Bab 10 Berita Baru

Awan mendung hampir tiba di langit Kekaisaran Bulan. Bagai sebuah padang gersang, semua orang mulai menyorakkan rasa ungkapan syukur akan rintik pertama yang turun menyirami api besar yang menjunjung tinggi itu. Hujan mulai turun menderas seiring berjalannya waktu hingga malam akhirnya tiba tanpa disadari, jago merah yang melahap habis istana kekaisaran itu mulai mengecil dan mereda menyisakan puing-puing dengan bara yang masih nyala dam sesekali mendesis mengeluarkan asap saat terkena air.

Ribuan bangkai mayat meninggal karena terbakar bergelimpangan disana, satu persatu pula prajurit dan pengawal yang masih selamat juga sehat mengangkat dan memindahkannya menuju kediaman Tabib Suzu. Ya, hanya itu kediaman terdekat yang bisa mereka tuju saat ini.

Lubang sebesar lapangan bola sudah digali atas perintah Eiji, tidak jauh dari pemakaman umum dibelakang kediaman sang Tabib tersebut. Lubang yang akan dijadikan sebagai kuburan massal. Para jenazah yang dikenali pun sudah didata begitu juga yang tidak, yang dikenali langsung dipanggil keluarga terdekatnya sebagai perwakilan untuk menghadiri penghormatan terakhir namun banyak juga orang lain yang hadir walau tidak dipanggil karena mereka merasa jika mayat yang tidak dikenali itulah keluarga mereka.

"Kenapa tidak dikremasi saja?" tanya salah satu petinggi Kekaisaran.

"Tidak! Permaisuriku trauma melihat api besar, dan untuk mengkremasi semua mayat ini, kita membutuhkan api yang besar,"

Petinggi itu mengangguk paham.

Malam akhirnya berlalu hingga pagi menjelang, Eiji kembali berdiri ditepi lubang itu ditemani beberapa petinggi dan pejabat.

Seorang kasim datang menghampiri mereka.

"Ada apa?" tanya salah seorang petinggi.

"Didepan rumah Tabib Suzu datang seorang pemuda dengan dua kuda yang salah satunya terluka, dia berkata jika itu kuda milik Permaisuri, dia juga membawa plakat pengenal milik Yang Mulia Kaisar,"

Eiji berbalik, "Biarkan dia masuk dan panggil Tabib untuk mengobati Uma," katanya. Dia yakin kuda istrinya itu semakin parah hingga membuat Akemi sangat terlambat tiba disini.

Pemuda itu tiba dengan dibantu seseorang yang juga memandu kuda sakit itu menuju rumah sang Tabib terkenal ini. Sementara Suzu sendiri sudah keluar dari tadi saat seseorang yang diperintah Eiji menghampirinya mengatakan jika dia dipanggil. Wanita tua itu menunggu dengan sabar hingga akhirnya kuda itu telah tenang saat Hana juga tiba disana.

"Ambilkan alat-alatku," ucapnya pada salah satu muridnya yang lain yang menemaninya sedang Ito berada didalam masih dengan kegiatannya sendiri pula.

Gadis muda itu kembali dengan sekotak alat-alat yang diminta sang Guru. Suzu mendekati Hana.

"Hati-hati Tabib Suzu, sejak terluka dia tidak terlalu mau jauh dariku, semoga dia menurut denganmu,"

Suzu mengangguk. Tangannya terulur menyentuh luka itu. Bengkak dan bernanah. Ditekannya sedikit kuda itu mengamuk kesakitan membuat orang-orang panik.

"Tenang Uma, ini aku Suzu yang membantu proses bersalinmu," ucapnya.

Uma perlahan tenang. Pelan tapi pasti kuda itu merendahkan badannya hingga bersimpuh, sementara seorang prajurit mengambil bangku dan memberikannya pada Suzu juga Hana yang berada tepat disamping Uma.

"Apa yang terjadi?" tanya Suzu pada Hana. Dia tidak tahu mengapa kuda ini sampai terluka.

"Aku diserang perampok, dan mereka memanah kakinya,"

"Panah itu beracun, apa kau tidak tahu?"

"Racun?" kepala Hana menggeleng. Dia merasa ujung panah itu tidak ada cairan lain selain darah Uma sendiri.

"Iya, ini sama dengan racun yang menusuk kakimu dulu, namun bedanya lebih pekat karena sudah diekstrak dan dimodifikasi. Beruntung Uma mampu bertahan lebih dari tiga hari,"

"Kau bisa mengobatinya bukan?" tanyanya dengan nada suara cemas.

