Usai mengurus Antonio, Sia mengajak Snow kembali ke rumah sakit. Dia tidak perlu repot-repot kembali ke perusahaan Wijaya. Papa biologisnya berjanji akan mengabari jika semua dokumen selesai.
"Bunda!" panggil Sia saat melihat wanita paruh baya itu terjaga.
Martha berusaha menggerakkan tangan ingin membelai Sia. Menenangkan gadis itu bahwa dia baik-baik saja. Namun, patah tulang pada tangannya membuat wanita paruh baya itu kesulitan.
"Bunda, jangan banyak bergerak!" pinta Sia lembut.
"Aku akan mengeluarkan bunda dari rumah sakit besok," timpal Sia.
"Apa kau yakin?" tanya Snow melalui kontak batin.
"Yakin."
Akibat obat yang dimasukkan melalui selang infus, mata wanita paruh baya itu perlahan menutup karena kantuk.
"Apa kau memiliki rencana lain yang belum aku ketahui?" tanya Snow penasaran.
"Menurutmu?"
"Terserah kau sajalah," ucap Snow sambil meregangkan tubuh.
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sebuah notif teks masuk yang belum di baca terpampang di layar ponsel Sia.
📱D. Wijaya
Dokumen sudah siap. Ke mana harus papa antar?
📱Anda
Aku yang akan mengambilnya sendiri ke rumah. Satu jam lagi aku tiba.
📱D. Wijaya
Papa tunggu.
Sia tidak menjawab pesan akhir dari pria baruh baya itu.
"Ayo, Snow!" seru Sia seraya berdiri.
"Eh, kemana?" tanya Snow sambil meregangkan otot tubuh kucingnya.
"Ke rumah," jawab Sia.
Snow melompat turun ke bawah dan mengikuti Sia yang keluar dari kamar rumah sakit. Sia memilih menaiki taxi online. Gadis itu ingin segera menyelesaikan semua tepat waktu. Langit kembali mendung. Awan putih berarak tadi siang tenggelam entah kemana. Tidak butuh waktu lama menunggu taxi online yang dipesan Sia. Gadis itu memilih kursi penumpang dan Snow melingkarkan tubuhnya di samping Sia. Siapa pun tidak bisa menolak cuaca mendung dengan udara dingin, sangat memanjakan mata.
"Snow! Kau mau tinggal?" tanya Sia melalui kontak batin.
"Hah! Sudah sampai?" tanya Snow sambil meregangkan lagi tubuhnya.
Semenjak mereka berada di rumah sakit menjaga Martha, Snow lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan alias tidur.
"Cepat sekali! Rasanya aku baru saja memejamkan mata," timpal Snow sambil melompat turun keluar dari taxi.
"Aduh!" teriak Snow saat menabrak sesuatu di depannya.
Snow menggosok hidung dengan kaki depannya. Kemudian, kucing gemoy itu mendongak untuk melihat apa yang ditabraknya olehnya barusan.
"Kenapa kau berhenti tiba-tiba?" tanya Snow kesal pada Sia.
"Siapa suruh jalan tidak lihat-lihat?" balas Sia tapi berpaling.
Snow mendongak dan mengikuti arah pandang Sia.
"Mam pus!" seru Snow dalam hati.
Sia menatap seseorang yang dia kenal dari balik jendela rumah. Bayangan sosok itu tertangkap melalui pantulan sehingga Sia mudah mengenalinya.
"Kau bilang mau pulang ke rumah!" seru Snow mengalihkan pikiran Sia.
"Bukannya ini rumah," jawab Sia sambil tersenyum kecut.
"Ku kira rumah yang kita tempati bersama Martha," timpal Snow.
"Ubah wujudmu Snow! Aku membutuhkanmu dalam wujud manusia," perintah Sia.
Sia berjalan memasuki halaman rumah kecilnya. Snow mengubah wujudnya di antara pepohonan halaman rumah Sia. Kemudian Snow mengikutinya masuk ke dalam.
"Sia, kau sudah datang, nak!" seru suara khas seorang Danu Wijaya dari dalam rumah.
"Cih! Terlalu dibuat-buat," ketus Snow.
"Biarkan saja," ucap Sia.
Seorang Danu Wijaya memang tidak tahu malu. Dia seolah hilang ingatan tentang perbuatannya dulu pada putri kandungnya sendiri.
"Aku tidak akan berlama-lama. Dokumen!" pinta Sia.
