Di pertengahan malam, seperti rutinitas pada setiap malamnya, di desa akan ada beberapa orang warga yang melakukan ronda malam agar menjaga keamanan wilayah mereka.
Ronda yang dilakukan warga dari ujung pemukiman hingga perbatasan hutan, karena sering ada kawanan hewan yang masuk pemukiman.
Sesuai dengan komando Kepala desa, sebelum kembali dari hutan mereka menyusuri kembali area sungai.
Saat berjalan di mendekati semak yang ada di pinggiran sungai, seorang warga tanpak melihat sesuatu yang mengambang.
“Pak. Pak. Lihat di sana! Sepertinya itu salah satu korban lainnya,” teriak seorang diantara ke 6 orang yang sedang berkeliling itu.
“Wah sepertinya iya! Kita bawa langsung ke puskesmas saja!” ucap yang lainnya dan langsung bergegas membawa orang tersebut.
Mereka bergegas membawa seorang pria yang diduga menjadi salah satu korban menuju puskesmas.
Tadi sebelum bubar Dokter sudah mengatakan jika puskesmas di buka 24 jam untuk beberapa hari kedepan.
“Bu dokter! Ada korban yang di temukan,” teriak warga saat mereka sampai di depan bangunan puskesmas.
Dokter yang memang sedang menyeduh kopi agar tidak mengantuk itu pun langsung bergegas keluar.
“Mari pak ikuti saya! Baringkan pasien di sini,” ucap Dokter tersebut yang bername tag Sheryl Adelia A.
“Tolong tunggu di luar,” ucap perawat yang membantu Sheryl bertugas kepada 6 orang warga itu.
Setelah semua keluar ruang tindakan, Sheryl segera melakukan pertolongan walaupun dengan peralatan yang tidak sebaik di rumah sakit besar.
“Apa kita masih mempunyai stok obat suntik pereda nyeri?” tanya Sheryl yang masih fokus membersihkan dan menutup luka-luka pada tubuh pasiennya.
Beruntungnya korban satu ini masih bernafas walaupun lambat namun masih terasa. Air yang terhirup juga tidaklah membuat fatal.
Entah kenapa Sheryl merasa korban yang satu ini seperti sudah terlatih dengan pertahanan diri saat terjadi situasi tidak terduga.
“Sepertinya masih ada beberapa Dok. Tapi untuk cairan infus masih belum sampai, padahal stok di sini tersisa 2 botol,” ucap perawat sembari mengambil alat yang Sheryl butuhkan.
“Tidak papa, kemungkinan siang nanti sampai, tapi jika belum sampai juga harus ada yang membeli ke kota agar kita tidak kehabisan,” ucap Sheryl menenangkan, walau sejujurnya dirinya juga tidak yakin.
Kejadian seperti ini sering terjadi, entah itu karena memang obat yang dikirim masih tertahan di perjalanan, atau memang ada yang sengaja mencurinya untuk keuntungan pribadi.
“Pagi nanti minta Pak Doni untuk menghubungi pihak farmasi agar mengirimkan beberapa obat tambahan, jika tidak di tanggung pemerintah maka gunakan uang pribadi saya,” tambah Sheryl setelah selesai dengan pekerjaannya.
Tidak terasa kali ini dia menghabiskan waktu lebih dari 4 jam untuk menangani pasien. Karena selama dia praktek di desa belum ada kejadian tak terduga seperti ini.
Staff di puskesmas hanya ada 6 orang. Dokter jaga hanya ada Sheryl, Perawat yang bernama Ningsih, Bidan yang bernama Marni, Apoteker yang bernama Doni, Administrasi yang bernama Tito, dan terakhir petugas kebersihan yang bernama Inah.
Sebagai dokter Sheryl terkadang membantu bidan saat memerlukan bantuan jika pasien perlu tindakan khusus dan di pindahkan ke rumah sakit.
Belum ada dokter tambahan yang Sheryl ajukan pada rumah sakit kota, agar pasien di puskesmas tidak terlalu mengantri. Sebisa mungkin dirinya melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat agar mereka tidak menunggu terlalu lama.
Entah mungkin belum ada yang bersedia pindah dari kota besar ke desa kecil seperti ini, jadi sulit mendapatkan dokter tambahan atau dokter pengganti.
...----------------...
Korban yang berhasil Sheryl selamatkan belum juga sadarkan diri. Sheryl terus melakukan perawatan intensif pada korban.
Selama hampir 3 hari Sheryl menjaga pria yang di selamatkannya ini. Seluruh staff di puskesmas ini sudah berkeluarga, dan lagi hanya dia satu-satunya dokter di desa. Jadi tak ada lagi yang bisa di andalkan selain hanya dirinya.
Saat pagi hingga siang puskesmas melayani masyarakat seperti biasa. Tapi karena para staff lain juga meresa kasihan pada Sheryl yang tidak istirahat dengan benar, mereka memberikan waktu untuk Sheryl istirahat di siang hingga sore. Baru setelahnya mereka kembali ke rumah masing-masing.
Sheryl beruntung memiliki rekan kerja yang selalu kompak dan saling bantu. Saat bekerja di rumah sakit pemerintah juga Sheryl mendapatkan rekan kerja yang baik, tapi di sana terlalu banyak perselisihan baik dari keluarga maupun rekan kerjanya yang lain.
Selama di desa bahkan Sheryl selalu mendapatkan hasil bumi secara cuma-cuma dengan alasan dirinya sudah banyak menyembuhkan warga yang sedang kurang sehat. Padahal itu memang tugasnya, lagi pula Sheryl merasa dirinya hanya perantara saja, yang memberi kesembuhan adalah pencipta alam ini.
“Sebaiknya Bu Dokter istirahat dulu seperti biasa. Nanti malam kan harus kembali menjaga pasien tampan itu,” ucap Ningsih dengan sedikit menggoda dokter muda di depannya ini.
“Jangan gitu dong! Atau kamu ini lagi ledekin saya ya Mbak? Mentang-mentang kamu udah nikah padahal usia kita gak jauh beda,” decak Sheryl kesal karena memang hanya Ningsih yang tahu bagaimana rupa pasien yang sedang mereka rawat. Karena di desa tidak ada ruang rawat lain, jadi mereka harus mensterilkan ruangan dengan hanya memperbolehkan dokter dan perawat yang masuk.
Usia Sheryl memang lebih muda di antara para staff lain yang rata-rata sudah 26 tahun ke atas. Sheryl sendiri berusia 23 tahun, tapi dia sudah berhasil mendapatkan gelar sarjana di usia 19 tahun di lanjut dengan koas yang harus dilaluinya 2 tahun setelahnya. Baru dia bekerja di instansi pemerintah dan tahun lalu di kirim ke desa ini.
Sedikit info usia dari para staff puskesmas, Ningsih berusia 26 tahun, Bidan Marni 30 tahun, Doni 29 tahun, Tito 27 tahun, dan terakhir Bu Inah 35 tahun.
“Ahaha maaf maaf, tapi memang ganteng kan dek?” goda Ningsih lagi. Karena usianya yang masih muda Sheryl sering di panggil Adek oleh para staff. Dan lagi di puskesmas tidak ada yang namanya senioritas. Jadi setelah selesai bertugas mereka akan berbicara non formal.
“Aaaaa... Mbak jangan bikin kesel dong Mbak,” cemberut Sheryl karena terus di goda. Yang menggoda tentu hanya tertawa ngakak.
“Iya iya,” ucap Ningsih menyerah, takut ngambek nanti adeknya ini.
“Oh iya selimut sama pakaian pasien yang kamu minta baru dateng sekaligus sama obat tambahan. Tenang semua sudah steril dan bisa langsung digunakan.” Ucap Ningsih memberi informasi yang di terimanya dari Pak Doni.
“Oke Mbak, makasih infonya ya,” ucap Sheryl yang sudah melupakan kekesalannya.
Tok.. Tok.. Tok..
“Masuk,” ucap Sheryl memberi izin.
“Halo dek! Sudah selesai kan? Aku mau ajak Mbakmu makan di warung nasi xx nih,” ucap seseorang yang tak lain Tito. Ningsih dan Tito adalah pasangan suami istri yang sudah berumah tangga kurang lebih 2 tahun.
“Sudah kok Bang. Mbak Ningsih lagi ngidam ya?” tanya Sheryl. Ningsih memang sedang mengandung buah hati mereka yang ke dua, kalau kata Bu bidan sih mereka kebobolan. Anak yang pertama saja baru berumur 1 tahun, eh adeknya udah jadi lagi.
“Iya nih. Untung masih makanan desa yang dia pengen. Kalau sampe harus ke kota dulu kan repot, apalagi jalan antar kota yang masih belum di perbaiki, bisa bahaya kan,” curhat Tito sembari menunggu istrinya selesai mencuci tangan.
“Kamu kok malah curhat sama anak kecil ini sih?! Ayok cepet sebelum nanti makanan yang aku mau habis!” ucap Ningsih sinis pada suaminya.
“Adek jangan ikut-ikutan ya! Mbak duluan. Jangan lupa istirahat dulu aja, tadi udah aku periksa pasiennya dan masih belum ada perkembangan, jadi kamu bisa istirahat sebentar.” Lanjut Ningsih sebelum berjalan mendekati pintu bersama Tito.
“Iya iya,” balas Sheryl pelan dengan senyum sendunya. Sheryl bersyukur bisa mengenal orang-orang seperti mereka yang peduli padanya. Tidak seperti, ah sudahlah bukan saatnya memikirkan hal itu, pikir Sheryl dalam hatinya.
Tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments