"Pagi bunda." Gadis cantik itu saat memasuki ruang makan.
"Pagi juga sayang. Bagaimana tidurmu?" tanya Martha dengan bahasa isyarat.
"Yah, sedikit mengantuk karena baru kali ini aku masuk shift ketiga dan pulang tengah malam." Freesia memilih kursi yang menghadap ke halaman belakang rumah.
pemandangan pagi yang dia inginkan ada di sana. Langit cerah, kicau burung Lovebird, dan bunga Freesia aneka warna sungguh memanjakan mata dan menenangkan perasaannya.
"Oh, ya! Kemarin Danu Wijaya mengirim pesan padaku, katanya Lusi ingin berbicara denganmu."
"Kenapa lagi dia? Bukannya sudah ku beri suami. Hoam!" sisa kantuk masih terasa hingga membuatnya menguap berkali-kali.
"Bunda juga tidak tahu. Apa kau ingin mencoba menghubunginya?"
Freesia meraih ponsel dan mengusap layar. Jam digital di layar ponselnya menunjukkan pukul enam lebih sebelas menit. Kemudian gadis itu menghitung perbedaan waktu antara Italia dan Indonesia. Setelah menghitung waktu, Freesia tersenyum. Sebuah senyum licik yang tercetak di sudut bibir.
"Aku akan menghubunginya nanti," ucap Freesia sambil meraih sandwich yang dibuatkan Martha.
Martha tertawa melihat pola tingkah putri angkatnya itu. Dia tahu persis, gadis itu pasti sengaja mengulur waktu dan menghubungi Lusi tengah malam nanti.
"Gadis yang malang," Martha bermonolog dalam hati.
"Pagi," sapa Luther saat memasuki ruang makan.
"Ya ampun, paman."
"Kenapa?" Luther menarik kursi makan yang letaknya berseberangan dengan Freesia.
"Apa kau ingin susu segar?" tanya Martha dengan bahasa isyarat.
"Aku sangat membutuhkannya. Terima kasih Martha."
"Kau habis begadang atau bagaimana?" Freesia mulai penasaran.
Wajah Luther kusut dengan kantung mata yang menggantung. Rambut-rambut halus sedikit tampak di area atas mulut dan sepanjang rahang bawahnya.
"Tunggu setelah aku menenggak habis susu segar!"
Luther merai segelas susu yang diberikan Martha. Pria itu menenggak habis dengan satu kali tarikan napas. Gayanya seperti orang yang sedang berjalan di Padang pasir. Saat menemukan oasis, dia akan menceburkan dirinya tanpa peduli apa pun.
"Pasti ada sesuatu." Freesia memicingkan mata.
Hampir saja Luther tersedak karena ucapan seorang gadis yang sedang duduk berhadapan dengannya. Luther memang tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Freesia semenjak kekuatannya pulih total. Malah bertambah hebat. Entah bagaimana dan di mana gadis itu melakukan kultivasi. tanpa Luther sadari dia meletakkan gelas kosong itu dengan sedikit kuat seperti seorang pecandu alkohol yang meletakkan botolnya ke meja. Freesia sedikit terkejut melihatnya dan dia semakin yakin ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pria yang hampir berumur seratus tahun itu.
"Kau tahu semalam aku pergi memenuhi janji dengan seseorang," ujar Luther sebagai kalimat pembuka.
Martha menggoyang lengan Freesia dan mengatakan, "Maaf menyela kalian." Wanita paruh baya itu dengan cepat menggerakkan tangannya setelah melihat pesan masuk di ponsel.
"Ada apa bunda?"
"Danu Wijaya meminta mu untuk menghubunginya. Katanya Lusi mengancam untuk mengakhiri hidupnya."
"Huh! Ada-ada saja," keluh Freesia seraya meminta ponsel Martha.
Semenjak pindah ke Verona, Freesia mengganti nomornya dan tidak ingin berhubungan dengan keluarga Wijaya lagi. Semua urusan perusahaan dia serahkan ke Luther. Sedangkan Martha mengurusi perihal uang belanja mereka.
Luther menyandarkan punggungnya ke kursi saat melihat Freesia berdiri dan berjalan menuju balkon samping rumah. Tadi dia memiliki kekuatan penuh untuk menjelaskan pada Freesia. Tidak tahu nanti. Bisa-bisa nyalinya menciut.
"Apa begitu penting urusan si pria tua itu? Biarkan saja si Lusi itu mengakhiri hidupnya." Luther kesal bukan kepalang.
"Sabarlah sebentar." Martha menenangkan Luther sambil tersenyum.
"Semoga saja nyaliku masih tersisa."
Panggilan dari Freesia langsung dijawab oleh pria paruh baya itu.
"Syukurlah kau segera menghubungi papa," jawab Danu.
Freesia tidak suka mendengar kata papa tapi dia tidak bisa menyalahkan pria itu juga.
"Ada apa?"