"Tentu,"

-

Hujan kembali mengguyur dengan deras setelah Suzu selesai mengobati kuda itu. Karena tidak adanya lokasi untuk perawatan hewan disana, Eiji memerintahkan untuk membuat tempat yang layak bagi kuda sakit disana pada para pekerja. Dan saat ini hanya sebuah atap dengan empat tiang yang mereka gunakan didepan rumah tersebut untuk menaungi tubuh Uma sedang tempat yang mereka bangun itu belum selesai sepenuhnya.

Eiji dan Hana sendiri kini sudah berada didalam tenda mereka ditengah kemah yang dibangun untuk sementara sebagai pusat pemerintahan. Eiji juga sudah mengirimkan permintaan bantuan pada Kekaisaran Matahari berharap sang kakak perempuan mengirimkan yang dimintanya.

"Bagaimana dengan anak-anak Eiji, walau mereka bukan aku yang melahirkan tapi tubuh ini lah yang menjadi ibu mereka selama ini, aku khawatir biar bagaimanapun aku juga seorang ibu," kata Hana saat mereka tengah berbaring disebuah dipan.

"Aku sudah meminta beberapa orang untuk terus menyisir hingga ke desa-desa, namun mereka memang belum menemukannya,"

Hana menghela napas panjang.

Kilat terlihat begitu terang hingga mereka yang berada didalam tenda pun kelihatan dari luar diiringin dengan suara guntur yang menggelagar.

Tidak ada percakapan lagi setelah suara guntur yang terdengar, Hana menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan mulai masuk ke alam mimpi meninggalkan Eiji yang masih berkutat dengan pekerjaannya.

Kepala Eiji menoleh menatap tubuh istrinya itu, "apa kau ingin balas dendam padaku sayang dengan meninggalkanku seperti ini dengan jiwa wanita lain?" gumam Eiji.

Pria itu lalu bangkit dari dipan dan meletakkan lembaran perkamen yang sedang dikerjakannya pada meja kecil disana lalu keluar dari tenda.

Seorang penasihat mendekat.

"Bagaimana keadaan diluar?"

"Sudah terkendali Yang Mulia, namun masalah hilangnya dua Putra Mahkota ini tetap menjadi perbincangan hangat, banyak yang menduga mereka telah tiada,"

"Tidak mereka masih hidup, aku yakin itu,"

Mereka terus beriringan berjalan pelan menyusur tanah yang mulai becek.

"Lalu bagaimana kuda milik Permaisuri?"

"Pembangunan tempat untuknya sudah selesai, tapi kuda itu masih tertidur jadi kami tidak ingin menganggunya,"

"Tidak masalah, asal jangan sampai dia kehujanan yang akan menambah penyakitnya, dia kesayangan Permaisuri,"

"Baik,"

Percakapan itu terus berlanjut hingga seorang dayang menghampiri sambil membawa payung.

"Tidak perlu kembalilah dan siapkan makan siang untuk Permaisuri,"

"Baik Yang Mulia,"

Langkah mereka terhenti didepan rumah milik Tabib Suzu, Eiji langsung masuk dan barisan orang-orang terluka terlihat disana, dia masuk semakin dalam dan pergi menuju ruang kamar yang menjadi ruang perawatan Harumi.

"Yang Mulia," cicit Ito yang terkejut melihat Eiji telah berdiri diambang pintu.

"Bagaimana keadaannya?"

"Dia sudah membaik sejak kemarin,"

"Yang Mulia? Dimana Kak Hana?"

"Keluarlah aku ingin berbicara dengannya,"

Ito mengangguk, lalu meninggalkan mereka.

Eiji mendekat dan duduk di kursi samping tempat tidur.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku membaik, dimana kak Hana?"

"Dia istirahat, semalam tidurnya tidak nyenyak,"

"Yang Mulia menemukan Kenzi dan Kenzo?"

Eiji menggeleng.

"Mereka dibawa Pangeran Eito, aku yang memintanya,"

"Mengapa? Lalu dimana Ibu Suri?"

Giliran Harumi yang menggeleng diikuti isyarat mata mengarah pada pintu.

Eiji bangkit.

"Kau menguping?" tanya Eiji saat melihat Ito yang berdiri didepan pintu.

"Ampun Yang Mulia,"

"Ada apa ini?" Suzu keluar dari kamar ingin pergi ke dapur mengambil minum.

"Maaf jika aku kasar pada muridmu Tabib Suzu, tapi dia lancang menguping pembicaraan kami,"

"Apa yang kau lakukan Ito, membuat malu saja," ucap wanita tua itu lalu berlalu pergi.

"Pergilah, dan jangan menguping lagi, sekali lagi kau menguping maka hukuman akan menantimu,"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!