*Dendam Ratu Muda (DRM)*
Serombongan orang bekerja mendorong gerobak-gerobak panjang dan besar yang mengangkut kayu gelondongan besar-besar dan panjang. Satu gerobak panjang sebenarnya terdiri dari rangkaian tiga gerobak.
Setiap tiga gerobak mengangkut tiga atau empat batang kayu gelondongan jenis sonokeling. Setiap satu rangkai ditarik dan didorong oleh lima belas orang tidak berbaju, tapi masih bercelana. Tubuh-tubuh mereka bercahaya oleh peluh yang membanjir. Rombongan itu memiliki sepuluh rangkai gerobak. Jadi sekali jalan mereka bisa membawa sedikitnya tiga puluh kayu gelondongan.
Uniknya, selain orang-orang yang mendorong, ternyata ada puluhan orang yang berjalan mengiringi di sekitarnya. Orang-orang itu berpakaian ala pendekar dan membawa macam-macam jenis senjata, sesuai dengan kesukaannya. Mereka tidak ikut mendorong untuk meringankan beban orang-orang yang mendorong.
Kelompok pendekar itu dipimpin oleh Delik Rangka, seorang lelaki gemuk pendek. Dia mengenakan pakaian warna biru gelap. Usianya sudah layak untuk menikah. Istrinya seorang wanita biasa dan menjadi ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah. Sang pendekar yang berusia empat puluh tiga tahun itu adalah pemimpin dari puluhan pendekar yang merupakan sebagian dari Pasukan Hantu Sanggana. Delik Rangka adalah Ketua Pasukan Hantu Sanggana.
Tugas separuh dari Pasukan Hantu Sanggana tersebut adalah mengawasi dan menjadi pelindung bagi rombongan besar itu.
Di sisi depan ada seorang lelaki berpakaian warna hijau matang. Dia berjalan sambil membawa tongkat yang di atasnya ada bendera warna putih yang memiliki gambar lingkaran cincin warna biru gelap. Hanya seperti itu gambar benderanya. Meski demikian, bendera itu menunjukkan bahwa rombongan tersebut adalah milik Pengirim Lintas Dunia, sebuah kelompok usaha yang menawarkan jasa pengiriman. Bukan hanya lokal, tetapi juga lintas negeri.
Prabu Dira memang menyewa jasa Pengirim Lintas Dunia untuk mengangkut kayu-kayu sonokeling dari wilayah Kerajaan Sanggana Kecil ke pantai wilayah Kerajaan Pasir Langit.
Mereka terus bergerak di wilayah Kadipaten Ombak Lelap itu. Sebenarnya yang mereka lakukan adalah tindakan ilegal, yaitu mengirim kayu gelondongan dalam jumlah besar tanpa sepengetahuan pemerintah Kerajaan Pasir Langit. Namun, mereka sudah mendapat izin dari Adipati Kubis Ganda setelah sang adipati disuapi dengan kepeng.
Rombongan itu menuju ke sebuah pantai yang tidak jauh dari Pantai Segadis yang ramai oleh pengunjung dengan berbagai aktivitasnya. Pantai Pendek tidak ramai, sepi karena pantainya pendek. Di Pantai itu hanya ada lima orang pendekar.
Kelima pendekar itu perlu diperkenalkan karena kelak mereka jadi orang penting di dalam pembentukan angkatan laut Kerajaan Sanggana Kecil.
Orang pertama adalah seorang lelaki gagah dan tampan, seusia Prabu Dira, yakni kepala tiga lebih satu tahun. Kulitnya sawo matang ditutup oleh pakaian biru gelap berlapis jubah hitam tanpa lengan. Pinggang jubanya masuk dalam sabuk hitamnya yang lebar. Rambut gondrongnya diikat sederhana di belakang kepala. Wajahnya dingin dengan sorot mata yang tajam. Dia bernama Reksa Dipa yang berjuluk Pendekar Serat Darah.
Reksa Dipa sebenarnya menjabat sebagai Ketua Pengawal Dewi Bunga dan merupakan Pengawal Dewi Bunga Satu, yaitu Ratu Tirana. Dia ditugaskan memimpin keempat rekannya dalam sebuah misi. Adapun tugasnya sebagai Ketua Pengawal Dewi Bunga di Kerajaan dilaksanakan oleh wakilnya.
Orang kedua adalah lelaki besar berkulit hitam. Nyaris senada dengan gelap malam warna kulitnya. Jelas dia gampang menarik perhatian, baik sesama jenis atau lawan jenis. Dia berbekal senjata sebuah celurit di punggung dan toya pendek melintang di pinggang kiri. Dia adalah Legam Pora, salah satu Pengawal Dewi Bunga dari Permaisuri Kerling Sukma.
Orang ketiga seorang perempuan. Dia satu-satunya perempuan. Pendekar wanita berpakaian kuning itu memiliki tubuh yang sekal dan langsing, meski dia sudah beranak tiga. Sepertinya dia memerhatikan perawatan raganya setelah melahirkan. Ia berkulit hitam manis, semanis parasnya yang dihiasi tahi lalat kecil di atas sudut kiri bibirnya. Gaya rambutnya sudah seperti emak-emak. Ia menyandang sebuah kail bagus. Dia bernama Garis Merak, Komandan Pasukan Penjaga Telaga di Kerajaan Sanggana Kecil. Dia juga berstatus sebagai istri Reksa Dipa.
Lelaki berkuda keempat adalah seorang pemuda berusia kepala empat. Disebut pemuda karena dia masih lajang alias jomblo. Ia terbilang tampan berhidung mancung, meski kulitnya hitam dan tidak semanis Garis Merak. Rambut pendeknya keriting. Pemuda berpakaian merah gelap itu menyandang dua besi panjang berbentuk pengait di punggungnya. Dia adalah Kurna Sagepa, Wakil Komanda Pasukan Penguasa Telaga.
Anggota berkuda yang terakhir seorang lelaki berperut gendut dan berwajah bulat hitam. Rambutnya gondrong berwarna merah. Usianya baru setengah abad minus lima tahun. Ia mengenakan baju cokelat yang cukup longgar. Pada kedua pergelangan tangannya ada melilit senar tebal yang nyaris memenuhi batang tangannya. Pada ujung senar itu, masing-masing ada besi kecil yang menggantung berbentuk kerucut kecil. Itu adalah senjatanya. Dia bernama Swara Sesat, seorang pendekar yang memiliki pendengaran tidak normal. Ia menjabat sebagai Wakil Komandan Pasukan Penguasa Telaga, sama dengan Kurna Sagepa.
Kelima pendekar itu menyongsong kedatangan rombongan pembawa kayu.
“Hormat kami, Ketua!” ucap Delik Rangka sambil menjura hormat kepada Reksa Dipa dan rekan-rekannya.
“Hormat kami, Ketua,” ucap puluhan pendekar yang merupakan anak buah Delik Rangka.
“Selamat datang Pasukan Hantu Sanggana,” ucap Reksa Dipa. “Bagaimana perjalanan kalian?”
“Lancar dan aman. Mungkin karena tentara Pasir Langit sibuk berperang,” jawab Delik Rangka.
“Salah!” seru Kurna Sagepa. “Itu karena kami menyumpal mulut Adipati dengan kepeng. Hahaha!”
“Jika begitu, nikmatilah suasana senja di Pantai Pendek ini. Kami tidak memiliki makanan untuk menjamu kalian,” kata Garis Merak.
“Wadduh! Sungguh mengecewakan. Padahal aku sudah membayangkan deretan ikan bakar sambal madu dan belimbing wuluh,” kata Delik Rangka dengan mimik kecewa.
“Hahaha!” Garis Merak, Kurna Sagepa dan Legam Pora justru tertawa mendengar kekecewaan Delik Rangka.
Reksa Dipa bukan tipe orang yang murah tawa atau senyum. Sementara Swara Sesat berekspresi bingung.
“Sembarangan kalian!” bentak Swara Sesat tiba-tiba yang mengejutkan Delik Rangka dan anak buahnya. “Kayu-kayu itu untuk membuat kapal, bukan untuk kayu bakar.”
“Hahahak…!” tawa Delik Rangka dan rekan-rekannya. Keterkejutan mereka seketika ambyar. Mereka semua tahu bahwa Swara Sesat memiliki pendengaran yang sesat.
Terlihat emosilah Swara Sesat ditertawakan ramai-ramai seperti itu, padahal dia merasa dirinya tidak sedang melawak. Dia juga melihat kepada rekan-rekannya, Garis Merak, Kurna Sagepa dan Legam Pora juga menertawainya.
“Saudara kembarmu itu bicara ikan bakar, bukan kayu bakar!” hardik Legam Pora sembari mendekatkan mulutnya ke telinga Swara Sesat.
Swara Sesat dan Delik Rangka memang seperti saudara kembar, yakni sama-sama gendut bulat pendek, tetapi wajah dan style tetap beda.
“Oooh itu. Jangan khawatir, Delik Rangka. Selagi kalian beramai-ramai ada di sini, kita cari kerang. Di Pantai Pendek ini kerangnya melimpah. Nah, cangkang kerangnya itu jika dibakar sampai menjadi abu, sangat mujarab membuat kulit wajah menjadi halus, seperti wajah Gusti Prabu Dira,” kata Swara Sesat berair-air.
Delik Rangka dan anak buahnya yang awalnya kesal dengan salah tangkapnya Swara Sesat, jadi serius mendengar kata-kata tentang khasiat abu kerang. Sementara Garis Merak hanya tertawa cekikikan.
“Kalian bisa lihat sekarang wajah Swara Sesat yang sehalus kulit cumi,” kata Garis Merak sambil tersenyum lebar.
Mencebiklah bibir Delik Rangka dan anak buahnya kepada Swara Sesat, pasalnya wajah bulat itu tidak sehalus kulit wajah raja mereka, melainkan ada bercak-bercak hitam hasil rekam jejak kelamaan main sinar matahari.
“Tapi lebih baik kalian mengikuti saran Swara Sesat untuk mencari kerang di lumpur pantai, agar malam ini kita bisa pesta kerang bakar,” kata Garis Merak.
Sementara itu di sisi lain, para pekerja sedang menurunkan muatan kayu gelondongan dari gerobak ke satu tempat.
Drap drap drap…!
Dari kejauhan datang seekor kuda berpenunggang seorang pendekar. Pendekar bertubuh kurus dan berpakaian putih-hitam itu dikenal akrab oleh Delik Rangka, karena merupakan salah satu anak buahnya yang sebelumnya ikut pergi mengawal Permaisuri Yuo Kai untuk memasuki ibu kota Digdaya. Pendekar muda itu bernama Ceking Badai. Nama itu tersemat karena dia tidak pernah terbang jika badai datang.
Setibanya di tengah-tengah rekan-rekannya, Ceking Badai segera melompat turun dari kudanya dan langsung menjura hormat kepada tiga ketua.
“Hormatku, Ketua Delik. Hormatku, Ketua Reksa. Hormatku, Komandan Garis!”
“Kau dari Istana Pasir Langit?” tanya Delik Rangka.
“Benar, Ketua. Aku membawa pesan untuk Ketua Reksa Dipa dan Pasukan Hantu Sanggana,” jawab Ceking Badai.
“Katakan!” perintah Reksa Dipa.
“Istana Pasir Langit telah kita kuasai….”
“Woaaah!” sorak para pendekar itu gembira sambil tertawa kepada sesama mereka, sampai-sampai para pekerja yang menurunkan angkutan terkejut dan menengok kepada mereka.
“Pasukan Hantu Sanggana dipanggil datang ke Istana Pasir Langit. Untuk sementara pengiriman kayu dihentikan. Komandan Garis Merak dan rekan-rekan juga dipanggil ke Istana pasir Langit!” (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
☠️⃝⃟𝑽𝑨𝙊𝙚૨αɳ𝙜𝕻𝖓𝖉𝓐𝔂⃝❥
pasukan cacing kremi pasti nih.... yg bisanya petantang petenteng kagak mau bantuin dorong 🤭🤭🤭
2023-12-05
1
☠️⃝⃟𝑽𝑨𝙊𝙚૨αɳ𝙜𝕻𝖓𝖉𝓐𝔂⃝❥
kalau gak berbaju ma gak pake celana gimana mau dorong gerobaknya bangg..... yg ada sibuk ngamanin aset negara takut digondol tikus 🤣🤣🤣🤣
2023-12-05
1
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
wah jadi ramai ya
2023-12-02
0