Bab 9 Api

Suasana semakin mendung kian mereka berjalan semakin jauh. Langkah kuda milik Eiji pun makin lambat.

"Apa ada baiknya kita jalan kaki saja, gerbang Kekaisaran juga tidak jauh lagi, aku juga ingin melihat keadaan kaki Uma, Akemi mulai kesulitan memandunya karena sepertinya kuda itu tidak kuat lagi," kata Hana.

Eiji tidak menjawab, dia langsung menghentikan langkah kudanya dan turun dari sana. Hana turun setelahnya dan langsung berlari menuju Akemi yang juga sudah turun dari kudanya saat melihat dua orang didepannya berhenti.

Perban itu menggelembung tinggi, Hana langsung meringis melihatnya sedang sang kuda yang bernama Uma itu meringkik pelan memberitahu jika dia sangat kesakitan.

Tangannya langsung membuka ikatan perban itu lembar demi lembar dan hingga lapis terakhir yang memperlihatkan lukanya tampak sedikit membusuk juga memerah disekitarnya.

"Bunga petunia tidak terlalu berfungsi untuk kuda," gumam Hana.

"Tentu saja, bukankah Tabib Suzu sudah mengatakan jika itu untuk menghilangkan bekas luka, buka mengobati lukanya," kata Eiji yang mendengarnya.

"Eh, aku pikir untuk obat lukanya," sahut Hana.

Eiji hanya menggeleng. Dia baru ingat jika yang didepannya ini bukanlah Hana yang sama dengan yang mendengarkan penjelasan sang Tabib.

"Ada asap," ucap Akemi tiba-tiba membuat dua orang itu menoleh.

"Sepertinya itu dari Kekaisaran," kata Hana menanggapi.

Mata Eiji membulat, "Akemi, aku minta tolong kamu membawa Uma untuk meneruskan jalan semampunya, dan segera minta bantuan prajurit yang berjaga di gerbang perbatasan untuk mengantarkanmu ke tempat Tabib Ito atau Tabib Suzu untuk merawat kuda ini, tunjukkan plakat ini dan katakan jika itu adalah kuda milik Permaisuri, aku harus segera pergi anak-anak dan keluargaku dalam bahaya," jelasnya panjang lebar dan tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu dia langsung menarik pergelangan Hana dan melompat menaiki kuda, meninggalkan Akemi seorang diri dengan dua ekor kuda yang salah satunya terluka.

-

Hana dan Eiji tiba didepan gerbang istana. Keduanya turun dan menatap nanar pada istana yang jauh berada dibelakang sana sedang terbakar api yang membumbung begitu tinggi. Wanita itu bahkan terjatuh dan berlutut tidak bertenaga.

Kenapa tragedi ini terjadi disaat aku pulang? Kenapa? Kenapa?!

Bagai teriris sembilu batinnya melihat keadaan itu. Air matanya luruh seketika saat saat angin panas menerpa tubuhnya.

Teriakan orang-orang terdengar silih berganti entah itu para dayang juga para pengawal.

Dimana keluargaku?

Ayah, aku rindu.

Keadaan tidak jauh berbeda dengan Hana, namun pikiran Eiji yang seakan masih berpikir waras dengan dia segera menggendong Hana dan membantu wanita itu naik keatas pelana kuda, dan memacunya menjauhi gerbang istana. Api itu tidak akan menjalar menuju pemukiman rumah warga asal tidak ada angin yang bertiup kencang, jarak dari bangunan istana menuju gerbang cukup jauh, semoga cuaca segera turun hujan agar api itu tidak membesar.

Kudanya kini dipacu menuju ke kediaman Tabib Suzu, hanya disana dia bisa meminta penjelasan.

Begitu tiba disana di teras rumah sang tabib banyak barisan mayat yang berjajar bahkan beberapa ada yang sudah dimasukkan kedalam peti dan siap untuk dikremasi.

Napas Hana kian memberat saat khawatir disana ada peti dari salah satu orang terdekatnya.

"Hormat Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri," sapa salah satu prajurit yang melihat.

