Sudah dua hari berlalu. Keadaan warga semakin kondusif, namun tetap saja masih ada yang bergunjing tentang Dokter Sheryl dan juga orang yang menjadi suaminya.
Hanya para laki-laki yang melihat rupa Daren sekilas, karena amarah mereka yang mendominasi.
Pernikahan Sheryl dan Daren juga telah menyebar ke seluruh desa.
Ada yang senang karena hal itu, ada yang menyayangkan karena masih berharap Sheryl bisa menjadi miliknya, ada juga yang masih memikirkan cara agar Sheryl tetap di usir.
Untuk yang terakhir itu hanya pemikiran dari Budi, orang yang mempunyai dendam pribadi karena adanya Dokter di desa. Masih ingat dia kan?
"Seharusnya kemarin mereka di usir, bukan malah dinikahkan!" gerutu Budi bak orang tidak waras, karena berbicara sendiri.
"Apa seharusnya aku bunuh saja dia?" seakan kewarasannya semakin menghilang, ide gila itu terlintas dalam pikirannya.
"Malam ini akan ku habisi dia. Jika perlu dengan suaminya juga sekalian. HAHAHA," tawa Budi menggema di tengah sawah yang membentang luas.
Bahkan para petani lain yang berada cukup jauh dari tempat Budi berdiri bisa mendengar tawanya.
Budi sekarang beralih profesi sebagai petani yang bekerja pada saudagar kaya.
Naas belum sempat melaksanakan pemikiran jahatnya, tiba-tiba dari arah kanan datang ular berbisa.
Argh
Tanpa bisa di cegah ular itu mematuk kaki kanan Budi sebagai pertahanan diri sebelum pergi secepat mungkin.
Para petani yang mendengar langsung bergegas menemui Budi yang berteriak. Memang di alam liar yang luas, binatang-binatang pasti banyak. Dari yang mematikan sampai yang membuat jijik, semua ada.
"Ada apa Pak Budi?!" tanya petani yang berdatangan.
Ada apa?
Kenapa?
Apa yang terjadi?
"Itu di sana ada ular!" teriak satu petani yang melihat ekor binatang melata itu.
"Kaki Pak Budi membiru, jangan jangan di patuk! Cepat kita bawa ke puskesmas!" ucap yang lainnya.
Dengan cepat beberapa dari mereka menggotong tubuh Budi dan mengantarnya ke puskesmas walau sedikit sulit karena jalan di sawah hanya untuk satu orang saja.
Tidak semua ikut mengantar, karena sisanya memilih untuk menangkap ular itu agar bisa dimasukkan ke dalam karung atau membunuhnya agar tidak mengganggu aktivitas mereka.
......................
"Dokter tolong! Tolong!" teriak para petani panik karena takut nyawanya tidak tertolong.
"Ada apa ini?" tanya Tito yang langsung keluar dari dalam ruangannya.
Sejak 2 hari kemarin puskesmas tergolong sedikit pengunjung bahkan sepi.
Kebanyakan mereka yang datang untuk memeriksa kandungan pada bidan.
Para warga lebih memilih membeli obat yang dijual bebas di warung-warung.
"Ini Pak Budi di gigit ular!" ucap salah satu dari mereka.
"Tolong bawa masuk ruang tindakan! Saya akan memanggil Dokter Sheryl dulu!" ucap Tito yang langsung berlari memanggil Sheryl.
Sebenarnya kondisi Sheryl juga masih demam sejak 2 hari yang lalu, tapi kondisi saat ini darurat. Semoga saja Sheryl sudah merasa lebih baik.
Tok.. Tok.. Tok..
Tito mengetuk pintu dengan tidak sabaran, karena pasien harus mendapatkan tindakan.
Ceklek..
"Ada apa?" tanya Daren datar.
"Ada pasien yang di gigit ular! Saya harus memanggil Adek!" ucap Tito tanpa jeda.
"Kita akan segera ke sana!" ucap Daren sebelum kembali ke dalam kamar dan memberitahu Sheryl.
Sheryl baru saja meminum obat yang sejak kemarin dia minta pada Pak Doni.
Salah satu obat itu ada efek yang membuat dirinya mengantuk, jadi niatnya dia akan kembali berbaring.
Namun mendengar suara ketukan dari luar membuat Sheryl mengurungkan niatnya dan tetap menunggu Daren yang sedang membuka pintu dan bertanya pada orang di luar.
"Ada apa?" tanya Sheryl setelah Daren berjalan ke arahnya.
Bagai pinang di belah dua, pertanyaan mereka pada orang yang berbeda tidak di sadari sama persis. Bedanya hanya dari nada suara saja.
"Pak Tito bilang ada yang di gigit ular. Apa kamu bisa menanganinya?" tanya Daren mengusap rambut Sheryl yang tergerai.
"Apa?! Baiklah aku harus bersiap. Jangan sampai racunnya menyebar." bola mata Sheryl membulat kaget.
Dengan tergesa dia beranjak berdiri, namun karena belum sembuh kepalanya terasa kembali pusing dan membuatnya duduk di pinggir ranjang.
"Aku tahu kamu harus melakukan tugas, tapi kondisimu seperti ini. Biarkan aku membantumu!" ucap Daren tegas namun lembut.
Tanpa banyak kata Daren mengangkat tubuh Sheryl dan menggendong ala koala, lalu berjalan cepat menuju ruang tindakan.
Sesampainya di ruang tindakan Sheryl dan Daren mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan serta masker.
Walau heran karena Daren mengikutinya, Sheryl mengutamakan keselamatan pasien.
"Bagaimana kondisinya Mbak?" tanya Sheryl yang mulai memeriksa menggunakan stetoskop.
"Belum menyebar Dok. Peralatan sudah siap." ucap Ningsih sembari merapikan alat yang baru saja dia ambil dari kotak sterilisasi.
"Tolong ambilkan suntikan bius dan pisau. Selagi menunggu suntikan di siapkan, saya akan mengeluarkan racunnya dengan sayatan tipis," ucap Daren membuat kedua wanita itu heran namun dari cara Daren menatap luka dan mengambil tindakan mereka tidak ragu untuk mengikuti.
"Ini pisaunya." ucap Ningsih memberikan pisau pada Daren yang ada di hadapannya.
Sheryl yang ada di sebelah Ningsih menyiapkan suntikan bius total, melihat dari kondisi pasien.
Argh
Teriak pasiennya itu karena memang Daren sudah melakukan sayatan, dan baru Sheryl menyuntikkan obat dari lengannya.
Tak lama pasien memejamkan mata, Sheryl memasangkan oksigen dan alat lainnya, lalu meminta Ningsih memantau monitor pasien. Sedangkan Sheryl yang akan membantu Daren.
"Kassa," ucap Daren.
"Ini," balas Sheryl.
"Tolong cairan infus."
"Guyur area lukanya."
"Lap lagi dengan kassa."
"Jahitan," ucapan-ucapan Daren diikuti oleh Sheryl tanpa banyak bertanya.
Melihat Daren seperti ini seakan dia sedang belajar dengan seorang dosen. Karena pergerakan juga kelihaian Daren dalam penanganan sungguh sangat rapi dan terstruktur.
"Sudah selesai. Tolong tutup lukanya," ucap Daren sebelum berbalik melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan pada wastafel dekat pintu.
Daren tidak peduli jika Sheryl ataupun perawat itu mencurigainya. Baginya saat ini kesehatan Sheryl lebih penting. Maka dari itu dia yang melakukan pekerjaan Sheryl.
Selesai mencuci tangan dan mengelap menggunakan tisu kering, Daren berdiri di ujung ruangan dan memperhatikan Sheryl.
"Pasien harus dirawat sementara agar bisa terus di awasi. Beritahu keluarga pasien. Nanti sore mungkin pasien baru akan sadar. Tambahkan beberapa obat yang harus di suntikkan segera setelah saya serahkan obat itu pada Pak Doni dan di antar ke sini." ucap Sheryl pada Ningsih, sembari melepas sarung tangan dan mencuci tangan.
"Baik Dok." ucap Ningsih mengiyakan.
Sheryl bersama dengan Daren berpindah ke ruangan yang tidak jauh dari sana, untuk menuliskan resep obat.
Sheryl berjalan sembari memeluk tubuh Daren dari samping. Tadi saat Daren akan menggendongnya, Sheryl berkata tidak dan ingin jalan sendiri.
Tapi di tengah perjalanan kepalanya seolah berputar membuatnya tidak nyaman, jadilah dia menumpukan tubuhnya dalam pelukkan Daren.
"Apa aku bilang. Lebih baik di gendong kan." datar Daren namun perbuatannya berbanding terbalik dengan ucapan datarnya.
Tangan laki-laki itu tidak keberatan menjaga tubuh Sheryl dengan dekapan yang kuat namun tidak menyakitinya.
"Malu tahu! Tadi aja diliatin," balas Sheryl cemberut.
Daren hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Mereka sampai di ruang dokter dan Sheryl langsung duduk dan menuliskan resep obat agar bisa langsung di antarkan.
"Biar aku yang berikan. Kamu istirahat saja di sini," berbeda dengan tadi, suara Daren melunak dan lebih lembut sekarang.
"Makasih," angguk Sheryl berterimakasih tanpa penolakan. Rasa kantuknya kembali datang!
Daren mengangguk dan berlalu sembari menutup pintu ruangan Sheryl. Dengan cepat dia menjelaskan pada Pak Doni agar bisa membawa Sheryl kembali ke kamar rawatnya.
.
.
.
Tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments