Bab 2 Koma

Cukup jauh Sia berjalan. Kakinya terasa lelah dan perutnya tak berhenti berbunyi dari tadi. Sekitar seratus meter di depan tampak sebuah halte yang sudah tidak terpakai. Sia memilih untuk istirahat sejenak di sana. Gadis cantik itu mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Di sana tidak ada satu pun foto dirinya bersama keluarga. Gadis cantik itu tidak pernah dibawa keluar bersama keluarga karena saat berusia tujuh tahun pikiran Sia seperti anak berumur tiga tahun. Sejak saat itu kedua orang tuanya menganggap Sia sebagai aib bagi keluarga mereka.

Teringat akan pesan sang mama untuk tidak membawa nama keluarga, Sia beralih ke kontak dan mulai menghapus satu persatu daftar kontak keluarga. Dimulai dari nama kontak 'My Mama', 'My Papa', 'Bunga adikku', 'Sania cantik', dan terakhir 'Si Imut Lusi'. Tak ada lagi cairan bening yang mengalir saat Sia menghapus kelima daftar kontak itu.

"Huft! Aku harus kemana?"

"Meong."

"Snow!" seru Sia saat mendengar suara kucing yang mengeong.

Gadis itu tersenyum lalu menggendong snow dan memeluknya erat.

"Apa kau diusir juga?" tanyanya pada snow.

Si kucing gemoy hanya mengeong dan menjilati cakarnya.

Tanpa Sia sadari di kejauhan ada dua orang pemuda yang sedari tadi memperhatikannya.

"Bagaimana? Kita rampok saja gadis itu. Daripada tidak membawa apa-apa," usul salah seorang pria.

"Ya udah, gas! Mumpung jalanan masih sepi," jawab pria di sebelahnya.

Kedua pria itu berjalan mendekati Sia perlahan. Dua bayangan satu gemuk pendek dan kurus tinggi perlahan menutupi bayangan Sia yang sedang duduk dan sedang asyik membelai lembut snow.

"Hai, sendiri aja!" ucap si pria gemuk pendek.

"O ... om siapa?" tanya Sia dengan gugup.

"Om? Hahaha! Enak saja om. Memangnya aku kawin dengan tantemu?" ledek si pria gendut.

"Sudah! Langsung sikat saja," usul si pria kurus.

"Ka... kalian mau apa?" Sia semakin gugup.

Si pria gendut langsung mengambil koper Sia dan si kurus berusaha merampas tas ransel mininya. Snow yang dari tadi menikmati belaian lembut Sia seketika berubah menjadi seekor kucing yang garang. Snow melompat ke arah pria kurus dan mencakar wajahnya.

"Lari!" suara batin yang cukup lantang di telinga Sia. Entah suara itu dari mana asalnya tapi berhasil membuat Sia lari. Gadis cantik itu berlari sambil menoleh ke belakang. Khawatir akan dikejar oleh dua penjahat itu. Namun, naas bagi Sia.

Bruk

Tubuh Sia terpental beberapa meter sebelum mendarat hebat di permukaan aspal yang basah. Sebuah truk dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh Sia. Sunyinya jalan karena hujan membuat sang supir melajukan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Namun, setelah menabrak bukannya berhenti, truk itu justru melaju lebih kencang meninggalkan tubuh Sia tergeletak begitu saja.

* * *

Alam Abadi.

"Guru! Guru!" Max berlari dengan tergesa menuju gua kehampaan. Napasnya tersengal saat tiba di depan gua. Tidak ada pintu masuk namun ada seseorang yang berada di dalam sana.

"Mengapa kau menganggu kultivasiku?" tanya suara dari dalam terdengar tajam dan tegas.

"Freesia ..."

Pria itu langsung membuka pintu gua dari dalam saat salah seorang muridnya menyebut nama yang tidak asing di telinganya.

Max bergegas memasuki gua. Jalan masuknya hanya setapak dengan diterangi obor di kanan kiri dengan jarak kurang lebih satu meter setiap obor. Max berjalan perlahan karena dia tidak mengenal jalan ini. Seumur hidupnya ini adalah kali pertama dia memasuki gua kehampaan. Udara dingin menusuk hingga ke tulang pemuda itu.

"Pantas saja namanya gua kehampaan. Udara di dalam sini sangat tidak enak," ucap Max sambil bergidik ngeri.

Cukup lama dia berjalan hingga dia melihat cahaya diujung jalan. Max menghirup napas dalam-dalam karena kelegaan. Akhirnya dia terbebas dari jalan sempit yang menyesakkan.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya suara pria yang berhasil menyadarkan Max.

"Lapor, guru! Freesia mengalami kecelakaan di dunia fana. Dia ..."

Sesuatu seperti bayangan berkelebat di depan Max. Belum selesai dia menyampaikan informasi yang didapatnya, gurunya sudah pergi lebih dulu.

"Huft! Enaknya menjadi seorang abadi. Bisa mengetahui apa pun meski baru aku sampaikan sedikit," keluh Max.

Seketika tubuh pemuda itu menggigil ngeri. Dia melihat ke sekeliling. Tak ada apapun dan seorang pun di sana.

"S i a l! Aku sendirian," rutuk Max.

Pemuda itu segera menyusul gurunya. Siapa yang tahan tinggal berlama-lama di gua kehampaan. Rasanya sepi hingga ke tulang.

Di ujung tebing dunia abadi, seorang pria tampan dengan perawakan bak malaikat berdiri sambil menatap cermin kehidupan. Wajahnya tenang namun kedua netranya mencari sesuatu dengan tidak sabar.

"Mengapa aku tidak bisa menemukannya?" tanya pria itu pada dirinya sendiri.

"Freesia terlahir kembali dan ingatannya tentang kehidupan di dunia abadi terhapus. Wajar saja kau sulit menemukannya," suara lembut seorang wanita membuat pria itu tersadar.

"Dante, kau harus bersabar sedikit lagi," tambahnya lagi.

"Aku sudah cukup bersabar. Untuk apa selama ini aku tinggal di gua kehampaan?"

"Apa kau ingin ingatannya kembali dengan cara dipaksa atau tidak?" tanya wanita itu sambil mengeluarkan sebotol ramuan dari telapak tangannya.

"Kau tentukan sendiri. Apa kau siap menanggungnya?" tantang wanita itu.

Dante menghela napas panjang sambil menatap sebotol ramuan di telapak tangan Ella, seorang abadi dari kaum peri.

* * *

Rumah sakit kota.

"Bagaimana keadaanya?" tanya dokter Martin pada seorang perawat yang sedang bertugas merawat Sia.

"Semuanya stabil, dok. Hanya saja dia terlihat seperti mati suri," jawab perawat Martha.

"Keluarganya?"

"Masih belum bisa dihubungi."

"Kerabat atau teman?" tanya dokter Martin penasaran.

"Tidak ada," jawab Martha singkat sambil memainkan pundaknya.

"Kasihan sekali kau, nak!" seru dokter Martin sambil meletakkan kembali stetoskop di pundak.

"Semuanya terlihat baik. Kita hanya perlu menunggunya sadar. Entah apa yang sedang dia mimpikan hingga malas untuk bangun," tambah dokter Martin.

"Aku akan bertanggung jawab merawatnya. Anda tidak usah khawatir," jawab Martha.

"Aku tahu kau yang terbaik," jawab dokter Martin sambil melangkah pergi.

Martha merapikan selimut agar pasiennya tidak kedinginan. Cuaca diluar sedang mendung. Sejak tiga hari yang lalu, matahari di ibu kota enggan keluar dari peraduannya.

"Segera bangun, ok!" bisik Martha sebelum meninggalkan Sia.

* * *

Sia berjalan di sebuah padang pasir. Meski otaknya lebih lamban dari anak-anak yang lain sewaktu kecil, tapi dia tahu bahwa gurun pasir itu sangat luas dan panas. Teriknya mentari membuat tenggorokan Sia mengering dengan cepat. Sia berjalan tanpa arah dan tujuan. Gadis cantik itu membiarkan kakinya memimpin.

"Huft! Sudah sejauh ini masih tidak terlihat apa pun," keluh Sia.

"Oh, Tuhan! Bukannya tadi aku sedang melarikan diri?" Gadis itu bingung dengan keadaannya saat ini.

Terik mentari membuat pertahanan Sia roboh. Gadis itu terduduk beralaskan pasir yang sangat panas. Napasnya tersengal menahan dahaga yang tak kunjung hilang hingga membuat gadis cantik itu kehilangan kesadarannya.

"Dingin, dingin," ucap Sia dengan suara bergetar.

Matanya tertutup namun tubuhnya menggigil kedinginan. Dalam keadaan menahan dingin sebuah potongan gambar bagai film yang diputar mulai bermunculan. Sebuah panorama indah di sebuah tempat diatas langit. Banyak pemuda-pemudi dari berbagai ras berkumpul di sana. Termasuk dirinya sendiri.

Sia melihat dirinya sendiri sedang berdiri seorang diri di sebuah gerbang yang bertuliskan 'Abadi'. Di seberang gerbang terdapat lima kursi megah yang diduduki oleh lima orang pendekar hebat dari lima ras. Salah seorang dari mereka membuat jantung Sia berdetak lebih kencang. Bukan perasaan suka melainkan benci. Padahal dia tidak pernah melihat pria itu sebelumnya.

"Aneh! Mengapa aku melihat diriku yang lain? Di mana ini?" tanya Sia dalam kebingungan.

"Siapa pria itu? Mengapa aku tidak suka padanya?"

"Mungkin benar ejekan teman-temanku dulu. Otakku bermasalah bak kura-kura yang berjalan lamban,"

Potongan-potongan gambar itu perlahan bersatu seperti cerita hingga berakhir dengan sebuah adegan di mana Sia terbunuh dan berkata ...

"Aku tidak akan jatuh cinta lagi padamu," ucap Sia sambil terduduk dengan napas tersengal.

Martha segera memencet tombol agar perawat dan dokter segera datang.

"Apa gadis itu sudah sadar, Martha?" tanya dokter Martin sambil berjalan masuk.

Martha tak mampu berkata-kata. Wanita paruh baya itu hanya bisa menunjuk Sia dengan telunjuk kanannya.

"Ah!" seru dokter Martin.

Terkejut. Sudah pasti. Selama Martha merawat pasien koma, belum pernah dia menemukan pasien yang terbangun dari koma dalam keadaan meracau dan terduduk.

Terpopuler

Comments

Bhebz

Bhebz

hum.. .kasihan

2023-12-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!