Wedang Ketek terus berlari di dalam perkebunan sambil membekap luka pada lengan kanannya. Namun, dia tidak bisa menghentikan kucuran darahnya. Darahnya bertetesan di tanah dan dedaunan kering. Itu menciptakan jejak sendiri bagi para prajurit keamanan Ibu Kota.
Sebanyak dua puluh orang lebih prajurit berseragam hijau gelap berlari di antara pepohonan kebun. Mereka mengikuti arah jejak darah yang tercecer di tanah.
Setelah pendekar ganteng berpakaian hijau melarikan diri karena tidak mau memperpanjang urusan dengan para prajurit, pasukan keamanan segera mengejar menjadi dua kelompok. Dua puluhan prajurit mengejar pendekar bercaping dan dua puluh lainnya mengejar ke arah pelarian Wedang Ketek.
Wedang Ketek yang awalnya jauh dari kejaran prajurit, lama-lama bisa mendengar suara teriakan para prajurit di kejauhan. Itu bukan karena pendengaran Wedang Ketek yang semakin tajam, tetapi dia yang semakin melambat.
“Kenapa nasibku jadi seperti ini? Jadi prajurit wira tidak, jadi prajurit biasa pun tidak, malah jadi orang buruan,” rutuk Wedang Ketek di dalam hati.
Dia terus berlari, sampai akhirnya ada prajurit yang melihat pergerakannya di kejauhan.
“Itu dia di sana!” teriak seorang prajurit.
Terkejut Wedang Ketek mendengar itu. Artinya dia sudah terlihat. Buru-buru Wedang Ketek berlari lebih kencang. Namun apa daya, dia semakin lemah, perasaannya tidak enak. Dia kehilangan darah cukup banyak dari luka di lengannya. Pandangannya pun mulai tidak jinak.
Set! Teb!
“Cuaaak!” pekik Wedang Ketek saat tiba-tiba dari arah belakang melesat satu tombak yang tahu-tahu menancap di batang pohon di depannya. Meski jarak pohonnya sejauh tiga kali jangkauan, tetap saja bikin kaget.
Keterkejutan itu membuat Wedang Ketek spontan berhenti. Ketika dia menengok ke belakang, serombongan prajurit sudah berlari semakin dekat ke arahnya, seolah-olah dirinya adalah pujaan hati para prajurit itu.
Set set!
Dua tombak melesat cepat kepada Wedang Ketek.
Meski dalam kondisi tidak prima, Wedang Ketek melompat bersalto menghindari kedua tombak yang datang.
Krekr!
“Aaaak!” jerit Wedang Ketek panjang dan kencang. Jangan ditanya benda apa yang panjang dan kencang!
Sangat apes bagi Wedang Ketek. Meski dia terlihat keren saat menghindari dua tombak yang menyerangnya, tetapi ketika dia mendarat, satu kakinya menginjak akar pohon dan membuat engkelnya menekuk ke samping, sampai-sampai terdengar suara tulang yang memekik, sehingga dia pun latah memekik karena memang sangat sakit.
Wedang Ketek langsung jatuh dan memegangi pergelangan kakinya.
Set! Deg!
Bersamaan dengan datangnya para prajurit, Wedang Ketek yang dalam posisi duduk tiba-tiba merasakan ada benda keras yang menghantam kepala belakangnya. Dia tidak sempat menjerit karena langsung tidak sadarkan diri.
Para prajurit segera siaga menghadapi caping terbang yang telah melumpuhkan Wedang Ketek. Para prajurit itu jelas tahu siapa yang muncul. Mereka jadi bingung, pendekar berbaju hijau sebenarnya rekan Wedang Ketek atau lawan.
Wedang Ketek akhirnya membuka mata karena merasakan denyut sakit pada lengannya. Ketika dia membuka mata, kelopak matanya terasa berat, seolah-olah banyak debu di balik kelopak matanya. Telinganya mendengar suara aliran air yang cukup dekat.
Akhirnya, dengan dipaksakan, Wedang Ketek membuka setengah lebar matanya. Dia menengok dan langsung bisa melihat aliran air sungai besar. Dia bisa langsung mengenali sungai tersebut. Itu sungai yang ada di dekat Ibu Kota, namanya Sungai Erawong.
Namun, masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan nama Sungai Muara Jerit, karena sungai itu berakhir di Muara Jerit.
Wedang Ketek melihat lengannya yang sudah terbalut kain dan terikat kulit kayu basah. Itu membuatnya langsung teringat dengan para prajurit pasukan Kerajaan Sanggana Kecil yang mengejarnya. Rantai yang membelenggu tangannya sudah tidak ada.
Segera dia melihat ke sekeliling sambil mengerenyit, karena lehernya sangat kaku, sepertinya perlu dipijit.
Pemuda itu tidak melihat ada prajurit, kecuali seorang pemuda berbaju hijau di atas sebongkah batu besar sedang mengerjakan sesuatu.
Dia baru sadar bahwa dia berada di seberang, karena wilayah Ibu Kota ada di seberang sungai. Area seberang adalah pinggiran perkebunan milik warga dan rerumputan yang tinggi.
Wedang Ketek bergerak bangun. Dia melihat seujung celananya sudah robek. Ternyata, kain yang membalut lengannya yang terluka adalah kain celananya. Pantas dia merasa akrab dengan warnanya.
Pemuda tampan berbaju hijau menengok kepada Wedang Ketek.
“Bagaimana keadaanmu, Kisanak?” tanya pemuda berbaju hijau.
“Siapa kau?” Wedang Ketek justru balik bertanya.
“Namaku Angger Sepakodol,” jawab pemuda itu, lalu kembali fokus kepada pekerjaannya, yaitu sedang membersihkan sisik ikan dengan pisau kecil. Dia tidak mempermasalahkan pertanyaannya yang belum dijawab. Caping hijau tergeletak di sisinya.
“Terima kasih sudah menolongku, Angger,” ucap Wedang Ketek. “Aku Wedang Ketek.”
“Hahaha!” tawa Angger Sepakodol mendengar nama Wedang Ketek.
“Tapi … kenapa kau menolongku? Sedangkan kita bukan saudara kembar?” tanya Wedang Ketek.
“Ahahaha!” tawa Angger Sepakodol lebih kencang. Lalu jawabnya, “Aku merasa kita sehati dan semusuh. Aku adalah teman musuh dari musuhku.”
“Maksudmu, kau musuh Kerajaan Pasir Langit?” terka Wedang Ketek agar dapat hadiah jika benar.
“Bukan. Aku memusuhi Kerajaan Sanggana Kecil. Apalagi rajanya yang berbibir merah itu,” jawab Angger yang menyalahkan terkaan Wedang Ketek. Prajurit wira itupun tidak mendapat hadiah.
“Kau pasti dari jauh. Aku mengenal beberapa pendekar yang tinggal di Ibu Kota, tapi aku baru kali ini melihatmu,” kata Wedang Ketek.
“Aku memang dari tempat yang jauh. Jika kau memang ingin membalas para prajurit itu, bergabung saja denganku,” kata Angger Sepakodol menawarkan.
“Jika aku bergabung dengan musuh kerajaan, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi perwira yang lebih tinggi,” kata Wedang Ketek.
“Apa pangkatmu, Wedang?” tanya Angger.
“Prajurit wira di Pasukan Kaki Gunung,” jawab Wedang Ketek.
“Pangkat apa itu?” tanya Angger lagi sambil menengok kepada Wedang Ketek.
“Setingkat di bawah komandan. Aku telah dikhianati oleh rekan-rekanku sesama prajurit wira,” jelas Wedang Ketek.
“Jika kau mau berjuang bersama dan tunduk kepada junjunganku, kau akan mendapat pangkat tinggi jika kita menang,” kata Angger.
“Siapa junjunganmu?” tanya Wedang Ketek.
“Hahaha!” Angger malah tertawa. “Hanya orang-orang yang setia dan memiliki pengabdian yang tinggi yang boleh tahu namanya. Yang jelas, kau akan gembira jika memiliki junjungan yang cantik jelita.”
“Perempuan?” Wedang Ketek cukup terkejut.
“Ya.”
Wedang Ketek terdiam. Terlihat jelas bahwa dia sedang berpikir.
“Kini kau adalah buruan Kerajaan. Menghadapi para prajurit saja kau sudah mau mati, bagaimana jika yang memburumu adalah seorang komandan? Jika kau bergabung denganku, kau akan memiliki rekan yang bisa membuatmu aman. Setidaknya aman dari sergapan para prajurit Kerajaan,” ujar Angger Sepakodol.
“Tapi, apakah aku aman dari penumbalan?”
“Hahaha!” tawa Angger sambil turun dari atas batu besar dengan menenteng tiga ekor ikan yang disatukan dengan tali kulit kayu.
Angger juga membawa wadah dari tempurung kelapa tua.
Tek! Blep!
Seperti tukang sulap, dengan mudahnya Angger menjentikkan jarinya di dekat kumpulan kayu kering yang sudah disiapkan sebelumnya. Pada kayu itu muncul lidah api. Itu sepertinya hanya trik. Itu pikiran Wedang Ketek.
Di saat api sedang berproses membakar kayu, Angger menyelupkan satu tangannya ke dalam batok kelapa yang berisi air. Air yang melekat di jari-jarinya dia percikkan kepada badan ikan. Sepertinya itu air bumbu.
“Baik, aku akan bergabung denganmu, Angger. Apakah ada syaratnya?” kata Wedang Ketek.
Angger jadi tersenyum kepada Wedang Ketek. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
senyum apa nih senyum sinis apa senyum ramah
2023-12-14
0
❤️⃟Wᵃf🍾⃝ʀͩᴏᷞsͧᴍᷠiͣa✰͜͡v᭄HIAT
dapat sekutu baru ya si ketek
2023-12-02
1
❤️⃟Wᵃf🍾⃝ʀͩᴏᷞsͧᴍᷠiͣa✰͜͡v᭄HIAT
akupun ikut kaget..kirain menancap di punggung wedang ketek,taunya di pohon
2023-12-02
1