DRM 4: Sidang Aula Tahta

*Dendam Ratu Muda (DRM)*

 

Aula Tahta sudah ramai oleh para pejabat Kerajaan Pasir Langit. Hampir semuanya adalah pejabat sipil semisal menteri. Pejabat tinggi militer yang hadir hanyalah Komandan Adur Garuk, Kepala Pasukan Pengawal Prabu.

Komandan Adur Garuk lolos dari kematian atau penahanan karena dia tidak ikut dalam pertempuran. Meski jabatannya adalah Kepala Pasukan Pengawal Prabu, tetapi itu seperti formalitas saja karena dia dan pasukannya tidak dibutuhkan oleh Prabu Galang Digdaya. Memang, sebagai raja sakti mandraguna, dalam kesehariannya Prabu Galang hanya memakai dua pengawal pribadi dari kalangan pendekar, sehingga Pasukan Pengawal Prabu tidak terpakai secara maksimal.

Suasana Aula Tahta sangat berbeda dari biasanya. Ada kecemasan tergambar pada wajah-wajah dan terucap pada kata-kata para pejabat yang saling berbincang di masa tunggu itu. Pasalnya, semua prajurit yang berjaga bukan prajurit Kerajaan Pasir Langit, tetapi prajurit Pasukan Ular Gunung milik Kerajaan Sanggana Kecil. Itu menunjukkan bahwa para pejabat tidak memiliki kekuatan apa-apa di dalam ruangan besar tersebut.

Ada beberapa pejabat tinggi yang memiliki pengawal pribadi dari kalangan pendekar. Seperti Mahapatih Sementara Badaragi yang memiliki pengawal bernama Ronda Galo. Namun, Ronda Galo dilarang masuk ke Aula Tahta, tidak seperti biasanya. Dia harus menunggu di halaman Aula Tahta bersama beberapa pendekar pengawal pribadi pejabat lain.

Di sekitar kursi tahta ada berdiri Panglima Bidar Bintang dan beberapa anak buah kepercayaannya.

Setelah menunggu seratus kali tarikan napas, yang mereka tunggu akhirnya datang.

“Gusti Prabu Dira Pratakarsa Diwana tibaaa!” teriak seorang prajurit yang ada di sisi dalam belakang tahta. Lalu teriaknya lagi, “Gusti Putri Ani Saraswani tibaaa! Semua menyembaaah!”

“Sembah hormat hamba, Gusti Prabu, Gusti Putri!” seru Mahapatih Sementara Badaragi sambil lebih dulu turun bersujud di lantai dengan kedua tangan menempel tegak di depan kepala.

Melihat apa yang dilakukan oleh Badaragi, para pejabat lain pun melakukan tindakan yang sama. Mereka ramai-ramai turun bersujud. Jelas, mereka tidak mau dianggap sebagai penentang di saat mereka dalam kelilingan prajurit yang belum bersahabat dengan mereka.

“Sembah hormat hamba, Gusti Prabu, Gusti Putri!” seru mereka semua.

Pada saat yang sama, dari arah belakang muncul Prabu Dira yang tampil penuh wibawa dan kharisma tanpa lupa membawa ketampanannya. Dia tidak mengenakan mahkota. Rompi merah pusakanya tetap terpakai sebagai lapisan luar dari baju putihnya. Terlihat sangat nasionalis dengan warna merah putih.

Prabu Dira datang dengan didampingi oleh Putri Ani Saraswani. Cukup banyak pengawal yang mengiringi di sisi belakang. Ada Riskaya yang sangat dekat dengan Prabu Dira dan ada Rincing Kila yang sangat dekat dengan Putri Ani. Selain itu adalah sepuluh pendekar Pasukan Hantu Sanggana yang fungsinya juga menjaga keselamatan sang putri.

Adapun keselamatan Prabu Dira cukup dijaga oleh satu gadis cantik yang sakti, yaitu Riskaya.

Para pengawal itu menyesuaikan sendiri posisinya.

Prabu Dira berdiri di depan kursi tahta yang megah dari kayu hitam yang antiapi. Putri Ani pergi berdiri di depan kursi megah lainnya, tapi posisinya di sisi kanan dari tahta.

“Bangunlah kalian semua!” perintah Prabu Dira berwibawa, lalu duduk di singgasananya.

Para pejabat itu bergerak bangkit, kemudian semuanya duduk bersila dalam formasi letter C dua lapis dengan jarak dari kursi panas yang diduduki sang prabu sejauh tiga tombak.

Setelah semua duduk bersila dengan punggung yang tegak, semua pejabat memandang sejenak kepada Putri Ani Saraswani. Itu karena selama ini, Putri Ani tidak pernah hadir di Aula Tahta, apalagi sampai formal seperti itu.

Sebelumnya, mereka telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa Putri Ani telah bersekutu dengan Prabu Dira untuk melakukan kudeta terhadap ayahnya sendiri, padahal statusnya adalah Putri Mahkota yang kelak akan mewarisi tahta ayahnya.

“Apakah kalian semua sudah mengenalku?” tanya Prabu Dira kepada khalayak.

“Sudah, Gusti!” jawab para pejabat.

“Aku perlu memanggil kalian semua pada sore ini bukan untuk mengenal kalian satu per satu, tapi demi kebaikan kalian agar para perwiraku tidak salah menangkap atau membunuh orang. Aku hanya perlu mengenal beberapa pejabat yang nanti akan bekerja sama denganku dalam mewujudkan tujuanku di kerajaan ini. Aku juga ingin memberi tahu kalian, kenapa perang ini harus terjadi dan kenapa Gusti Prabu Galang Digdaya harus aku singkirkan dari kekuasaan. Kalian semua sudah tahu bahwa sebelum perang aku sudah mengirim istriku Ratu Kerajaan Balilitan dan mahapatihku. Mereka bertemu dengan Gusti Prabu Galang dan menyampaikan maksud dan tawaran kerja sama. Namun, semuanya ditolak. Akan ada serangan besar dari Negeri Tanduk di seberang samudera terhadap Tanah Jawi ini dan itu pasti akan terjadi. Aku akan memimpin perang besar yang akan terjadi di laut selatan kerajaan ini. Aku hanya perlu membangun angkatan laut seperti yang Pasir Langit miliki dan kerajaan ini membangun benteng laut sebelum perang besar terjadi. Sebenarnya aku tidak membutuhkan tahta ini. Namun, karena Gusti Prabu Galang menolak permintaanku, maka terpaksa aku harus menyingkirkannya dan memberikan tahta kepada Putri Ani yang bersedia bekerja sama denganku. Aku tidak akan merajai kalian, tapi Putri Ani yang akan meratui kalian,” ujar Prabu Dira agak panjang.

Para pejabat hening dalam kekhusyukannya mendengar kata-kata Prabu Dira.

“Apakah kalian bersedia diratui oleh Putri Ani Saraswani?” tanya Prabu Dira dengan nada penekanan.

Sejenak tetap hening, tetapi sejumlah pejabat mulai menengok memandang pejabat lainnya, seolah-olah ingin mencocokkan frekuensi sikap batin mereka tanpa kata-kata.

“Maafkan hamba, Gusti Prabu,” ucap seorang pejabat, dia tidak lain adalah Komandan Adur Garuk yang saat itu berpakaian sipil seperti pejabat menteri lainnya. Tidak heran jika dia berani bersuara.

“Siapa kau, Paman?” tanya Prabu Dira kepada lelaki yang berusia kepala enam itu.

“Hamba Komandan Adur Garuk, Kepala Pasukan Pengawal Prabu,” jawab Komandan Adur Garuk.

“Kenapa kau dan pasukanmu tidak berada di sisi Gusti Prabu Galang saat berperang?” tanya Prabu Dira. Seharusnya dia bisa menghapal wajah komandan itu jika turut berperang tadi siang di sekitar rajanya.

“Mohon maaf, Gusti Prabu. Hamba dan pasukan hamba tidak ikut berperang. Kami dipakai oleh Gusti Prabu Galang hanya jika mengawal Gusti Prabu pergi jauh dari Istana,” jawab Komandan Adur Garuk.

“Sampaikan perkataanmu!” perintah sang prabu.

“Banyak dari kami yang tidak menyangka bahwa Gusti Putri sangat kejam kepada Gusti Prabu Galang. Padahal tahta tetap akan turun kepada Gusti Putri. Kenapa harus memilih jalan memberontak? Bagaimanapun, kami masih memiliki kesetiaan kepada Gusti Prabu Galang,” ujar Komandan Adur Garuk, yang perkataannya diangguki oleh beberapa pejabat yang sepertinya sepemikiran meski tidak satu isi kepala.

“Izinkan aku menjawabnya, Gusti Prabu,” ucap Putri Ani seraya menjura hormat kepada Prabu Dira.

“Silakan, Putri,” ucap Prabu Dira.

“Apakah kalian melihat hasil peperangan hari ini?” tanya Putri Ani kepada para pejabat.

“Kami melihatnya, Gusti,” jawab mereka serentak.

“Jika aku tidak memerintahkan pasukan kita menyerah, prajurit kita bisa habis. Dan kalian bisa melihat kekalahan telak Gusti Prabu ayahku. Aku bersekutu dengan Gusti Prabu Dira atau tidak, pasukan Kerajaan Sanggana Kecil tetap akan menyerang kita dan Gusti Prabu Dira tetap akan melawan ayahku. Apakah kalian yakin bahwa Gusti Prabu Dira bisa membunuh ayahku dalam pertarungan?” ujar Putri Ani Saraswani.

“Melihat hasil pertarungan tadi siang, aku rasa kami yakin bahwa Gusti Prabu Dira mampu membunuh Gusti Prabu Galang,” jawab Komandan Adur Garuk objektif.

“Jika aku tidak membuat perjanjian dengan Gusti Prabu Dira, mungkin ayahku sudah mati dan kalian semua sudah berada di Penjara Kayu Hitam,” kata Putri Ani.

Terbeliak mata-mata para pejabat itu. Mereka yang sebelumnya telah akrab dengan sang putri langsung mempercayai perkataan itu. Sementara sebagian yang lain masih perlu mencerna lebih jelas, hingga kemudian membenarkan kata-kata sang putri, padahal itu adalah buah pikiran Prabu Dira sebelumnya.

“Aku dan Putri Ani tidak akan memaksa kalian. Tidak ada ancaman pemenjaraan bagi kalian yang menolak tunduk dan patuh, kecuali kalian mencoba memberontak kepada Putri Ani,” kata Prabu Dira. Lalu serunya lantang, “Kalian semua menjadi saksi! Tahta yang aku rebut dari Gusti Prabu Galang Digdaya kini aku serahkan kepada Putri Ani Saraswani. Dan ketika Putri Ani duduk di tahta ini, maka dialah penguasa tertinggi Kerajaan Pasir Langit. Putri Ani Saraswani adalah ratu bagi kalian yang mau tunduk dan mengabdi!”

Prabu Dira lalu bangkit dari duduknya. Dia bergeser ke sisi kanan tahta.

“Silakan duduk di tahta, Putri,” kata Prabu Dira.

Maka tanpa pertimbangan lagi, Putri Ani Saraswani lalu bangkit berdiri. Meski jantungnya berdebar-debar, tetapi dia merasa bahagia. Dalam hitungan napas, dia pun akan menjadi seorang ratu. Yang ada di dalam pikirannya, dengan dirinya menjadi ratu, maka dirinya pun akan sejajar dengan status para permaisuri milik Prabu Dira. Gelar ratunya jelas akan lebih tinggi daripada para permaisuri Kerajaan Sanggana Kecil. Dia akan sejajar dengan Ratu Tirana di Kerajaan Sanggana Kecil dan Ratu Lembayung Mekar di Kerajaan Balilitan. (RH)

Terpopuler

Comments

🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ

🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ

gak usah mikirin yg lain lain deh putri ani. yg penting dah di pilih sama gusti Prabu 🤭🙈

2023-12-17

0

🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ

🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ

klw lupa bawa ketampanan nya bisa pada lari yaak 🤭🤭

2023-12-17

0

🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ

🍒⃞⃟🦅♥︎🍁ηαηα❣️Ꮶ͢ᮉ᳟👻ᴸᴷ

enak kali makna tidur di gaji kan 🤭😅

2023-12-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!