ke depan. Benar saja, semua terbukti saat ini. Kedua orang tuanya tidak pernah menganggap Sia sebagai putri kandung. Gadis itu juga tidak dimasukkan ke dalam kartu keluarga.

"Apa di sini ada lowongan pekerjaan?" tanya Sia.

"Sebagai cleaning service juga tidak apa-apa, Bu," timpal Sia.

Martha langsung berkacak pinggang mendengar pertanyaan Sia. Bingung, sudah pasti.

"Mengapa kau ingin bekerja di sini?" tanya Martha penasaran.

"A ... aku tidak punya tempat tinggal dan sudah pasti aku dipecat di kantor ku yang dulu," jawab Sia sambil menunduk.

"Sebentar! Aku sedikit bingung di sini. Bagaimana bisa kau tidak punya tempat tinggal? Dari penampilanmu saat kau di bawa di unit gawat darurat, kau terlihat seperti gadis baik-baik yang dirawat dengan baik meski keadaanmu cukup parah saat itu."

Sia terdiam. Dia bingung harus menjelaskan dari mana. Sejauh ini Martha adalah orang baik yang dia temui setelah keluar dari rumah.

"Apa jangan-jangan kau kabur dari rumah?" tanya Martha dengan nada terkejut.

"Tidak, tidak. Bukan begitu, Bu,"

"Terus?" Martha semakin penasaran.

"Aku, aku diusir dari rumah."

"Apa?" Martha sampai menutup mulut saking terkejutnya.

"Hanya karena guci kesayangan mama pecah," tambah Sia.

"Kau diusir karena memecahkan guci?"

Sia menggeleng, "Bukan aku yang memecahkan tapi adikku nomor dua yang melakukannya."

"Ya ampun. Masa ada ibu kandung seperti itu. Lebih sayang guci daripada anak kandung," kesal Martha.

Martha menghela napas sedikit kasar. "Aku tinggal sendiri. Putriku sudah tiada saat dia berusia lima belas tahun karena kecelakaan. Jika kau mau, kau bisa tinggal bersamaku. Aku rasa kau bisa menempati kamar mendiang putriku."

"Benarkah? Terimakasih, Bu," jawab Sia sambil melompat dari tempat tidur dan memeluk Martha.

* * *

Hampir satu bulan Sia tinggal bersama Martha. Kehidupannya mulai berangsur baik. Martha adalah satu-satunya orang luar yang bersikap baik padanya. Martha tidak membiarkan Sia untuk berkerja mengingat Sia baru sembuh.

"Kesehatan lebih utama," Martha tak pernah lupa mengingatkan gadis cantik itu.

"Iya ibu," jawab Sia.

"Sudah kubilang jangan panggil aku, ibu. Terdengar aneh," jawab Martha berpura cemberut.

"Terus aku harus panggil apa?"

"Hmm, sebentar biar aku pikir dulu," ucap Martha sambil berpikir keras.

"Bunda! Ya, bunda. Panggil bunda saja. Bagaimana?" tanya Martha antusias.

"Iya," jawab Sia senang.

"Iya, apa?"

"Iya, Bun.. bunda," jawab Sia malu-malu.

"Bagus. Aku akan pergi ke rumah sakit. Ingat! Istirahat!"

* * *

"Eh, tumben! Perasaan dua hari terakhir keseimbangan tubuhku bagus. Kenapa ya?" tanya Sia pada dirinya sendiri.

Biasanya setiap kali dia beraktivitas ada saja yang terjadi. Entah kakinya terbentur sesuatu, terpeleset, bahkan menabrak sesuatu yang jelas dia sendiri tahu letaknya tapi tidak bisa menghindar.

"Mungkin karena koma kemarin," jawab Sia asal.

Tidak sampai disitu. Keanehan lain mulai muncul perlahan. Seluruh indra gadis cantik itu menjadi lebih peka dari sebelumnya bahkan lebih peka dari kondisi normal dan tenaganya lebih kuat dari sebelumnya.

"Argh! Ada apa denganku?" tanya Sia frustasi.

"Sudahlah! Toh, kondisi tubuhku lebih baik dari sebelumnya. Tapi ini diatas normal, hiks!"

Gadis itu tidak tahu harus senang atau sedih. Sia tidak pernah bermimpi memiliki kekuatan lebih. Dia lebih suka sesuatu yang sederhana.

"Meong!"

"Eh, seperti suara kucing," Sia mencari sumber suara.

"Kau di sini rupanya!" seru Martha sambil menggendong seekor kucing gemoy berwarna putih.

"Ah, snow!" pekik Sia.

Snow langsung menghambur ke pelukan Sia.

"Itu kucingmu?" tanya Martha.

"Iya, Bun. Dia yang sudah menyelamatkanku dari perampok."

Sia membelai snow tanpa henti. Kucing itu menikmati setiap sentuhan Sia.

"Astaga! Jadi sebelum terjadi kecelakaan kau di rampok?"

Sia mengangguk.

"Di mana bunda menemukannya?"

"Dia berkeliaran di rumah sakit seminggu terakhir. Aku tidak tega membuangnya. Jadi, aku membawanya pulang. Hitung-hitung untuk menemanimu di rumah," ucap Martha sambil duduk.

"Terima kasih, bunda. Sudah membawanya pulang."

Martha membalas Sia dengan senyum. Namun, selesai tersenyum gadis itu justru ambruk ke lantai.

"Ya ampun, Sia!" pekik Martha.

* * *

Tiga hari setelah Sia pingsan. Gadis itu berubah total menjadi seseorang yang lain. Sia tidak menunjukkan perubahannya pada Martha. Dia selalu menjadi seorang Sia yang dulu.

"Aku rasa sudah waktunya untuk membalas mereka!"

"Meong," Snow menjawab Sia seolah mengerti.

"Bukannya kau bisa berbicara?"

"Sembilan belas tahun aku menjadi kucing di dunia manusia, tentu saja sulit meninggalkan kebiasaan lama," keluh snow.

"Hehehe ... aku lupa!" Sia terkekeh.

"Kau ingin membalas dari mana?"

"Bagaimana dengan adik bungsuku?"

"Ide yang bagus. Kau lebih cocok begini setelah ingatanmu pulih," ucap Snow.

"Tentu saja. Aku tidak menyangka ternyata aku bereinkarnasi setelah kejadian itu. Aku pikir jiwaku sudah hancur dan tidak bisa reinkarnasi."

"Itu namanya rahasia Ilahi tapi dengan kembalinya ingatanmu akan kehidupan yang lalu aku rasa ada seseorang yang merasa 'gusar'," ucap Snow sambil mengangkat tangan membuat tanda kutip pada kata gusar.

Sia terdiam sesaat sampai dia memutuskan untuk segera pergi menemui si adik bungsu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!