"Ini. Semua sudah papa urus. Termasuk identitas baru kamu dan Snow. Hanya saja, siapa Martha?" tanya pria paruh baya penasaran.
"Dia ibu angkat ku. Kau tidak perlu tahu terlalu banyak," jawab Sia sambil memperhatikan dokumen. Gadis itu tidak ingin ada kesalahan sedikit pun.
"Bagus!" seru Sia setelah melihat seluruh dokumen dan paspor.
"Snow! Berikan berkas-berkas yang tadi aku suruh kau urus!" seru Sia.
"Berkas yang mana?" tanya Snow bingung.
"Damian dan Antonio."
"Ah, yang itu!" seru Snow.
"Aku ingin kau menyelesaikan sekarang. Tidak ada nanti atau besok," ucap Sia seraya berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.
"Kau mau kemana?" tanya Snow.
"Aku akan mengurus urusanku sendiri," jawab Sia tanpa berbalik.
"Setelah selesai, kita bertemu di rumah," timpal Sia.
"Ok," jawab Snow singkat.
"Aku tidak suka melihatnya seserius itu," gumam Snow.
Diluar rumah Danu Wijaya, Sia berdiri di antara pepohonan halaman depan rumah. Gadis itu menghirup udara dalam-dalam sebelum melakukan sesuatu.
"Keluar!" seru Sia.
Sosok bayangan itu perlahan keluar dari persembunyiannya. Pria tampan dengan perawakan tinggi. Langkahnya tegap namun suara jantungnya terdengar hingga ke telinga Sia. Entah suara jantung pria itu atau suara jantungnya sendiri. Sia tidak bisa membedakannya.
"Apa kabarmu?" suara berat dan dingin itu menggema bagai lonceng di musim dingin.
Sia memilih diam. Keadaan di sini tidak cukup bagus bagi mereka untuk berbicara.
"Ikuti aku!" perintah Sia.
Sia berlari cepat nyaris tak terlihat oleh mata manusia biasa. Begitu pula dengan sosok yang mengikutinya. Sia memilih jalanan sempit dan sepi untuk berlari. Meski kecepatan mereka seperti kecepatan cahaya namun jika tersenggol seseorang akan terasa seperti hembusan angin yang kuat. Sia memilih rumah Martha untuk berbicara dengan Dante.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Sia.
Dante diam sesaat sebelum bersuara.
"Maaf," ucap Dante.
Sia tersenyum kecut mendengar kata maaf yang terlontar dari mulut pria itu. Setelah sekian lama dan perbuatan keji yang dia lakukan padanya, hanya kata maaf yang bisa dia ucapkan.
"Aku sudah memaafkan mu sebelum kau meminta maaf," jawab Sia.
Dante tahu makna dari ucapan gadis yang menepati hatinya itu. Freesia tidak ingin berlama-lama dengannya.
"Kapan kau akan kembali ke alam abadi?" tanya Dante.
"Aku pikir di sana bukan tempat ku lagi."
"Tentu saja itu tempatmu," jawab Dante cepat.
"Aku tidak pernah berpikir bahwa itu adalah tempatku lagi," timpal Sia.
"Aku .."
"Aku lelah," potong Sia sebelum Dante menyelesaikan kalimatnya.
"Baiklah! Guru tidak akan mengganggumu," jawab Dante.
"Kau bukan guruku lagi," balas Sia.
"Kau tetap muridku," jawab Dante cepat.
"Kau tidak bisa memaksaku. Bukankah kau sendiri yang mengusirku?"
Perasaan Dante terluka saat gadis itu dengan mudahnya mengatakan kalimat yang tidak ingin Dante dengar.
"Satu hal lagi. Aku tidak ingin kau mengikuti ku lagi. Nasib kita sudah terputus saat kau mem bunuhku," timpal Sia.
Dante menghela napas. Selama ratusan tahun dia hidup tidak pernah sekali pun dia menghela napas panjang.
"Setidaknya biarkan aku melihat wajahmu sebelum aku kembali ke alam abadi," pinta Dante.
"Terserah kau mau kembali atau tidak," ucap Sia tersenyum kecut dan langsung pergi meninggalkan Dante. Gerakannya sangat cepat. Membuat Dante sulit untuk mengejarnya.
"Apa tidak ada kesempatan untukku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Earlene
ngilu hatiku/Brokenheart/
2023-12-25
1