Jiwa kedua Hana kini seakan menyatu. Dia memiliki semua ingatan itu. Ingatannya saat menjadi seorang Putri Mahkota dan Permaisuri juga ingatan saat dirinya menjadi pemilik cafe nomor satu dan anak serta istri dari pemimpin perusahaan terbesar di dunianya yang lain.
Kini dia menoleh pada sang suami yang tampak nyaman tertidur.
"Aku tidak bisa seperti ini terus," dia berkata pada dirinya sendiri. Dengan perlahan dia bergerak keluar dari kamarnya. Didepan kamar yang disediakan Benjiro untuknya ada dua orang prajurit yang berjaga. Entah dimana Kasimnya. Namun mungkin karena tengah malam kedua prajurit itu tampak terkantuk-kantuk.
Menyelinap tanpa suara dia akhirnya berhasil pergi lewat belakang kedua prajurit itu. Hana pergi ke luar menuju lapangan luas yang terdapat taman dan kolam. Dia tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya.
Diayunkannya tangannya perlahan dan hembusan angin kini menerpa pelan pada tumbuhan membuat dedaunan ringan itu rebah sebentar sebelum kembali berdiri.
Tangannya merubah arah menuju kolam. Dinaikkannya sebentar tangannya, air itu mengikuti gerak tangannya dan kembali terjatuh masuk kedalam kolam saat tangannya turun.
Sekarang dia menjentikkan tangannya seketika percikan api keluar dari ujung jarinya membakar udara.
Dia jongkok dengan menumpukan satu lututnya di rerumputan dan telapak tangannya menyentuh tanah membuat tanah bergolak sebentar.
"Ini unik? Entah apa alasan Ayah menyegel kekuatanku, tapi ini akan sulit kulakukan jika aku tidak ada teman berlatih," ucapnya sambil melihat kedua tangannya.
"Apa yang kau lakukan diluar Hana?" seseorang bersuara membuat jantungnya berdegup kencang karena terkejut.
Dia berbalik dan melihat Eiji yang berdiri lima langkah dibelakangnya.
"Aku hanya merasa sesak dan ingin mencari udara segar. Kau sendiri?"
"Aku mencarimu,"
Hana tersenyum, dia melihat pria itu melangkah maju mendekat lalu mengusap pundaknya.
"Ini apa?" katanya lalu menunjukkan sedikit abu yang lengket pada tangannya.
Hana mencoba menahan diri untuk tidak berekspresi berlebihan. "Entah, mungkin terkena debu dinding," jawabnya sekenanya.
Pria itu mengangguk tidak mempermasalahkan. Mereka kembali masuk kedalam kamar melanjutkan istirahatnya.
Keesokan harinya setelah sarapan Eiji kembali melakukan pertemuan denga Benjiro. Entah apa yang mereka bicara tapi pembahasan di pertemuan itu seakan tidak ada habisnya.
"Kak, aku rindu dengan kue kering buatanmu," kata Harumi sambil memakan kue kering buatan dayang yang rasanya tentu tidak seenak buatan Hana.
"Aku sedang tidak ingin membuat apapun," kata Hana
"Hmmm," gadis itu bergumam lesu mendengar jawaban sang kakak.
"Awas ada serangan!" seruan itu membuat keduanya siaga.
"Ada apa?" tanya Hana setelah berlari keluar.
"Ada yang menyerang istana ini Nona Hana, ada baiknya kalian pergi agar tidak terlibat," jawab seorang prajurit diiringi suara ledakan dimana-mana.
"Dimana suamiku?" dia bertanya lagi.
"Beliau sudah pergi lebih dulu," kata sang prajurit menjawab.
"Tidak mungkin!" bentak Hana.
Sementara Harumi tanpa pikir panjang menarik lengan Hana menjauh dari ledakan-ledakan itu. Dengan kekuatannya dia menangkis semua serangan orang yang tidak dikenal.
"Aku harus mencari Eiji Harumi," kata Hana.
"Tidak ada waktu Kak, dia tidak akan ikut dengan," Hana diam sambil menatap nanar kebelakang.
Hana tahu maksud Harumi dan mereka terus bergegas lari dari sana sejauh yang mereka bisa.
Sesekali orang tidak dikenal itu menyerang mereka dan Harumi sigap menangkis dan membalas serangan itu.
Namun yang tidak mereka sangka adalah seseorang yang ternyata menyerang mereka dari arah titik buta membuat tangan mereka yang saling menggenggam itu terlepas.
"Kakak!!!" Harumi berteriak keras saat sang Hana terhempas menabrak tembok dab membuat wanita itu batuk yang mengeluarkan darah dari mulutnya.
Gadis itu menoleh pada penyerang.
"Apa yang kau lakukan hah? Menyerang istrimu sendiri? Aku tidak peduli kau sedang dalam pengaruh iblis atau pun hantu tapi tidak seharusnya kau menyerang istrimu sendiri," geram Harumi pada Eiji yang ternyata menyerang mereka.
Pria itu tidak membalas. Wajahnya pucat datar dengan mulut terkatup rapat dan mata merah menyala.
-
Angin berhembus lembut menerpa kulit wajah Hana yang sedang berbaring diatas batu besar. Dia kini sedang beristirahat melepas penat setelah berlatih seharian ini. Rerumputan pun ikut bergoyang terkena angin halus itu.
Cahaya matahari sore terasa nyaman di mata tidak membuat silau saat wanita itu lama menatap langit.
"Bunda! Ayo pulang! Nenek sudah memasak untuk makan malam," terdengar seruan seorang gadis mungil.
"Iya Bunda Ayo!" seru bocah lelaki pula.
"Iya iya Bunda turun," sahut Hana.
Tidak jauh dari sana terdapat sebuah gubuk dan berdiri seorang wanita tua yang sedang memegang tampah berisi beras.
"Lebih baik Yang Mulia mandi dulu, makan malam sebentar lagi," ucap wanita itu.
"Bibi, sudah kukatakan berhenti memanggilku seperti itu, bagaimana pun sekarang aku justru menumpang hidup padamu," kata Hana membalas. Dia benar-benar tidak ingin dipanggil dengan gelar itu lagi.
"Maaf Nak, Bibi lupa," katanya.
"Biar aku bantu Bi," ucap lalu mengambil tampah hendak dia isi dengan beras yang masih tercampur dengan gabah dan sekam padi.
"Tidak perlu. Aku hanya sedang mengisi waktu bukan mengejar waktu. Sebaiknya kau mandi,"
"Ayo Bunda, kita mandi,"
"Eeeh, sudah nenek bilang, beliau bukan Bundamu,"
"Tidak apa-apa bi, melihat Aiko dan Aito membuatku teringat dengan anak-anakku," ucap Hana.
"Ah, iya. Sudah sana mandi,"
Hana mengangguk lalu pergi meninggalkan ketiga nenek dan cucu itu tetap berada di dapur.
Dia pergi ke kamar mandi dan melakukan apa yang seharusnya dilakukannya.
-
Sebulan sudah dia berada disini di rumah Nenek Saki. Wanita tua berumur tujuh puluh tahunan yang menolongnya saat dia hampir sekarat berada ditepi sungai setelah beberapa jam hanyut usai pertarungannya dengan Eiji.
Hana tidak tahu dimana Harumi, mereka terpisah karena Eiji menyerang Harumi begitu membabi buta.
Hana yang awal masih belum ingin memperlihatkan dirinya yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan empat elemen akhirnya mau tidak mau melakukannya karena Eiji yang menyerangnya setelah menyerang Harumi habis-habisan hingga gadis itu menghilang dari pandangannya.
"Apa yang kau pikirkan Hana?" tanya Nenek Saki. Dan Hana yang sedang termenung di teras rumah itu terkejut.
"Tidak, Bi. Aku hanya merindukan keluargaku," sahutnya.
"Aku tahu ini berat, tapi itu lebih baik daripada kau berkumpul dengan suamimu yang sudah dikendalikan oleh orang lain, atau bertemu dengan saudara dan anakmu yang pastinya mereka akan mempertanyakan ini,"
Hana hanya mengangguk. Dia sudah menceritakan semua kejadian yang dialaminya di hari ketiga kesadarannya pada Saki.
"Tapi kulihat kau memiliki kekuatan yang belum terasah Nak, kenapa kau tidak melatih kekuatanmu itu,"
"Aku baru mengetahuinya Bi, sebulan terakhir. Aku tidak tau alasannya apa, tapi kekuatanku terlepas setelah segel mendiang Ayahku melemah," Hana berusaha mengarang cerita agar Saki tidak banyak bertanya.
Namun Saki memang tidak lanjut bertanya karena selama ini hanya Hana yang menjelaskan apa yang terjadi padanya.
"Jika kau ingin, besok satu jam sebelum matahari terbit bangunlah lebih awal, dan persiapkan dirimu, aku akan melatihmu," kata Saki lalu dia beranjak bangkit meninggalkan Hana.
Wanita itu membelalakkan matanya tidak menyangka.
"Terima kasih Bi," ucapnya tanpa suara. Dia berharap wanita ini mampu memberikannya harapan yang nyata.
...TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments