NovelToon NovelToon

Sanggana7: Dendam Ratu Muda

DRM 1: Penentangan Permaisuri Ginari

*Dendam Ratu Muda (DRM)*

Perang antara Prabu Dira Pratakarsa Diwana dengan Prabu Galang Digdaya telah usai yang dimenangkan oleh Prabu Dira. Prabu Galang harus menerima kekalahan dengan kondisi kehilangan tangan kanannya dan kehilangan seluruh kesaktiannya. Namun, Prabu Dira masih berbaik hati dengan membiarkan penguasa yang dilengserkan itu tinggal di kediamannya di dalam Istana.

Sementara itu, kematian Mahapatih Olo Kadita oleh Putri Ani Saraswani setelah diculik oleh Prabu Dira Pratakarsa Diwana, membuat Prabu Galang Digdaya mengangkat Menteri Keuangan Badaragi sebagai Mahapatih Sementara.

Sebelum peperangan terjadi, pejabat yang diakrabi oleh Prabu Dira adalah Badaragi. Saat itu, sang prabu yang punya nama pendekar Joko Tenang, menyamar menjadi pedagang kayu. Dia menjadi konsumen baru bagi Badaragi yang punya usaha bubuk kopi.

Karena itulah, setelah perang usai, orang pertama yang dipanggil oleh Prabu Dira adalah Badaragi.

“Sembah hormatku, Gusti Prabu!” ucap Mahapatih Sementara Badaragi setelah dia turun berlutut dan menjura hormat. Ini pertama kalinya dia turun berlutut kepada Prabu Dira, mantan konsumen kopinya.

Badaragi adalah sosok lelaki gemuk berkulit putih bersih. Dia mengenakan pakaian bagus warna biru gelap dengan blangkon batik warna biru putih keputih-putihan.

“Bangunlah, Paman!” perintah Prabu Dira.

Badaragi bergerak bangkit.

Saat itu Prabu Dira duduk di kursi kebesaran nan megah yang biasa diduduki oleh Prabu Galang Digdaya di Aula Tahta. Permaisuri Ginari dan Permaisuri Yuo Kai duduk di dua kursi yang lain.

Pengawal Prabu yang bernama Riskaya berdiri di sisi kanan kursi tahta. Sementara Wakil Ketua Pasukan Pengawal Dewi Bunga, Murai Manikam, berdiri di sisi kanan kursi Permaisuri Ginari. Dia memang pengawal permaisuri yang dijuluki Permaisuri Tangan Peri.

Adapun Pengawal Dewi Bunga yang bernama Bo Fei, berdiri di sisi kanan kursi Permaisuri Yuo Kai yang dijuluki Permaisuri Negeri Jang. Bo Fei yang berusia hampir kepala empat itu memang pengawal pribadi permaisuri bermata sipit itu sejak di Negeri Jang yang terletak di seberang samudera.

Ada sejumlah prajurit jaga di pintu masuk aula dan di sejumlah titik di tempat itu. Mereka adalah prajurit Kerajaan Pasir Langit yang sifatnya hanya patuh kepada siapa yang berkuasa.

“Apa jabatan Paman Badaragi sekarang?” tanya Prabu Dira.

“Menteri Keuangan dan Mahapatih Sementara, Gusti,” jawab Badaragi.

“Mahapatih, aku tidak akan berkuasa di kerajaan ini. Tahta akan diduduki oleh Putri Ani Saraswani. Putri Ani telah memintaku menggulingkan ayahnya tanpa dibunuh dengan sejumlah imbalan untukku, termasuk menikahinya,” ujar raja yang gantengnya keterlaluan itu.

Terkesiap Badaragi mendengar adanya peran Putri Ani dalam penggulingan Prabu Galang Digdaya. Namun, keterkejutannya tidak lebay-lebay amat. Dia yakin, keakrabannya dengan Prabu Dira sebelum perang, tidak akan mengancam nyawa atau posisinya. Meski dia pun tidak mendukung langkah kudeta Putri Ani, tetapi gadis cantik jelita itu sangat akrab dengannya. Maka, dia tidak akan mencoba untuk memiliki pemikiran beroposisi.

“Perintahkan semua pejabat menghadap sore ini. Sipil dan militer. Mereka yang tidak menghadap akan dianggap melepas jabatannya, kecuali pejabat yang berada di medan perang!” perintah Prabu Dira.

“Baik, Gusti Prabu,” ucap Badaragi patuh.

Memang, saat ini sedang terjadi perang di wilayah timur, tepatnya di perbatasan Kadipaten Senengek.

Pasukan Kaki Gunung dan pasukan Angkatan Laut Kerajaan Pasir Langit sedang bahu-membahu menghadapi Pasukan Gajah Besi Kerajaan Sanggana Kecil. Pasukan angkatan laut terpaksa naik ke darat untuk membantu pasukan yang bertempur di wilayah timur. Jadi banyak perwira militer Kerajaan Pasir Langit yang belum tahu tentang takluknya raja dan kerajaan mereka.

“Tetapkan masa berkabung selama tiga hari di Istana dan Ibu Kota, demi menghormati para prajurit yang gugur dalam peperangan mempertahankan kerajaan ini. Dalam waktu itu, urusan mayat-mayat harus terselesaikan!” perintah Prabu Dira lagi.

“Baik, Gusti Prabu,” ucap Badaragi patuh.

“Paman boleh pergi.”

“Baik, Gusti Prabu.”

Badaragi lalu pergi setelah tidak ada perintah lain.

Setelah kepergian Mahapatih Sementara Badaragi, giliran Panglima Bidar Bintang yang datang menghadap bersama dua pengawalnya.

Sosok Panglima Bidar Bintang adalah seorang pemuda, tapi sudah beristri satu dan belum bercita-cita mengikuti jejak rajanya beristri banyak. Mungkin karena usia istrinya baru delapan bulan mendampinginya dan masih terlalu hangat untuk didekap. Bidar Bintang memiliki model wajah yang tegas dengan alis yang tebal dan sorot mata tajam laksana mata elang. Meski perawakan badannya terbilang sedang, tetapi ia memiliki otot-otot yang alot. Ia memiliki senjata berupa cambuk pendek berwarna hijau gelap yang katanya terbuat dari ekor macan gonda, macan yang konon berkulit hijau. Hanya Bidar Bintang yang mengetahui tentang kebenaran adanya macan gonda, karena semua orang belum pernah melihat ada macan berkulit hijau.

“Sembah hormat hamba, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri!” hormat ketiga perwira tersebut kepada Prabu Dira dan kedua permaisurinya.

“Bangunlah!” perintah Prabu Dira.

Ketiga perwira itu lalu bangkit berduduk, bukan bangkit berdiri. Mereka duduk bersila di lantai.

“Pasukan Ular Gunung sudah berkumpul di pelataran Istana dan depan benteng Istana, Gusti!” lapor Panglima Bidar Bintang.

“Panglima Bidar, ganti semua prajurit jaga dengan prajurit pasukanmu!” perintah Prabu Dira.

“Baik, Gusti Prabu,” ucap Panglima Bidar Bintang.

“Kau ambil alih keamanan Istana. Penjarakan semua komandan pasukan Kerajaan Pasir Langit hingga pangkat pemimpin prajurit. Bebaskan semua prajurit yang bukan perwira. Jika mereka masih ingin menjadi prajurit Kerajaan Pasir Langit, agar datang berkumpul tiga hari lagi pada pagi hari di depan benteng Istana. Umumkan bahwa tindakan mengancam bagi kekuasaan baru Kerajaan Pasir Langit akan dianggap sebagai tindakan pemberontakan dan hukumannya adalah dibunuh!” Prabu berbibir merah terang itu memberikan sejumlah perintah.

“Baik, Gusti Prabu,” ucap sang panglima.

“Kakak Murai!” panggil Prabu Dira kepada Murai Manikam. Jangan heran jika Murai Manikam dipanggil “Kakak”. Murai adalah satu-satunya orang lain yang menyaksikan kelahiran Prabu Dira selain kedua orangtua sang prabu.

“Hamba, Gusti,” ucap Murai Manikam yang usianya memang jauh lebih tua dari Prabu Dira, meski dia masih perawan tingting.

Di kalangan pendekar wanita yang menjadi pengawal para permaisuri Kerajaan Sanggana Kecil memang cukup banyak yang mempertahankan kejombloannya, padahal usianya terus menua, seperti Murai Manikam, Riskaya dan Bo Fei. Entah, apakah mereka semua berharap diambil sebagai selir oleh Prabu Dira atau punya alasan khusus lain. Prabu Dira memang menjadi pujaan setiap wanita muda dan tua, bahkan yang sedang bersuami.

“Salah satu permintaan Putri Ani setelah Prabu Galang Digdaya aku gulingkan adalah menjaga nyawanya. Pilihkan lima pendekar wanita dan lima lelaki dari Pasukan Hantu Sanggana untuk menjaga Putri Ani!” perintah Prabu Dira.

“Baik, Gusti Prabu,” ucap Murai Manikam patuh.

“Istirahatkan Pasukan Hantu Sanggana. Istirahatkan Pasukan Ular Gunung yang tidak mendapat tugas jaga agar bisa bergantian posisi. Panglima, pastikan semua tempat di Istana ini terjaga oleh prajurit. Tempatkan seratus prajurit di Wisma Keprabuan. Jangan mempersulit, yang terpenting aman!”

“Baik, Gusti Prabu!” ucap Panglima Bidar dan Murai Manikam.

“Kakak Murai, kirim utusan untuk memanggil lima puluh pendekar Pasukan Hantu Sanggana yang sedang mengawasi pengiriman kayu. Hentikan sementara pekerjaan pengiriman agar mereka bisa membantu dan mengamankan hari pernikahanku dengan Putri Ani. Panggil juga Garis Merak dan teman-temannya!” perintah Prabu Dira lagi.

“Baik, Gusti Prabu.”

“Kirim juga utusan ke Pasukan Gajah Besi dan pasukan Pasir Langit di perbatasan Kadipaten Senengek untuk mengabarkan diambilalihnya kekuasaan Pasir Langit. Pasukan Pasir Langit yang tidak mau tunduk kepadaku akan dimusnahkan. Jika mereka tunduk kepadaku, kembalikan pasukannya ke barak. Panglima dan para komandan pasukan, perintahkan datang menghadap ke Istana dengan damai!”

“Baik, Gusti Prabu,” ucap Murai Manikam.

“Kalian, boleh pergi. Datanglah kembali di saat sidang nanti sore!” perintah Prabu Dira.

Murai Manikam dan Panglima Bidar Bintang serta dua pengawalnya lalu menjura hormat. Mereka lalu pergi untuk melaksanakan tugas.

“Kapan Kakang Prabu menikahi Putri Ani?” tanya Permaisuri Yuo Kai datar.

“Setelah memastikan pemerintahan dan pasukan Pasir Langit aman dan bersih,” jawab Prabu Dira.

“Jadi, siapa yang akan duduk di tahta ini, Kakang Prabu?” tanya Permaisuri Ginari. Lalu katanya lagi sebelum suaminya menjawab, “Aku akan sangat senang jika dipercaya oleh Kakang Prabu untuk memimpin negeri ini. Akan aku lebarkan wilayah kekuasaan hingga ke negeri seberang.”

“Jangankan duduk sebagai ratu di kursi ini, hadir di hari pernikahan nanti pun kita tidak diperkenankan, Adik Permaisuri Tangan Peri,” timpal Permaisuri Yuo Kai yang usianya lebih tua dari Permaisuri Ginari.

“Apa maksud, Permaisuri Negeri Jang?” tanya Permaisuri Ginari dengan tatapan yang serius.

“Salah satu tuntutan Putri Ani adalah pernikahan kami tidak dihadiri oleh seorang pun istriku,” jawab Prabu Dira.

“Apa?” pekik Permaisuri Ginari.

Dalam menyepakati perjanjian antara Prabu Dira dan Putri Ani memang hanya melibatkan Permaisuri Yuo Kai, jadi Permaisuri Ginari tidak tahu sama sekali satu pun poin di dalam surat perjanjian.

“Mohon maaf, Kakang Prabu. Gusti Ratu Tirana, Permaisuri Guru dan permaisuri yang lain sepakat tidak menolak jika Kakang Prabu menikahi Putri Ani demi membangun pertahanan laut yang kuat. Namun, melarang kehadiran Gusti Ratu Tirana dan permaisuri yang lain di hari pernikahan Kakang Prabu, aku menentangnya,” kata Permaisuri Ginari.

“Ini demi mempermudah penaklukan dan membuat Putri Ani mau menikah denganku,” kata Prabu Dira lembut seraya tersenyum manis kepada wanita yang pernah menjadi kekasih pertamanya itu.

“Bukankah tanpa menikahi Putri Ani, Kakang Prabu bisa menguasai kerajaan ini sepenuhnya?” kata Permaisuri Ginari bermaksud memojokkan suaminya.

“Aku akan memimpin perang besar melawan Negeri Tanduk dan sekutu-sekutunya. Jika aku membangun citraku di atas cara yang jahat, aku khawatir banyak pihak yang enggan bersekutu dengan kita,” kilah Prabu Dira.

“Aku yakin, bukan hanya aku yang menentang ulah kurang ajar Putri Ani itu. Jika tidak memandang kemuliaan Kakang Prabu, aku pasti memilih untuk membunuh gadis itu daripada menghina Ratu Sanggana Kecil dan para permaisuri saktinya,” kata Permaisuri Ginari. “Jika memang pasal perjanjian itu tidak bisa diubah, untuk apa lagi aku berada di sini. Aku tidak mau diusir lebih dulu sebelum kembali ke Sanggana Kecil. Bagaimana dengan Kakak Permaisuri Negeri Jang?”

“Aku membenarkanmu, Adik. Aku akan pulang bersamamu ke Sanggana Kecil. Ada Riskaya yang akan mendampingi Kakang Prabu,” jawab Permaisuri Yuo Kai.

Mendengar keputusan kedua istrinya, Prabu Dira tidak bisa berkata-kata lagi. Dalam hati dia memang membenarkan perkataan Permaisuri Ginari. Untuk apa pula menahan mereka tetap tinggal jika kemudian harus memerintahkan mereka pergi sebelum hari pernikahan. (RH)

DRM 2: Pangeran Bawa Kabur Gadis

*Dendam Ratu Muda (DRM)*

Drap drap drap…!

Sebelumnya, di saat perang berkecamuk sengit di depan benteng Istana, di saat ayahnya bertarung bertaruh nyawa mempertahankan Kerajaan dari musuh, Pangeran Tirta Gambang justru punya misi sendiri.

Dia menyusup keluar dari tembok benteng Istana lewat jalan tikus dan berkuda kencang menuju ke Penjara Kayu Hitam, kompleks penjara yang terletak di salah satu sisi ibu kota Digdaya.

Di kejauhan dia bisa mendengar bisingnya suara pertempuran.

Pada akhirnya, pemuda tampan berpakaian biru terang itu sampai ke depan gerbang besar sebuah pagar kayu yang tinggi dan tebal berwarna hitam kehitam-hitaman. Di atas gerbang ada papan besar yang melintang dan memiliki ukiran tulisan besar yang berbunyi “Penjara Kayu Hitam”. Meski hampir seratus persen penjara itu berbahan kayu, tetapi dia antiapi. Kayu hitam memang adalah kayu kuat yang langka dan tahan oleh api biasa.

Kedatangan Pangeran Tirta Gambang membuat empat prajurit jaga di depan gerbang segera menjura hormat.

“Buka, situasi genting!” perintah Pangeran Tirta Gambang.

Tanpa meminta surat perintah atau surat jalan, apalagi surat tanah, prajurit jaga itu segera membukakan pintu gerbang dengan mengetuk menggunakan pangkal tombak. Setelah itu, barulah prajurit di balik pintu membuka gerbang.

Tirta Gambang segera menggebah kudanya berlari masuk. Kedatangannya segera disambut oleh Kepala Penjara Kayu Hitam karena dia mendatangi ruang administrasi penjara.

“Ambil ini!” kata Tirta Gambang sambil melempar dua kantong kepeng kepada pejabat penjara itu.

Sambil terkejut, Kepala Penjara Kayu Hitam menangkap dua kantong berat itu.

“Bebaskan istri dan putri Mahapatih Olo Kadita!” perintah Tirta Gambang.

“Baik,” ucap Kepala Penjara patuh. Ternyata dia pejabat yang menerima suap. Sepertinya di negeri itu belum ada KPK. “Ikut hamba, Gusti Pangeran.”

Tirta Gambang lalu turun dari kudanya dan mengikuti Kepala Penjara.

Tidak ada halangan bagi mereka untuk masuk ke dalam penjara, di mana banyak orang yang ditahan. Paham “tersangka sementara” yang dianut oleh hukum Kerajaan Pasir Langit membuat penjara besar itu ramai oleh narapidana.

Di antara tahanan Penjara Kayu Hitam adalah istri dan putri mendiang Mahapatih Olo Kadita, serta para prajurit dan pelayannya. Meski mereka menyaksikan dengan jelas bahwa Mahapatih diculik oleh Joko Tenang yang sebenarnya adalah Prabu Dira, tetapi hukum membuat keluarga serta seluruh prajurit dan pelayan menjadi tersangka sementara. Jangan ditanya kenapa ada hukum yang seperti itu!

Kedatangan Kepala Penjara dan Pangeran Tirta Gambang segera direspons oleh prajurit jaga dengan membukakan pintu-pintu lorong penjara yang berlapis. Seorang juru kunci ikut mendampingi.

Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah sel berteralis. Dinding sel itu terbuat dari kayu yang tebal dan keras. Di dalam sel itu ada dua orang wanita yang berbeda usia. Satu emak-emak dan yang satu lagi seorang gadis cantik lagi imut. Pakaian mereka hanya berpinjung dengan bahu yang terbuka dan bersarung jarik.

Kedua wanita itu adalah ibu dan anak. Ibunya bernama Ramu Kalila dan putrinya yang berkulit kuning langsat adalah Rayu Pelangi.

“Gusti Pangeran!” sebut keduanya terkejut saat melihat kemunculan sang pangeran.

Prajurit juru kunci lalu membuka gembok pintu teralis.

“Gusti Pangeran!” sebut Rayu Pelangi gembira sambil buru-buru berlari pelan keluar dari sel dan menghamburkan diri memeluk Tirta Gambang.

Dengan kikuk, Tirta Gambang menerima pelukan tersebut. Dia tidak enak karena dilihat oleh Kepala Penjara dan Ramu Kalila.

“Ayo, kita harus cepat pergi. Situasi Kerajaan sedang sangat gawat. Perang sedang berlangsung. Jika musuh yang menang, kita semua akan dibunuh,” kata Tirta Gambang setelah melepas pelukan Rayu Pelangi.

Terkejutlah mereka semua mendengar perkataan pemuda tampan itu.

“Terima kasih, Gusti Pangeran,” ucap Ramu Kalila sambil turun berlutut, kemudian bersujud kepada Tirta Gambang.

“Bangunlah, Bi. Kita harus segera pergi!” perintah Tirta Gambang. Lalu perintahnya kepada Kepala Penjara, “Siapkan dua kuda lagi!”

“Baik, Gusti,” ucap Kepala Penjara.

Setelah Kepala Penjara menyiapkan dua kuda untuk Ramu Kalila dan Rayu Pelangi, Tirta Gambang lalu pergi berkuda bersama keduanya meninggalkan penjara tersebut.

“Ke mana kita akan pergi, Gusti?” tanya Rayu Pelangi di sela-sela berkudanya.

“Kita harus keluar dari Ibu Kota!” jawab Tirta Gambang.

“Tapi, kenapa Gusti Pangeran membebaskan kami?” tanya Rayu Pelangi lagi. Dia yakin, jika tidak ada alasan yang kuat, tidak mungkin sang pangeran menyempatkan waktu untuk membebaskan dirinya dan ibunya.

“Aku mencintaimu, Rayu. Aku tidak ingin kau mati atau hidup di dalam penjara!” jawab Tirta Gambang.

Tersenyum bahagialah Rayu Pelangi mendengar ungkapan Tirta Gambang yang memang dia taksir.

Mendengar itu, Ramu Kalila juga merasa senang, meski situasinya sedang tidak menguntungkan. Awalnya, dia sangat ingin melakukan sesuatu atas hilangnya suaminya, tetapi apalah daya dia justru dipenjara. Dia belum tahu bahwa suaminya telah tewas dibunuh oleh Putri Ani Saraswani.

Pangeran Tirta Gambang pun belum tahu berita tentang kematian Mahapatih Olo Kadita. Dia baru tahu berita bahwa sang mahapatih diculik oleh pemuda berbibir merah yang adalah Prabu Dira.

Ketika mereka berkuda di jalanan Ibu Kota, mereka bisa mendengar suara pertempuran yang bersumber dari depan benteng Istana.

Di Ibu Kota pun, mereka melihat para prajurit Pasukan Keamanan Ibu Kota yang tidak ikut dalam pertempuran di depan benteng. Para prajurit itu sedang sibuk mengevakuasi mayat-mayat prajurit dan juga para prajurit yang terluka. Sebelumnya, Pasukan Keamanan Ibu Kota telah dibuat hancur oleh Prabu Dira dan Riskaya, calon selirnya.

Untuk sementara, para prajurit pun tidak peduli dengan kemunculan sang pangeran. Mereka lebih fokus berduka atas kematian rekan-rekan mereka. Mereka merasa sudah kalah.

Namun, ketika Pangeran Tirta Gambang dan kedua wanitanya tiba di batas luar Ibu Kota, mereka dihentikan oleh para prajurit pos penjagaan.

“Hormat sembah kami, Gusti Pangeran!” ucap para prajurit tersebut sambil menjura hormat.

“Singkirkan penghalang jalan!” perintah Tirta Gambang.

“Mohon maaf, Gusti. Gusti dan Istri Mahapatih hendak ke mana?” tanya pemimpin prajurit di pos tersebut.

“Kondisi Istana sangat tidak baik. Aku ingin mengungsikan istri Mahapatih dan putrinya ke tempat aman,” jawab Tirta Gambang.

“Aku sarankan Gusti tidak lewat pinggiran hutan bambu, menurut kabar utusan, di sana ada pasukan musuh yang sangat besar,” kata pemimpin prajurit itu.

Pasukan yang dimaksud oleh pemimpin prajurit itu tidak lain adalah Pasukan Ular Gunung dari Kerajaan Sanggana Kecil sebelum mereka diperintahkan masuk ke Ibu Kota dan Istana.

“Baik,” ucap Tirta Gambang.

“Beri jalan untuk Gusti Pangeran!” teriak pemimpin prajurit kepada anak buahnya.

Empat orang prajurit segera mengangkat dan menggeser pagar balok penutup jalan. Tirta Gambang dan kedua wanitanya melanjutkan perjalanan kudanya.

Setelah mereka meninggalkan pos sekitar puluhan tombak, Rayu Pelangi menghentikan kudanya.

“Gusti Pangeran!” panggil Rayu Pelangi.

Tirta Gambang dan Ramu Kalila menghentikan pula kudanya. Mereka memandang kepada Rayu Pelangi.

“Lebih baik kita pergi ke sumur keong di hutan bakau. Di sana ada Penombak Jubah Merah anak buah Ayah,” kata Rayu Pelangi.

“Benar, Gusti Pangeran. Kita bisa minta bantuan anak buah Mahapatih,” kata Ramu Kalila pula.

Tirta Gambang tidak langsung menjawab. Dia berpikir dulu untuk menimbang apa yang perlu ditimbang.

“Baiklah. Namun dengan syarat, orang itu harus tunduk di bawah perintahku,” kata Tirta Gambang.

Maka mereka pun pergi menuju ke hutan bakau, hutan yang menghubungkan pantai dan Ibu Kota.

Setelah berkuda di daerah yang tidak memiliki jalan yang jelas, mereka akhirnya sampai di sebuah tempat yang memiliki dua sumur tanah. Area sumur dikelilingi oleh pagar kayu yang bisa dilewati.

“Penombak Jubah Merah!” teriak Rayu Pelangi memanggil.

Drap drap drap…!

Tiba-tiba dari tempat-tempat yang tersembunyi bermunculan orang-orang berpakaian merah yang bersenjatakan tombak. Mereka segera mengepung Tirta Gambang dan kedua wanitanya.

Tindakan orang-orang itu mengejutkan ketiganya. (RH)

DRM 3: Pertemuan Prabu dan Putri

*Dendam Ratu Muda (DRM)*

 

Panglima Bidar Bintang melaksanakan perintah mengambil kendali keamanan Istana, dengan cara pasukannya mengambil alih tugas keamanan semua prajurit jaga.

Semua prajurit Kerajaan Pasir Langit dilucuti senjatanya dan dibebastugaskan atau dirumahkan. Sementara prajurit berpangkat perwira harus ditangkap dan dipenjarakan.

Hal yang sama diberlakukan kepada tawanan massal dari pasukan Kerajaan Pasir Langit yang kalah perang. Mereka semua dibebaskan, kecuali para perwiranya.

Kepemimpinan Panglima Bidar Bintang yang berwibawa juga tidak tutup mata dengan para prajurit yang terluka. Dia mengatur agar prajurit yang terluka mendapat perawatan medis. Dia memerintahkan tim medis Pasukan Ular Gunung untuk membantu tim medis Kerajaan Pasir Langit.

Sebelum semua prajurit Kerajaan Pasir Langit dibebaskan, mereka diberi pengumuman.

“Siapa pun dari kalian yang masih ingin menjadi prajurit Pasir Langit, datanglah kembali ke depan benteng Istana tiga hari kemudian di waktu pagi!” seru Panglima Bidar Bintang kepada para prajurit yang dibebaskan.

Tidak hanya para prajurit Pasir Langit yang di Istana yang dibebastugaskan, tetapi Pasukan Keamanan Ibu Kota juga dibubarkan setelah persenjataan mereka dilucuti. Kondisi itu membuat langkah yang diambil oleh Pangeran Tirta Gambang sebelumnya adalah tepat.

Hanya satu pasukan yang tidak diganggu oleh Panglima Bidar Bintang, yaitu Pasukan Pengaman Putri pimpinan Komandan Ati Urat.

Para prajurit jaga di kediaman para pejabat pun dibebastugaskan dan diganti oleh para prajurit tempur Pasukan Ular Gunung. Itu tidak bisa ditolak oleh para pejabat yang telah mendapat undangan sidang nanti sore di Aula Tahta.

Di saat Pasukan Ular Gunung sedang membenahi keamanan, Permaisuri Yuo Kai dan Permaisuri Ginari memilih untuk meninggalkan Istana Pasir Langit dan kembali ke Kerajaan Sanggana Kecil.

Jika Permaisuri Yuo Kai wajib pakai kereta kuda, maka Permaisuri Ginari lebih suka menunggang kuda.

Kepergian mereka tetap dilepas dengan terpaksa oleh suami tercinta, Prabu Dira Pratakarsa Diwana. Selain dikawal oleh Bo Fei dan Murai Manikam, kedua permaisuri juga dikawal oleh dua puluh pendekar dari Pasukan Hantu Sanggana ditambah seratus prajurit dari Pasukan Ular Gunung. Semua prajurit yang mengawal menunggang kuda, tidak ada yang berlari kaki.

Seolah-olah sudah tidak mau berlama-lama di Istana tersebut, rombongan kedua permaisuri berangkat di waktu menjelang senja. Waktu keberangkatan itu akan membuat mereka berjumpa malam di tengah jalan. Namun, mereka tidak perlu khawatir. Mereka tidak akan bertempur melawan malam jika bertemu di tengah jalan.

Sebenarnya Prabu Dira masih membutuhkan kedua permaisurinya, terutama Permaisuri Yuo Kai yang ahli dalam tata kota dan hukum. Namun, jika istri-istrinya tidak di sisinya, dia bisa leluasa bermanuver cinta kepada Putri Ani. Adapun Riskaya yang tetap akan mendampinginya sebagai pengawal, tidak akan membuatnya malu-malu karena pengaruh calon selir tidak sekuat permaisuri.

Karena itulah, setelah kedua permaisuri pergi dan sebelum sidang dilaksanakan di Aula Tahta, Prabu Dira berinisiatif pergi ke Wisma Keputrian untuk menemui calon istrinya.

“Sembah hormat kami, Gusti Prabu!” seru Komandan Ati Urat mewakili pasukannya yang ikut berlutut menghormat ketika Prabu Dira datang bersama Riskaya.

“Sembah hormat kami, Gusti Prabu!” seru sepuluh orang berperawakan pendekar. Lima lelaki dan lima perempuan. Mereka adalah sepuluh anggota Pasukan Hantu Sanggana yang ditugaskan untuk mengawal Putri Ani dan memastikan keselamatannya.

Kesepuluh pendekar itu dipimpin langsung oleh Lengking, Wakil Ketua Pasukan Hantu Sanggana.

Lengking adalah sosok lelaki kurus berambut mengembang seperti wig. Ujung baju merahnya diikat seperti dua ujung tali, sehingga perut kotak-kotaknya terpamerkan. Dia membawa senjata tongkat sepanjang sedepa yang salah satu ujungnya memiliki sabit besar, sehingga dia seperti El Maut versi manusia.

“Bangunlah kalian semua!” perintah Prabu Dira sambil berjalan ke teras Wisma Keputrian.

Pasukan Pengaman Putri dan kesepuluh pendekar Pasukan Hantu Sanggana kembali berdiri.

Dari dalam wisma berjalan keluar dengan anggun sosok Putri Ani Saraswani dalam balutan busana serba putih. Dia sudah berganti baju.

Putri Ani memiliki kecantikan jelita level keterlaluan. Ada sejumlah perhiasan emas di jemari tangannya, pergelangan tangan, leher, telinga dan kepalanya. Di pergelangan kakinya pun ada gelang emas. Gilanya, dia punya hidung kecil tapi mancung sempurna dan bibir yang belah, meski dagunya tidak belah. Itulah uniknya. Ditambah alis yang panjang dengan ketebalan yang sedang. Giwang permata birunya berkilau ketika mendapat bias yang tepat dari matahari sore.

Putri Ani Saraswani datang dengan dikawal oleh Rincing Kila, pendekar pengawal pribadinya.

“Sembah hormatku, Gusti Prabu,” ucap Putri Ani sambil menjura hormat secukupnya seraya menunduk dengan senyum bahagianya. Dia bahagia karena mendapat kunjungan dari sang prabu pujaan.

Rincing Kila menjura hormat dengan turun berlutut.

“Bangunlah!” perintah Prabu Dira.

Singkat cerita.

Semua pengawal ada di luar wisma, sementara Prabu Dira dan Putri Ani duduk di dalam.

Prabu Dira duduk di sebuah kursi di dekat meja bundar. Putri Ani pun duduk di kursi di depan Prabu Dira. Jadi meja tidak ada di tengah-tengah mereka, melainkan di samping, tapi mereka masih bisa memarkirkan siku di atas meja. Di atas meja pun ada hidangan minuman tanpa makanan.

“Tinggal dua tuntutanmu yang belum aku berikan,” kata Prabu Dira sambil tangan kanannya mengulur dan menindih lembut punggung tangan kiri sang putri di atas meja, seolah-olah sang prabu sudah minta jatah padahal belum menikah.

Seeerrr!

Berdesir indahlah darah cinta Putri Ani, seolah-olah setiap pori-pori kulitnya kembang kempis karena bahagia. Rasa bahagia itu juga karena didorong oleh dua permintaannya yang sebentar lagi akan dia dapat.

Permintaan pertama adalah menjadi ratu penguasa Kerajaan Pasir Langit. Permintaan kedua adalah dinikahi oleh lelaki pujaan hatinya dan dia akan resmi memiliki seorang suami yang gagah perkasa dan tampannya juga keterlaluan. Jadi, Putri Ani tidak perlu heran jika dia menjadi istri kedua belas Prabu Dira. Itu karena memang Prabu Dira adalah lelaki idaman semua wanita tanpa kenal batas usia.

Keduanya saling tatap. Yang kalah adalah sang putri. Dia tersenyum menunduk malu. Sangat indah melihat wajah malu-malu Putri Ani yang pipinya merona merah kemerah-merahan.

“Bagaimana perasaanmu setelah peperangan berlalu dan mahkota keratuan sebentar lagi ada di kepalamu?” tanya Prabu Dira dengan senyum manisnya yang semanis madu, tapi memabukkan sang putri.

Pertanyaan itu membuat senyum Putri Ani jadi menghilang, berganti dengan kedataraan.

“Aku merasa bersalah kepada Ayahanda. Selain telah membuatnya tidak berdaya, tapi juga merenggut satu tangannya,” kata Putri Ani.

“Tahta itu indah tapi sangat kejam. Disebut kejam karena bisa membuat seorang gadis cantik jelita seperti dirimu menjadi tega. Namun, dunia tidak akan menyalahkanmu, karena akulah yang jelas-jelas menggulingkan Prabu Galang Digdaya. Jika pun tidak ada persekutuan di antara kita, aku tetap akan melengserkan Prabu Galang. Mungkin bedanya, aku akan membunuhnya,” kata Prabu Dira.

“Aku merasa Gusti Prabu hanya ingin menenangkan perasaanku. Semua pejabat dan rakyat akan menilaiku sebagai anak durhaka karena menjadi otak penggulingan ayahnya,” kata Putri Ani.

“Kau harus bersikap tegas sebagai seorang ratu yang naik dari tangga pemberontakan. Sekejam-kejamnya seorang penguasa, tetapi jika bisa membuat pejabat dan rakyatnya sejahtera dengan sekepeng dua kepeng, dia akan dicintai,” kata Prabu Dira.

“Kapan tahta itu Gusti Prabu akan serahkan kepadaku?” tanya Putri Ani.

“Sore ini, aku akan mengumumkan bahwa tahta Kerajaan Pasir Langit akan dilanjutkan oleh Putri Mahkota. Ritual peresmian akan dilakukan setelah tiga hari, karena selama tiga hari Kerajaan menetapkan sebagai hari berkabung. Setelah kau resmi menjadi Ratu Pasir Langit, keesokannya aku akan menikahimu, Putri.”

“Lalu bagaimana dengan Gusti Permaisuri Yuo Kai?” tanya Putri Ani.

“Putri tidak perlu khawatir, kedua permaisuriku sudah meninggalkan Istana untuk kembali ke Sanggana Kecil.”

“Kedua permaisuri?” sebut ulang Putri Ani dengan kening mengerut.

“Selain Permaisuri Yuo Kai, Permaisuri Ginari juga datang ikut bertempur. Jika kau mengingat wanita berpakaian hitam yang terbang di atas pasukan seperti burung, itulah permaisuri Ginari,” jelas Prabu Dira.

Terbeliak mata Putri Ani. Dia ingat betul sosok wanita berpakaian perang warna serba hitam, tampil begitu mengerikan dengan ketinggian ilmunya. Dia kini menyadari bahwa kesaktian tinggi yang dimiliki oleh istri-istri Prabu Dira bukanlah sekedar isapan jempol belaka. (RH)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!