"Kak, aku mohon batalkan pernikahanku dengan Damian!" suara seorang perempuan yang tidak sabar mengganggu telinganya.
Ponsel di sebelah sana dengan cepat berpindah tangan.
"Untuk apa aku mendengarkan mu?"
"Kak, kumohon!" Lusi menangis hingga memekakkan telinga Freesia.
"Tidak. Pernikahan tetap berlanjut. Lagipula sudah hampir waktunya. Tidak ada bantahan. Kau juga tidak bisa mengakhiri hidupmu tanpa ijin dariku."
Freesia memutuskan panggilan tidak penting yang mengganggu paginya dan kembali ke ruang makan.
"Paman, aku membutuhkan bantuanmu untuk mengurus Damian. Terserah kau mau melakukan apa."
"Heh! Lain di mulut lain di hati," goda Luther.
Freesia menatap tajam Luther.
"Ok, ok! Aku akan melakukannya."
Luther kembali ke kamar untuk menjalankan tugasnya dan niatnya untuk membujuk Freesia harus tertunda lagi setelah urusannya selesai.
Tidak sampai satu hari, Luther telah menyelesaikan tugas yang diberikan Freesia.
"Pria itu tidak akan berani lagi," ujar Luther sambil duduk berhadapan dengan Freesia.
"Eh, kau tidak kerja hari ini?" tanya Luther saat melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Tidak. Aku libur."
"Tumben. Manager cafe mu salah minum obat ya?" goda Luther.
"Kemarin aku sudah kerja dua shift. Memangnya aku mesin!" ketus Freesia.
"Oh, ya! Aku juga membereskan Antonio."
"Wah, bagus! Aku malas mendengar keluhan lagi dari mereka. Terima kasih, paman. Kau terbaik," ucap Freesia sambil tersenyum.
Luther menarik napas.
"Dante keracunan," ucap Luther cepat.
"Apa hubungannya denganku?" Freesia bicara dengan nada tidak peduli.
"Tidak ada yang bisa menyembuhkannya selain kau."
"Alam abadi memiliki banyak ahli pengobatan. Aku bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka."
"Freesia, racunnya bukan racun biasa melainkan racun laba-laba hitam."
Freesia terdiam. Siapa pun di seluruh alam atas pasti mengetahui dahsyatnya racun laba-laba hitam. Tidak ada penawar kecuali dari si pemilik laba-laba hitam. Freesia teringat pernah terkena racun itu saat meningkatkan kultivasinya. Racun itu berjalan lamban tapi menggerogoti organ dalam tubuh secara perlahan. Jika orang biasa yang terkena pasti dalam hitungan paling lama tiga hari nyawanya melayang.
"Aku yakin mereka bisa mengobatinya."
"Tidak satu pun dari mereka yang bisa." Luther berusaha meyakinkan Freesia.
Memang benar yang pria itu katakan. Meskipun ada seorang ahli pengobatan dengan level dewa tidak akan bisa mengobati racun laba-laba hitam. Hanya Freesia yang sudah pernah merasakan dan berhasil melawan racun laba-laba hitam itu seorang diri.
Freesia tidak ingin membahas tentang Dante lebih lama. Dia mengeluarkan sebuah botol dari ruang penyimpanan pribadinya.
"Berikan ini padanya! Setidaknya bisa memperpanjang waktu untuk para ahli pengobatan mencari jalan keluarnya."
Freesia memberi botol warna hijau sebesar ibu jari pada Luther.
"Apa ini?" Luther mengamati botol kecil itu dengan mengangkatnya hingga dekat ke pandangannya.
"Darah laba-laba hitam. Aku sempat mengekstraknya menjadi pil setelah aku berhasil mendapatkan laba-laba hitam dan menyingkirkannya."
Freesia bangkit berniat menuju ke kamar. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan menoleh Luther yang masih tampak kagum dengan botol di tangannya.
"Bagaimana kau bisa tahu kabar dari alam abadi?"
"Saudara seperguruan ku yang mengabari. Dialah yang kutemui kemarin." Luther tak ingin menutupi dari Freesia.
Gadis itu sempat diam dan berpikir keras. Awalnya dia ingin marah karena Luther berani berhubungan dengan alam abadi tanpa sepengetahuannya. Namun, pikiran jernihnya berkerja cepat. Luther tidak mungkin mengkhianatinya karena dia telah membuat formasi pelindung yang kuat. Satu hal yang Freesia ingat bahwa Luther berasal dari alam setengah hewan. Akan sangat mudah bagi mereka untuk menemui kerabat mereka meski bersembunyi.
"Oh!" seru Freesia lalu meninggalkan Luther.
"Aku sudah berusaha, bro. Masih bagus aku mendapatkan benda ini."
Sementara itu, telah terjadi kepanikan di alam abadi, tepatnya di aula cahaya. Keadaan Dante semakin memburuk. Pria itu mengamuk tidak tentu arah.
"Aku harus kembali lagi," ucap seorang pria yang berada di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments