"Mey, Aku pulang dulu ya"
kulihat jam tanganku pukul 20.00"
Oke El, hati-hati Ya"
Mei menepuk pundakku.
Aku melangkah ke halaman parkir motor, siap menstarter kendaraan roda duaku.
Ku lambaikan tangan ke arah Om Irfan yang ternyata masih di dalam mobil.
Om Irfan pun membalas lambaian tanganku.
motorku melaju kecepatan standar menuju rumah.
Tidak sampai 15 menit, aku sudah tiba di halaman rumahku.
Ku parkir motor, dan mengambil bungkusan makanan untuk Erin, yang tadi sore aku sempatkan beli di toko kue sebelah.
Aku langsung memasuki ruangan makan.
Di situ Erin seperti sudah menunggu kedatanganku.
"Mirna, belum pulang Rin?" tanyaku sambil meletakkan bungkusan ke arah Erin.
"𝖡𝖾𝗅𝗎𝗆 kak, mana mungkin Dia pulang jam segini"
Erin mencebik.
"Ini ada kue-kue basah, tadi Kakak beli di toko sebelah"
aku membuka bungkusan itu dan ikut memakannya
"𝖬au bicara apa Rin? Kakak jadi penasaran?"
Tanyaku kembali, karena masih menyimpan tanda tanya.
"Kak.. Erin mau tanya dulu, apa Kakak pernah merasa ada yang hilang nggak?" pertanyaan Erin membuat aku mengernyitkan keningku.
"𝖬emangnya kenapa?"
"Yaaa.. Kakak jawab dulu, apa Kakak ada kehilangan?"
Aku mencoba mengingat-ingat.
"Ah iya, uang makan seminggu Kakak Rin, tapi mungkin Kakak yang sembrono, lupa taruh di mana."
Jawabku membuat Erin bangun dari duduknya.
"Apa mungkin Kak Mirna yang ngambil Kak?"
"Huus? jangan bicara Sembarangan, mana mungkin dia ambil uang Kakak, Pintu selalu Kakak kunci kok, mau masuk dari mana?" jawabku.
Memang tidak yakin kalau Mirna yang ambil uangku, apalagi dia tahu aku cari nafkah untuk siapa.
Aku cari nafkah, untuk kedua adik-adikku, Erin masih sekolah, tapi Mirna, sejak diusir dengan papa, aku tidak sampai hati, kalau Adik perempuanku ini menjadi Gelandangan pinggir jalan.
Masuk akal Kalau Papa sampai tega mengusir Mirna.
Karena kebiasaan buruk Mirna, pulang malam, yang membuat Papa marah.
Sudah kesekian kali orang tuaku menasehati Mirna, tapi tidak sedikitpun masuk ke telinganya.
Sempat tangan Mama melayang ke wajahnya, Mirna sempat menangis, Tapi keesokan harinya, Mirna kembali pulang malam lagi.
Dengan nafas sesak, Papa mengusir Mirna.
Dan aku menyuruh Mirna tinggal di rumahku saja.
Tapi dengan tinggalnya Mirna di rumahku, beliau tidak lagi mau sekolah.
Aku sempat bingung, mau aku Arahkan ke mana langkah hidupnya.
"Kak!!!"
Suara Erin membuatku tersentak kaget.
"i.. 𝖨..i𝗅 𝖨ya.. 𝖸ah..."
"Kakak kok malah diam aja"
"Kagak.. 𝖪akak gak melamun. 𝖧ehehe"
"𝖸ang bilang melamun siapa Kak"
Erin menarik lenganku
"Ada apa sih Rin?'
"𝖪e sini saja, ikut aku Kak"
Erin menarik lenganku lebih keras lagi, menuju halaman samping, di mana jendela kamarku terletak di halaman samping. Biasanya kami menjemur pakaian di sini.
Tepatnya depan jendela kamar aku.
Sesampainya kami di depan jendela, Erin menunjuk ke daun jendela
"𝖳iga hari lalu, 𝗄ak Mirna naik dari sini Kak, dia naik ke jendela dan masuk kamar Kakak, sepertinya dibuka pakai obeng, karena aku lihat di tangan Kak Mirna ada obeng Kak"
Terlihat daun jendela sedikit terbuka, dan ada beberapa goresan, aku membukanya, Ternyata begitu mudahnya dibuka.
Ah, benar saja, daun jendela ini bisa dibuka dengan mudah.
Aku masih tidak yakin atas perbuatan Mirna yang sudah sampai hati padaku.
𝖣ia tahu aku kerja dari pagi hingga malam, untuk kebutuhannya juga.
"Kakak masih tidak percaya, Rin," ada perasaan sesak di 𝖽𝖺𝖽𝖺𝗄𝗎.
"𝖸a sudah Rin, kalau Kak Mirna segitu teganya sama kakak, biar Kakak serahkan sama Tuhan 𝗌𝖺𝗃𝖺."
"Iya 𝗄𝖺𝗄, kakak harus lebih hati-hati 𝖪𝖺𝗄, sebaiknya 𝖻esok suruh si Mamang benerin 𝗃𝖾𝗇𝖽𝖾𝗅𝖺𝗇𝗒𝖺. 𝖳𝖺𝗉𝗂 Kakak jangan bilang-bilang lagi sama Kak Mirna 𝗒𝖺, aku takut" jawab Erin penuh harap.
"Ya sudah, Kakak Tidak akan bilang-bilang lagi, besok, Kakak panggil si Mamang, 𝖡iar dibenarkan jendelanya"
Aku langsung masuk menuju ke ruang makan, yang mana makanan sudah disiapkan Erin untukku.
Erin memang pandai memasak, dan menjadi suatu hobinya.
Kami hanya makan berdua, tanpa Mirna, dan tanpa Mas Bagas.
Aku langsung Teringat Apa Yang Mas Bagas bilang pesan di ponselku, orang dekat?
Siapa? orang dekat yang berani mengkambing hitamkan aku dan Mas Bagas.
Ada masalah apa aku dan orang itu? selama ini, aku tidak pernah membuat masalah pada siapapun. Kenapa begitu 𝗍𝖾𝗀𝖺 fitnahan yang ditujukan padaku.
Papa dan Mama begitu mendukung pernikahanku dan Mas Bagas. 𝖳idak mungkin mereka mau fitnah anaknya sendiri.
kedua adikku pun masih terlihat polos, tidak mungkin mereka sudah menyebarkan isu negatif untukku.
Lalu siapa?
"Hei, kak." 𝖳eriak Erin, sambil tangannya mengibas di wajahku.
Aku terhenyak gelagapan menggelengkan kepalaku dengan cepat.
"𝖪ok jadi melamun Ayo 𝗆𝖺𝗄𝖺𝗇."
Erin memberi aku nasi di piringku.
"Iya Rin Kakak nggak ngelamun"
Aku jadi gugup membuat Erin tertawa.
"Ya sudah dimakan dulu pasti kakak lapar kan?"
Ku balas ketawa Erin.
Lalu kami pun makan bersama.
sambil sesekali bercerita keadaan dan lingkungan sekolah Erin,di mana adanya guru tercupu yang membuat kami berdua kembali tertawa.
Setelah pukul 22.10 Aku menuju kamar untuk tidur karena memang ada keletihan setelah seharian bekerja.
Belum sempat kakiku melangkah masuk kamar,terdengar ketukan pintu membuat aku berbalik arah menuju pintu
"𝖲iapa sih malam-malam gini"
Aku langsung membuka anak kunci di pintu dan sempat membuatku terkejut melihat Siapa yang berdiri di balik pintu.
"Mas Bagas"
Aku balikan badanku masuk ke dalam, diikuti langkahnya Mas Bagas.
Lalu aku masuk ke dalam kamar, tetap saja langkah Mas Bagas mengikutiku.
"El... 𝖬aafin Mas ya" Dia menarik tanganku.
Aku menghela nafasku 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆-𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆.
"Ya sudah Mas, tidak perlu dibahas lagi, sudah berlalu... 𝖸ang penting Mas harus jujur, siapa yang sudah memfitnah aku, dan membuat cerita bohong pada Mas "
jawabku dengan malas.
"Iya El, 𝗇anti juga kamu tahu sendiri ya.. 𝖳idak perlu aku bilang"
"Ya sudah Mas, kalau Mas nggak mau bilang, nggak apa-apa, aku mau tidur, ngantuk,"
jawabku sambil melepaskan genggaman tangannya.
Lalu ku hempaskan tubuhku ke atas ranjang.
Tanpa mengacuhkan Mas Bagas yang masih menatapku, dan menundukkan kepalanya.
Seperti ada sesuatu yang membuatnya merasa bersalah.
Entah aku sendiri tidak tahu apa yang tersimpan di dalamnya.
Ada perasaan sakit bila ingat, Mas Bagas menuduhku yang tidak ada bukti apapun. Apalagi dia sudah mengetahui kalau aku sedang mengandung anaknya.
"Kenapa seakan kita belum bisa menyatu dalam pernikahan," gumam hatiku, Sambil mencoba menutup mataku.
Dan mencoba tidur.
Tidak Aku perdulikan dengan suamiku saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
𝒮🍄⃞⃟Mѕυzу᭄
..
2023-11-26
2