Bab 6 Kekacauan yang Mendalam

"Perompak?!" seru Hana begitu keras mendengar ucapan Akemi.

"Iya Yang Mulia," kata Akemi dengan pedang yang masih teracung.

Krrrrrrgrrrrrr......

Tiba-tiba suara gerungan terdengar, Hana langsung menoleh ke kanan begitu pula dengan Akemi yang menoleh ke kiri.

"Ini bahkan lebih berbahaya dari perompak Akemi," kesal wanita itu sambil membidikkan pananya pada kaki hewan buas yang berada tak jaih darinya itu.

"Ha-harimau? Di hutan ini ada harimau?" Akemi berujar tidak menyangka saat melihat hewan buas berkaki empat besar itu. Tangannya gemetar memegang pedangnya.

Syuuuut....

Panah Hana akhirnya melesat namun secepat itu panahnya, lebih cepat lagi langkah kaki nenek moyang kucing itu melompat menghindari tembakan.

Tanpa pikir panjang Hana langsung menarik kerah leher belakang Akemi untuk bergegas menuju kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan.

Persetan dengan sarapan juga perkemahan mereka, mereka bisa mengambilnya lagi saat perjalanan pulang nanti.

Tali kekang kuda yang terikat pada pohon ditebas begitu saja agar segera terlepas. Tidak ada waktu untuk memperlambat diri dengan membuka ikatan kuat pada pohon itu. Ini bahkan lebih menakutkan daripada bertarung dengan para perampok ataupun pembunuh.

Keduanya langsung melompat naik dan memecut kuda mereka agar melangkah lebih cepat dari yang seharusnya.

Sesekali Hana menoleh menatap belakangnya yang masih terlihat harimau itu mengejar. Melihat peliharaan Harumi dia sudah biasa, namun harimau yang itu lebih mudah dikendalikan karena ada Harumi sebagai pawang. Tidak dengan Harimau yang ini dia seolah tidak memiliki rasa takut pada manusia.

Satu jam berpacu di padang rumput di tengah hutan akhirnya harimau itu hilang dibalik bayangan. Dada Hana kembang kempis seiring napas yang pendek-pendek ditarik lalu dilepas tidak jauh berbeda keadaan Hana dengan Akemi. Pemuda itu bahkan terlihat seperti orang asma padahal bukan dia yang berlari.

"Napasku sangat sesak Yang Mulia," Akemi mengusap dahinya yang penuh dengan keringat sebesar biji jagung.

"Bukan kau yang berlari kenapa kau yang seperti orang semaput," ledek Hana walau sebenarnya keadaannya pun tidak jauh berbeda.

Pemuda itu hanya mendenguskan napasnya sebagai pengganti tawa karena hendak tertawa normal napas belum lega.

"Kita tidak jauh lagi dari tepi, mungkin sekitar satu kilo lagi, dan dari tepi hanya sekitar setengah jam kita sudah sampai di dekat jurang. Jika Yang Mulia tidak jatuh dan pingsan kemarin mungkin bunga itu sudah kita dapatkan. Tapi siapa yang menginginkan kecelakaan," kata pemuda itu lalu mengambil botol minumnya yang tergantung pada pinggangnya. Beruntung dia sempat meraih botol yang masih tertutup rapat belum dibuka itu saat Hana menarik kerah bajunya. Dia langsung melemparkannya pada Hana yang juga hampir kehabisan napas. "Kita hanya punya itu sekarang Yang Mulia, jika kau sudi minumlah," sambungnya setelah Hana menangkap botol itu.

"Terima kasih," singkat Hana. Wanita itu tanpa rasa enggan meminumnya tanpa menyentuh bibir botol sama seperti yang dilakukan Akemi.

Sepuluh menit beristirahat mereka mulai kembali melanjutkan perjalanan, tanpa menunggang kuda karena mereka tahu kedua kuda itu pasti amat sangat kelelahan setelah berlari begitu kencang tanpa jeda selama satu jam. Mereka harus bisa mencari danau atau aliran sungai agar kuda mereka bisa setidaknya melepaskan rasa hausnya.

"Disana kalau tidak salah ada danau kecil, kan?" tanya Hana sambil menunjukkan arah kanan hampir dekat dengan tepi hutan.

"Iya, aku memang berniat kesana lebih dulu agar kuda kita bisa minum," sahut Akemi.

Hana mengangguk.

-

"Hormat Paduka Kaisar, semoga Yang Mulia Kaisar panjang umur," sapa Eito setelah dia diizinkan masuk oleh kasim yang berjaga didepan pintu.

"Terima kasih Pangeran Eito, terima kasih kau mau datang kemari setelah perjuangan panjang penolakanmu terhadap jabatan baru yang ingin Ayah berikan padamu," ucap Eiji sedikit sarkas.

"Maafkan aku Kaisar Eiji, tapi semua orang sudah tahu jika kaulah yang menjadi Putra Mahkota. Aku tidak mungkin tiba-tiba menjadi Kaisar hanya karena alasan kau telah menikah dan dipilih untuk menjadi Kaisar disini," sesal pria itu tersirat dari tutur katanya juga dari nada bicaranya.

"Sudahlah lupakan itu, aku mohon jaga dua Kekaisaran ini, firasatku tidak nyaman sejak semalam, dan aku tidak ingin menunda dengan meminta orang lain mencari apalagi mengadakan sayembara seperti yang kau katakan. Tidak! Aku akan langsung pergi saja," kata Eiji seolah apa yang akan dilakukannya ini adalah sesuatu yang akan sulit dihadapi dan hanya dia yang mampu.

"Tidak masalah, pergilah dan segera kembali," Eito hanya mengangguk sambil menjawab singkat.

Eiji dan Eito pun bersalaman keduanya keluar dari ruang kerja Eiji dan pergi menuju paviliun tamu. Ingin meminta Eiko namun wanita itu sedang enggan berpergian jauh, sementara di Kekaisaran Bulan hanya ada Harumi yang sedanh terbaring sakit suka tidak suka saat Eiji mengingat Eito yang sedang berada tidak jauh dari wilayah Kekaisaran Bulan dia langsung menghubunginya dengan mengirim burung pengantar surat pada pria itu.

Sampai di paviliun tamu Eiji langsung meminta beberapa kasim dan dayang yang berada disana untuk melayani kakak tertuanya itu dengan baik. Dia pun meninggalkan Eito segera setelah semua terkendali.

"Aku pergi," ucapnya pada Eito.

Pria itu mengangguk.

Tidak ada iringan-iringan pelepasan, Eiji berangkat diam-diam karena tidak ingin banyak orang yang tau akan kepergiannya. Menitipkan Kenzi serta Kenzo pada Azusa yang kini menjadi Ibu Suri wanita tua itu hanya mampu mengangguk sambil menahan air matanya. Sedangkan dua bocah itu sudah mengerti jika Ibunya sedang dalam bahaya hingga sang Ayah menyusul.

-

Dadanya berdegup kencang saat dia telah sampai di danau itu. Danau yang mengingatkannya akan kejadian naas sepuluh tahun lalu yang merenggut nyawa hingga dia berakhir terdampar pada dimensi lain.

Tidak!

Kejadian itu tidak akan terulang lagi. Dia tau itu.

Namun tetap saja ingatannya selalu kembali pada kejadian itu dimana dia tergelincir dan akhirnya terjatuh terjun kebawah menuju dasar jurang tak dalam namun mematikan.

Takdir berkata lain. Tubuhnya yang nyaris kehabisan harapan hidup itu justru bertuka jiwa dengan dirinya dari masa yang lain.

"Yuka... Yuki.... Ibu rindu kalian," ucap wanita itu tanpa sadar karena kejadian demi kejadian yang melintas diingatannya membuatnya juga teringat pada dua anaknya yang entah bagaimana keadaan mereka. Semoga Hana mampu menyayangi mereka dan dia pun berusaha akan menyayangi kedua anaknya yang ada disini.

Pikirannya sudah akan meracau semakin tidak karuan jika dia tidak dikejutkan dengan suara Akemi yang memanggil.

"Kita bisa melanjutkan perjalanan Yang Mulia. Kuda kita sudah minum dengan cukup dan memakan rumput liar yang bisa mereka makan disekitar danau ini," ujar Akemi sambil dua tali kekang kuda yang sangat pendek akibat ditebas tadi.

"Baiklah kita pergi,"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!