Sanggana7: Dendam Ratu Muda
*Dendam Ratu Muda (DRM)*
Perang antara Prabu Dira Pratakarsa Diwana dengan Prabu Galang Digdaya telah usai yang dimenangkan oleh Prabu Dira. Prabu Galang harus menerima kekalahan dengan kondisi kehilangan tangan kanannya dan kehilangan seluruh kesaktiannya. Namun, Prabu Dira masih berbaik hati dengan membiarkan penguasa yang dilengserkan itu tinggal di kediamannya di dalam Istana.
Sementara itu, kematian Mahapatih Olo Kadita oleh Putri Ani Saraswani setelah diculik oleh Prabu Dira Pratakarsa Diwana, membuat Prabu Galang Digdaya mengangkat Menteri Keuangan Badaragi sebagai Mahapatih Sementara.
Sebelum peperangan terjadi, pejabat yang diakrabi oleh Prabu Dira adalah Badaragi. Saat itu, sang prabu yang punya nama pendekar Joko Tenang, menyamar menjadi pedagang kayu. Dia menjadi konsumen baru bagi Badaragi yang punya usaha bubuk kopi.
Karena itulah, setelah perang usai, orang pertama yang dipanggil oleh Prabu Dira adalah Badaragi.
“Sembah hormatku, Gusti Prabu!” ucap Mahapatih Sementara Badaragi setelah dia turun berlutut dan menjura hormat. Ini pertama kalinya dia turun berlutut kepada Prabu Dira, mantan konsumen kopinya.
Badaragi adalah sosok lelaki gemuk berkulit putih bersih. Dia mengenakan pakaian bagus warna biru gelap dengan blangkon batik warna biru putih keputih-putihan.
“Bangunlah, Paman!” perintah Prabu Dira.
Badaragi bergerak bangkit.
Saat itu Prabu Dira duduk di kursi kebesaran nan megah yang biasa diduduki oleh Prabu Galang Digdaya di Aula Tahta. Permaisuri Ginari dan Permaisuri Yuo Kai duduk di dua kursi yang lain.
Pengawal Prabu yang bernama Riskaya berdiri di sisi kanan kursi tahta. Sementara Wakil Ketua Pasukan Pengawal Dewi Bunga, Murai Manikam, berdiri di sisi kanan kursi Permaisuri Ginari. Dia memang pengawal permaisuri yang dijuluki Permaisuri Tangan Peri.
Adapun Pengawal Dewi Bunga yang bernama Bo Fei, berdiri di sisi kanan kursi Permaisuri Yuo Kai yang dijuluki Permaisuri Negeri Jang. Bo Fei yang berusia hampir kepala empat itu memang pengawal pribadi permaisuri bermata sipit itu sejak di Negeri Jang yang terletak di seberang samudera.
Ada sejumlah prajurit jaga di pintu masuk aula dan di sejumlah titik di tempat itu. Mereka adalah prajurit Kerajaan Pasir Langit yang sifatnya hanya patuh kepada siapa yang berkuasa.
“Apa jabatan Paman Badaragi sekarang?” tanya Prabu Dira.
“Menteri Keuangan dan Mahapatih Sementara, Gusti,” jawab Badaragi.
“Mahapatih, aku tidak akan berkuasa di kerajaan ini. Tahta akan diduduki oleh Putri Ani Saraswani. Putri Ani telah memintaku menggulingkan ayahnya tanpa dibunuh dengan sejumlah imbalan untukku, termasuk menikahinya,” ujar raja yang gantengnya keterlaluan itu.
Terkesiap Badaragi mendengar adanya peran Putri Ani dalam penggulingan Prabu Galang Digdaya. Namun, keterkejutannya tidak lebay-lebay amat. Dia yakin, keakrabannya dengan Prabu Dira sebelum perang, tidak akan mengancam nyawa atau posisinya. Meski dia pun tidak mendukung langkah kudeta Putri Ani, tetapi gadis cantik jelita itu sangat akrab dengannya. Maka, dia tidak akan mencoba untuk memiliki pemikiran beroposisi.
“Perintahkan semua pejabat menghadap sore ini. Sipil dan militer. Mereka yang tidak menghadap akan dianggap melepas jabatannya, kecuali pejabat yang berada di medan perang!” perintah Prabu Dira.
“Baik, Gusti Prabu,” ucap Badaragi patuh.
Memang, saat ini sedang terjadi perang di wilayah timur, tepatnya di perbatasan Kadipaten Senengek.
Pasukan Kaki Gunung dan pasukan Angkatan Laut Kerajaan Pasir Langit sedang bahu-membahu menghadapi Pasukan Gajah Besi Kerajaan Sanggana Kecil. Pasukan angkatan laut terpaksa naik ke darat untuk membantu pasukan yang bertempur di wilayah timur. Jadi banyak perwira militer Kerajaan Pasir Langit yang belum tahu tentang takluknya raja dan kerajaan mereka.
“Tetapkan masa berkabung selama tiga hari di Istana dan Ibu Kota, demi menghormati para prajurit yang gugur dalam peperangan mempertahankan kerajaan ini. Dalam waktu itu, urusan mayat-mayat harus terselesaikan!” perintah Prabu Dira lagi.
“Baik, Gusti Prabu,” ucap Badaragi patuh.
“Paman boleh pergi.”
“Baik, Gusti Prabu.”
Badaragi lalu pergi setelah tidak ada perintah lain.
Setelah kepergian Mahapatih Sementara Badaragi, giliran Panglima Bidar Bintang yang datang menghadap bersama dua pengawalnya.
Sosok Panglima Bidar Bintang adalah seorang pemuda, tapi sudah beristri satu dan belum bercita-cita mengikuti jejak rajanya beristri banyak. Mungkin karena usia istrinya baru delapan bulan mendampinginya dan masih terlalu hangat untuk didekap. Bidar Bintang memiliki model wajah yang tegas dengan alis yang tebal dan sorot mata tajam laksana mata elang. Meski perawakan badannya terbilang sedang, tetapi ia memiliki otot-otot yang alot. Ia memiliki senjata berupa cambuk pendek berwarna hijau gelap yang katanya terbuat dari ekor macan gonda, macan yang konon berkulit hijau. Hanya Bidar Bintang yang mengetahui tentang kebenaran adanya macan gonda, karena semua orang belum pernah melihat ada macan berkulit hijau.
“Sembah hormat hamba, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri!” hormat ketiga perwira tersebut kepada Prabu Dira dan kedua permaisurinya.
“Bangunlah!” perintah Prabu Dira.
Ketiga perwira itu lalu bangkit berduduk, bukan bangkit berdiri. Mereka duduk bersila di lantai.
“Pasukan Ular Gunung sudah berkumpul di pelataran Istana dan depan benteng Istana, Gusti!” lapor Panglima Bidar Bintang.
“Panglima Bidar, ganti semua prajurit jaga dengan prajurit pasukanmu!” perintah Prabu Dira.
“Baik, Gusti Prabu,” ucap Panglima Bidar Bintang.
“Kau ambil alih keamanan Istana. Penjarakan semua komandan pasukan Kerajaan Pasir Langit hingga pangkat pemimpin prajurit. Bebaskan semua prajurit yang bukan perwira. Jika mereka masih ingin menjadi prajurit Kerajaan Pasir Langit, agar datang berkumpul tiga hari lagi pada pagi hari di depan benteng Istana. Umumkan bahwa tindakan mengancam bagi kekuasaan baru Kerajaan Pasir Langit akan dianggap sebagai tindakan pemberontakan dan hukumannya adalah dibunuh!” Prabu berbibir merah terang itu memberikan sejumlah perintah.
“Baik, Gusti Prabu,” ucap sang panglima.
“Kakak Murai!” panggil Prabu Dira kepada Murai Manikam. Jangan heran jika Murai Manikam dipanggil “Kakak”. Murai adalah satu-satunya orang lain yang menyaksikan kelahiran Prabu Dira selain kedua orangtua sang prabu.
“Hamba, Gusti,” ucap Murai Manikam yang usianya memang jauh lebih tua dari Prabu Dira, meski dia masih perawan tingting.
Di kalangan pendekar wanita yang menjadi pengawal para permaisuri Kerajaan Sanggana Kecil memang cukup banyak yang mempertahankan kejombloannya, padahal usianya terus menua, seperti Murai Manikam, Riskaya dan Bo Fei. Entah, apakah mereka semua berharap diambil sebagai selir oleh Prabu Dira atau punya alasan khusus lain. Prabu Dira memang menjadi pujaan setiap wanita muda dan tua, bahkan yang sedang bersuami.
“Salah satu permintaan Putri Ani setelah Prabu Galang Digdaya aku gulingkan adalah menjaga nyawanya. Pilihkan lima pendekar wanita dan lima lelaki dari Pasukan Hantu Sanggana untuk menjaga Putri Ani!” perintah Prabu Dira.
“Baik, Gusti Prabu,” ucap Murai Manikam patuh.
“Istirahatkan Pasukan Hantu Sanggana. Istirahatkan Pasukan Ular Gunung yang tidak mendapat tugas jaga agar bisa bergantian posisi. Panglima, pastikan semua tempat di Istana ini terjaga oleh prajurit. Tempatkan seratus prajurit di Wisma Keprabuan. Jangan mempersulit, yang terpenting aman!”
“Baik, Gusti Prabu!” ucap Panglima Bidar dan Murai Manikam.
“Kakak Murai, kirim utusan untuk memanggil lima puluh pendekar Pasukan Hantu Sanggana yang sedang mengawasi pengiriman kayu. Hentikan sementara pekerjaan pengiriman agar mereka bisa membantu dan mengamankan hari pernikahanku dengan Putri Ani. Panggil juga Garis Merak dan teman-temannya!” perintah Prabu Dira lagi.
“Baik, Gusti Prabu.”
“Kirim juga utusan ke Pasukan Gajah Besi dan pasukan Pasir Langit di perbatasan Kadipaten Senengek untuk mengabarkan diambilalihnya kekuasaan Pasir Langit. Pasukan Pasir Langit yang tidak mau tunduk kepadaku akan dimusnahkan. Jika mereka tunduk kepadaku, kembalikan pasukannya ke barak. Panglima dan para komandan pasukan, perintahkan datang menghadap ke Istana dengan damai!”
“Baik, Gusti Prabu,” ucap Murai Manikam.
“Kalian, boleh pergi. Datanglah kembali di saat sidang nanti sore!” perintah Prabu Dira.
Murai Manikam dan Panglima Bidar Bintang serta dua pengawalnya lalu menjura hormat. Mereka lalu pergi untuk melaksanakan tugas.
“Kapan Kakang Prabu menikahi Putri Ani?” tanya Permaisuri Yuo Kai datar.
“Setelah memastikan pemerintahan dan pasukan Pasir Langit aman dan bersih,” jawab Prabu Dira.
“Jadi, siapa yang akan duduk di tahta ini, Kakang Prabu?” tanya Permaisuri Ginari. Lalu katanya lagi sebelum suaminya menjawab, “Aku akan sangat senang jika dipercaya oleh Kakang Prabu untuk memimpin negeri ini. Akan aku lebarkan wilayah kekuasaan hingga ke negeri seberang.”
“Jangankan duduk sebagai ratu di kursi ini, hadir di hari pernikahan nanti pun kita tidak diperkenankan, Adik Permaisuri Tangan Peri,” timpal Permaisuri Yuo Kai yang usianya lebih tua dari Permaisuri Ginari.
“Apa maksud, Permaisuri Negeri Jang?” tanya Permaisuri Ginari dengan tatapan yang serius.
“Salah satu tuntutan Putri Ani adalah pernikahan kami tidak dihadiri oleh seorang pun istriku,” jawab Prabu Dira.
“Apa?” pekik Permaisuri Ginari.
Dalam menyepakati perjanjian antara Prabu Dira dan Putri Ani memang hanya melibatkan Permaisuri Yuo Kai, jadi Permaisuri Ginari tidak tahu sama sekali satu pun poin di dalam surat perjanjian.
“Mohon maaf, Kakang Prabu. Gusti Ratu Tirana, Permaisuri Guru dan permaisuri yang lain sepakat tidak menolak jika Kakang Prabu menikahi Putri Ani demi membangun pertahanan laut yang kuat. Namun, melarang kehadiran Gusti Ratu Tirana dan permaisuri yang lain di hari pernikahan Kakang Prabu, aku menentangnya,” kata Permaisuri Ginari.
“Ini demi mempermudah penaklukan dan membuat Putri Ani mau menikah denganku,” kata Prabu Dira lembut seraya tersenyum manis kepada wanita yang pernah menjadi kekasih pertamanya itu.
“Bukankah tanpa menikahi Putri Ani, Kakang Prabu bisa menguasai kerajaan ini sepenuhnya?” kata Permaisuri Ginari bermaksud memojokkan suaminya.
“Aku akan memimpin perang besar melawan Negeri Tanduk dan sekutu-sekutunya. Jika aku membangun citraku di atas cara yang jahat, aku khawatir banyak pihak yang enggan bersekutu dengan kita,” kilah Prabu Dira.
“Aku yakin, bukan hanya aku yang menentang ulah kurang ajar Putri Ani itu. Jika tidak memandang kemuliaan Kakang Prabu, aku pasti memilih untuk membunuh gadis itu daripada menghina Ratu Sanggana Kecil dan para permaisuri saktinya,” kata Permaisuri Ginari. “Jika memang pasal perjanjian itu tidak bisa diubah, untuk apa lagi aku berada di sini. Aku tidak mau diusir lebih dulu sebelum kembali ke Sanggana Kecil. Bagaimana dengan Kakak Permaisuri Negeri Jang?”
“Aku membenarkanmu, Adik. Aku akan pulang bersamamu ke Sanggana Kecil. Ada Riskaya yang akan mendampingi Kakang Prabu,” jawab Permaisuri Yuo Kai.
Mendengar keputusan kedua istrinya, Prabu Dira tidak bisa berkata-kata lagi. Dalam hati dia memang membenarkan perkataan Permaisuri Ginari. Untuk apa pula menahan mereka tetap tinggal jika kemudian harus memerintahkan mereka pergi sebelum hari pernikahan. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞ᴳ᯳ᷢ👻ᴸᴷhiat
waduh istrinya banyak banget gak pusing ya punya istri sebanyak itu raja, dan sekarang mau menikah lagi
2023-12-17
1
𝓐𝔂⃝❥Etrama Di Raizel
Betul juga ya, jadi jangan di tahan kan 🤔
2023-12-10
0
🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ
manis banget sih pak klw. ada maunya yaa 🙄🙄
2023-12-02
0