Bab 11 Freesia Gladiol

"Kau baik-baik saja?" tanya Snow khawatir melihat Sia sedikit sempoyongan.

Sia mengatur napas dan menstabilkan posisinya. Gadis itu menjawab Snow dengan kode tangan.

"Aku tidak bisa menyembuhkan bunda sepenuhnya. Bunda menyerap energi yang kuberikan sangat lambat. Aku rasa harus melakukannya sekali lagi setelah mengetahui diagnosa bunda besok," jelas Sia.

"Sebaiknya kau istirahat. Biar aku yang berjaga. Lagipula kau terlihat lelah setelah melancarkan aksi balas dendam dadakan," ujar Snow.

Sia mengangguk setuju atas saran Snow. Dia harus istirahat. Besok adalah hari yang sibuk. Sia harus mengunjungi tuan Wijaya untuk menagih janji dan mengurus beberapa dokumen.

Keesokan pagi, seorang dokter muda tampan datang berkunjung. Dia menyapa Sia sebelum melakukan pemeriksaan terhadap Martha.

"Aku dokter Willy yang menangani ibumu," ucap dokter Willy sambil mengeluarkan senter kecil dan stetoskop.

Sia tersenyum membalas dokter itu. Martha yang sudah sadar hanya bisa melihat tapi tidak bisa berbicara. Tubuhnya remuk redam dan sulit digerakkan. Dokter Willy memeriksa Martha dengan cekatan. Setelah selesai, dia memberi tahu tentang kondisi Martha pada Sia.

"Aku tidak akan basa-basi. Kau bisa melihat dari banyaknya perban dan penyangga tulang di tubuh ibumu. Dia mengalami kelumpuhan tapi jangan khawatir, banyak pasien yang lumpuh bisa sembuh karena mengikuti terapi dengan teratur," jelas dokter.

Sia mengerti penjelasan dokter itu. Dia juga sudah mengira kondisi ibu angkatnya pasti tidak sederhana. Usai memberi penjelasan, dokter Willy segera undur diri karena ada seorang perawat yang memberitahunya bahwa ada seorang pasien laki-laki mengalami cidera mirip ibu angkatnya.

Sia tersenyum. Senyum yang memiliki dua makna. Pertama senyum membalas sapaan dokter Willy dan kedua senyum puas karena Sia tahu bahwa korban laki-laki yang baru tiba di rumah sakit adalah pria yang dini hari tadi dia kerjai. Sepeninggal dokter Willy, Martha berusaha untuk berbicara pada Sia tapi sayang tidak ada suara yang keluar dari mulut wanita itu.

"Bunda, suaramu kenapa?" tanya Sia khawatir.

"Snow!" panggil Sia.

Snow melompat naik ke atas ranjang dan menatap Martha.

"Aku rasa dia tidak bisa berbicara," jawab Snow dengan kontak batin.

"Dia!" Geram Sia sambil mencengkram selimut.

"Kalau saja aku tahu dia membuat bunda tidak bisa bicara, aku pasti membungkam pria itu selamanya." jawab Sia geram.

Martha meneteskan air mata melihat putri angkatnya diliputi amarah. Di sisi lain dia senang mengetahui bahwa Sia tulus menyayanginya tapi di sisi lain Martha sedih karena Sia tersulut amarah.

"Bunda! Aku ada urusan sebentar. Aku akan meminta perawat untuk menjaga bunda," ucap Sia lembut.

Sia merapikan selimut dan mengecup kening Martha sebelum pergi meninggalkannya. Snow sudah pasti mengikuti gadis itu.

Sebuah gedung bertingkat menjulang tinggi. Sia dan Snow sudah berada di lantai dasar perusahaan Wijaya. Tujuan mereka tidak lain adalah menagih janji. Sia memilih menaiki anak tangga dari depan. Seorang satpam membukakan pintu untuknya dan tersenyum. Pemuda itu menanyakan keperluan Sia sebelum mengarahkannya ke resepsionis kantor.

"Mba Dila, ini ada tamu yang mau bertemu pak Wijaya," ucap pria itu.

"Sebentar saya hubungi dulu ya mbak. Mbak silahkan duduk dulu," ucap Dila ramah.

Sia mengangguk sambil tersenyum dan Snow berada di dalam gendongannya.

"Permisi mbak. Pak Wijaya bilang langsung ke ruangan pak Wijaya saja di lantai lima," ucap Dila.

"Bang Arief! Tolong anterin mbaknya ke ruangan pak Wijaya," perintah Dila.

"Ok mba."

"Silahkan mba!" ucap Arief sopan.

"Perilaku mereka berbeda jauh dengan bosnya. Aku rasa kau bisa mempertahankan mereka," ucap Snow melalui kontak batin.

"Aku rasa begitu."

Sia berdiri dan mengikuti pemuda itu. Mereka memasuki lift dan berakhir di lantai lima. Begitu pintu lift terbuka sudah tampak seorang wanita yang sangat se xy. Tebakan Sia adalah dia pasti seorang sekretaris.

"Mataku sakit melihatnya," ucap Snow.

"Bukannya normal laki-laki menyukai wanita yang berpakaian menampakkan lekuk tubuh," balas Sia terkekeh.

"Aku tidak termasuk," balas Snow cepat.

"Jangan-jangan kau penyuka sesama jenis!" seru Sia.

"Enak saja. Aku laki-laki normal."

"Oh, maksudmu kau adalah seekor kucing jantan yang normal!" ledek Sia.

Snow menggigit ibu jari gadis itu hingga membuat tubuh Sia sedikit limbung.

"Dasar kucing!" geram Sia.

"Siapa dia?" tanya wanita itu dengan sombong.

"Tamunya pak Wijaya, mba Aura," jawab Arief.

"Bapak ngga ada bilang tuh ada janji sama seseorang."

"Tapi tadi mba Dila sudah konfirmasi ke bapak dan beliau menyuruh tamunya langsung ke ruangannya," jelas Arief.

"Kalau saya bilang tidak ada, ya tidak ada. Saya sekretarisnya di sini. Saya lebih tahu jadwal bapak!" ucap wanita itu tegas.

"Aku mau mencakar wajahnya," ucap Snow.

"Sabar. Sebentar lagi orang yang ditunggu pasti datang," ucap Sia sambil membelai bulu putih Snow.

"Di mana tamuku?" tanya Wijaya dari dalam ruangan.

Pria paruh baya itu berjalan menyambut kedatangan Sia. Dia cukup lama menunggu hingga memutuskan untuk menemuinya di luar. Wijaya sudah tahu pasti sekretarisnya yang cantik namun berotak udang itu mencegah mereka masuk.

"Oh, jadi dia benar tamu bapak?" tanya Aura seraya berdiri dari kursi angkuhnya.

"Papa sudah menunggumu dari tadi. Ayo masuk ke dalam!" ajak Wijaya.

"Eh, tumben!" seru Snow.

Sia tidak mau ambil peduli dengan sikap papa biologisnya yang berubah baik. Tentu saja dia berubah karena terpaksa. Aura langsung pucat saat mengetahui gadis yang berdiri di hadapannya adalah putri bosnya. Selama ini yang dia tahu, putri bosnya hanya tiga dan dia cukup mengenal mereka.

Sia membiarkan Wijaya merangkul pundaknya. Selayaknya hubungan ayah dan anak yang harmonis.

"Oh, ya! Tolong beri tahu seluruh karyawan untuk berkumpul di rumah meeting sepuluh menit lagi. Ingat! Semuanya. Tidak ada pengecualian," perintah Wijaya pada Aura.

"Ba, baik pak."

"Duduklah!" perintah Wijaya lembut.

Sia menurut saja. Dia ingin lihat sejauh mana persiapan yang dilakukan Wijaya. Wajah pria paruh baya itu terlihat sembab. Bukan karena menangis melainkan bekas luka cakar di wajahnya. Meski dia menutupnya, tetap saja Sia tahu bahwa itu adalah luka cakar.

"Ini semua dokumen tentang perusahaan dan ini dokumen penyerahan perusahaan dan seluruh harta Wijaya," ucap Wijaya sambil menyerahkan dua map berisi dokumen yang berbeda.

Sia mengambil dua map itu dan meminta Snow untuk memeriksanya. Snow langsung berubah wujud menjadi manusia dan segera melakukan tugasnya. Meski sudah pernah melihat Snow berubah wujud tetap saja Wijaya merasa aneh dan takut.

"Semuanya aman," ucap Snow.

"Terima kasih papa," ujar Sia.

"Aku harap kau menepati janjimu," ucap Wijaya lemah.

"Aku pasti menepatinya."

"Aku rasa kau harus memperkenalkan aku pada seluruh karyawan dan notaris," timpal Sia.

"Sudah aku persiapkan. Sebentar lagi kita menuju ruang meeting."

"Satu lagi," ucap Sia.

"Apa?" tanya Wijaya penasaran. Tersirat rasa khawatir jika Sia meminta sesuatu yang mustahil.

"Aku ingin mengubah identitasku."

"Mengapa?" tanya Wijaya penasaran.

"Sia Wijaya tidak cocok untukku."

Wijaya hanya bisa menghela. Salahnya sendiri telah membuat putri sulungnya menjadi seperti ini. Semua nama anak-anaknya pasti disemati dengan nama Wijaya di belakang nama mereka. Begitu pula dia, Danu Wijaya. Di perusahan dan klien-klien memanggilnya dengan sebutan Wijaya karena nama keluarga Wijaya cukup tersohor dan termasuk lima perusahaan besar di ibu kota. Terbesit rasa sedih sedikit. Namun, semuanya sudah terlambat.

"Aku bisa mengurusnya," ujar Wijaya.

"Bagus."

"Kau ingin mengubah namamu menjadi apa?" tanya Wijaya.

"Freesia Gladiol."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!