Bab 19 Dilema

Alam Abadi.

Tujuh hari setelah pertempuran, Dante mulai menunjukkan gejala akibat gigitan laba-laba hitam. Ketiga kakak seniornya mulai khawatir akan keadaan pria itu. Di mana dia adalah seorang ketua sekte. Bisa berdampak besar jika Dante tidak bisa diselamatkan. Awalnya para tetua dan senior merahasiakan keadaan pria itu. Namun, lambat laun desas-desus semakin beredar luas.

Mengakibatkan para murid dan empat lainnya khawatir. Awalnya mereka percaya bahwa racun laba-laba hitam dapat di netralkan oleh para ahli pengobatan spiritual. Nyatanya, kondisi ketua alam abadi semakin memburuk.

"Aku ingin kau menggantikan kedudukan ketua alam abadi untuk sementara," ujar Dante.

Suara pria itu sangat pelan nyaris tak bertenaga. Josh tahu jika adik seperguruannya itu menggunakan banyak energi untuk menekan racun.

"Aku tidak ingin berdebat panjang lebar denganmu. Aku akan menerimanya karena sementara tapi jika untuk selamanya, aku akan menolak di kemudian hari," Josh menghela napas.

Josh menatap Dante penuh iba. Dia tidak menyangka bahwa seorang ketua abadi yang dihormati oleh semua alam menjadi tidak berdaya seperti ini.

"Adik! Apa kau ingin menemuinya?"

Dante menggeleng. Dia tahu maksud baik Josh. Jika Freesia melihatnya dalam keadaan seperti ini bukankah akan menyedihkan. Dulu, dia berjalan dengan sombong meski hatinya murni. Seolah berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini.

"Aku tidak ingin dia melihatku seperti ini."

"Huh! Semenjak kau terpisah dari Freesia, aku jadi banyak membuang nafas," keluh Josh.

"Adik, kau istirahatlah! Aku akan kembali ke aula Kedamaian," timpal Josh lalu pergi meninggalkan Dante di kamarnya.

Semenjak terkena racun laba-laba hitam, Dante dibawa kembali ke aula Cahaya. Namun, dia tidak ingin ketiga murid Freesia yang mengurusnya. Dante menyuruh mereka untuk tinggal sementara di aula Kedamaian, tempat tinggal Josh.

"Freesia, aku merindukanmu."

Setetes cairan bening jatuh dari mata Dante. Rasa sakit yang dideritanya tidak sebanding dengan kerinduan di hatinya. Rasanya hati pria tampan itu tidak tertampung lagi menahan bobot kerinduan akan sosok Freesia.

* * *

"Eh, paman! Kau mau pergi kemana?" tanya Freesia saat melihat Luther keluar kamar.

Luther memutar bola matanya saat dipanggil paman oleh gadis kecil itu. Pria itu smpai lelah memberitahunya agar tidak memanggilnya paman lagi tapi bukan Freesia namanya jika tidak jahil. Lambat laun panggilan itu terasa biasa di telinga Luther.

"Aku akan bertemu seseorang," jawab Luther serius.

"Siapa?"

"Rahasia."

"Wajahmu terlihat serius. Pasti seorang yang penting?" Freesia mulai curiga.

Freesia sangat mengenal Luther. Pria itu selalu bersikap santai tapi kali ini terlihat serius. Lebih serius.

"Dia akan menemui seorang gadis," ujar Martha dengan bahasa isyarat.

"Wah, yang benar! Pantas saja wajahmu terlihat serius dan kaku," ujar Freesia sambil terkekeh.

"Begitulah. Apa aku terlihat tampan?" tanya Luther sambil membenarkan jaket kulit hitam yang baru saja dikenakannya.

Freesia mengangkat dua jempol ke atas dengan senyum merekah.

"Tapi, apa kau yakin akan mengenakan pakaian itu untuk menemui seorang gadis." Freesia menunjuk Luther dari atas ke bawah dan sebaliknya.

"Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan pakaianku?" tanya Luther.

Pertanyaan basa-basi yang harus dia lakoni agar Freesia tidak curiga. Setidaknya dia bersyukur atas bantuan Martha.

"Kau terlihat seperti anak jalanan daripada pergi kencan," ujar Freesia.

"Celana jeans robek di kanan kiri lutut, kaos oblong putih, jaket kulit, dan kacamata hitam. Seperti orang yang ingin pergi tur dengan motor besar dan jika aku tidak salah tebak, kau pasti akan mengenakan sepatu boots pendek warna hitam."

"Bingo!" seru Luther.

"Masa bodoh jika gadis itu tidak tertarik padaku. Aku bisa mencari yang lain lagi."

"ish! Sok kegantengan!"

"Memang aku ganteng," balas Luther sambil memainkan alisnya.

"Huek!" Freesia berpura muntah.

"Udah ah, aku mau pergi kerja dulu," timpal Freesia.

"Hari Minggu kerja?" Luther keheranan.

"Aku menggantikan Shella. Adiknya masuk rumah sakit kemarin. Jadi, tidak ada salahnya aku membantu pekerjaannya," jelas Freesia sambil mengambil kunci mobil di gantungan khusus kunci.

"Bye bunda," ucap Freesia sambil mengecup pipi Martha.

"Hati-hati di jalan," ucap Martha menggunakan bahasa isyarat.

"Iya bunda. Dah paman Luther!" Freesia berlalu pergi sambil melambaikan tangan pada Luther.

Deru halus mesin mobil menyala dan perlahan menjauh meninggalkan rumah.

"Terima kasih Martha." Luther memeluk Martha sekilas.

"Sama-sama," jawab Martha dengan bahasa isyarat.

Luther segera pergi menuju ke tempat yang sudah dia janjikan. Pria itu memilih berjalan kaki menikmati waktu malam yang akan tiba dalam hitungan menit. Langit senja hampir berubah warna menjadi hitam pekat. Langkah pria itu tidak lamban dan tidak juga cepat. Namun, pasti.

"Kau terlambat untuk ukuran manusia," ujar Adam saat dia melihat sosok Luther memasuki area taman kota.

"Freesia memergokiku. Gadis itu curiga kemana aku akan pergi. Beruntung Martha membantu."

"Wow! Insting yang kuat sekali."

"Ada apa Adam?" Luther ingin pertemuan mereka segera selesai sebelum Freesia menyadari sesuatu.

"Karena waktu aman yang kita miliki hanya sepuluh menit. Aku tidak akan menjelaskan dengan cepat. Selanjutnya, kuserahkan padamu!"

Luther mengangguk. Bersyukur Adam memahami keadaan. Luther tahu jika Freesia sempat curiga dan khawatir gadis itu memiliki waktu luang di kafe untuk memperhatikannya melalui cermin kehidupan.

"Tujuh hari yang lalu, saat lima alam mengadakan festival pedang perak di alam abadi, kami diserang oleh alam Hitam secara tiba-tiba ..."

"Bagaimana bisa?" Luther terkejut setengah mati.

Sepengetahuan Luther, pelindung alam abadi sangat kuat dan sulit untuk ditembus. Kecuali mereka menerobos melalui bawah tanah.

"Aku jelaskan lebih dulu, ok!" Adam mengingatkan.

"Ok." Mau tidak mau Luther harus menekan rasa penasaran.

"Kelima alam berusaha sekuat tenaga melawan alam Hitam. Perkembangan ilmu Darius sangat cepat sampai-sampai kami kewalahan. Banyak korban berjatuhan dan parahnya, Dante terkena racun laba-laba hitam."

Prang!

Luther menendang tong sampah yang terbuat dari alumunium yang berada tepat di samping kaki.

"Sekarang aku tahu perasaan tidak enak yang aku rasakan seminggu lalu. Ternyata ini sebabnya."

"Dengar, bro! Kami semua berusaha menyelamatkan Dante. Kau tahu sendiri apa yang akan terjadi jika ketua alam abadi tidak bisa bertahan alias meninggal. Keseimbangan kelima alam akan terganggu. Darius memberi kami waktu kurang lebih tiga bulan. Dia meminta pusaka Baru Keabadian untuk ditukar dengan penawar racun. Kami dalam dilema antara menyelamatkan Dante atau kelima alam. Keduanya sangat penting dan kau mengenal seseorang yang bisa menyelamatkan Dante," jelas Adam panjang lebar.

"Akan kucoba. Bagaimana pun mau atau tidak mau, aku akan memaksanya ke alam abadi untuk menyelamatkan Dante."

"Aku rasa waktu kita hampir habis. Kau adalah harapan terakhir kami," ucap Adam sambil memegang bahu Luther kemudian melesat pergi.

"S i a l! Mengapa jadi begini?" Luther memegang kepalanya yang tidak pusing namun terasa berat seperti ada sebuah batu yang sengaja di hantam ke kepalanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!