Hana hanya mengangguk sementara Eiji langsung buka suara.

"Dimana keluargaku?" tanya Eiji.

"Maafkan hamba Yang Mulia, hamba tidak tahu," sang prajurit menunduk penuh rasa bersalah.

"Kalau begitu dimana Tabib Suzu?"

"Beliau didalam," jawabnya pelan.

Eiji langsung bergegas masuk kedalam diikuti Hana yang juga bergegas. Keduanya berhenti melangkah saat mereka sampai di ruang tengah rumah itu. Terlihat Ito yang begitu sibuk merawat seorang wanita yang terluka parah.

"Tabib Ito," panggil Eiji. Sebenarnya dia sedikit enggan melakukannya namun tidak ada pilihan lain.

Gadis muda itu menoleh dan langsung menatap nanar pada kedua orang itu.

"Maafkan hamba Yang Mulia, hamba pantas dihukum," katanya.

"Apa yang terjadi?" tanya Hana dengan raut wajah sedih juga bingung.

"Maafkan hamba Yang Mulia," gadis itu berulang kali mengatakan hal yang sama juga bersujud berkali-kali hingga keningnya berubah memerah.

"Sudahlah Tabib Ito," kata Hana mengangkat tubuhnya. "Lebih baik segera lanjutkan pekerjaanmu, itu jauh lebih penting,"

"Dimana Tabib Suzu?" tanya Eiji. Pertanyaan sama yang juga dia lontarkan pada prajurit yang tadi diluar.

"Beliau di kamar," tunjuknya ke sebuah ruangan yang tidak terlalu jauh.

Hana saling menatap dengan Eiji dan kini keduanya mengangguk. Mereka bangkit dan berjalan lalu langsung masuk ke ruangan itu.

"Tabib Suzu," panggil Hana.

Seorang wanita paruh baya menoleh. "Kalian sudah tiba? Maafkan wanita tua ini Yang Mulia, aku hanya mampu menyelamatkan adikmu, aku tidak menemukan dimana pun Ibu dan kedua anakmu," katanya sambil berlutut.

Hana langsung mendekat dan memeluk tubuh tua itu. "Tidak apa-apa Tabib Suzu, ini sudah lebih baik, ini aku berhasil mendapatkan bunga Petunia yang Tabib butuhkan," tangannya merogoh kedalam kantong kecil yang terikat pada pinggang.

Setelah memberikan itu padanya mereka keluar dan membiarkan sang Tabib merawat Harumi agar segera sembuh.

Hana berpikir keras.

Kenapa hanya Ibu dan Anak-anakku? Lalu Ayahku dimana?

"Eiji," lirihnya memanggil pria yang melangkah lebih dulu itu.

"Hm,"

"Ayahku dimana?"

Langkah kaki pria itu terhenti. Sementara Hana yang melihat itu juga ikut menghentikan langkahnya menunggu sang pria menjawab itu. Namun Eiji tidak mengatakan apapun dia langsung melanjutkan langkahnya keluar dari kediaman Tabib Suzu dan menuju kudanya yang sedang memakan rumput dihalaman rumah itu.

Hawa panas masih terasa disana walau api tidak sampai pada mereka.

"Apa kalian melihat kakakku? Pangeran Eito?" tanya Eiji pada salah satu pengawal yang sedang berjaga didepan.

"Kami masih melakukan penyisiran Yang Mulia," jawab pengawal itu.

Matanya memandang ke sekeliling halaman rumah sang Tabib, mayat itu semakin banya berbaris disana.

"Baik,k Eiji hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya.

Tidak tahan lagi dengan sikap abai Eiji, Hana akhirnya kesal sendiri lalu berteriak.

"Eiji!" pekiknya nyaring.

Seketika orang-orang yang ada disana menoleh dan memperhatikan mereka, separuhnya juga terkejut karena tidak menyangka jika Permaisuri mereka bisa bersuara sekeras itu.

"Kau ingin tau bukan? Ya sudah ikut," dingin pria itu menyahut.

Dengus napas kesal begitu kentara terdengar dari hidung Hana. Namun mendengar nada suara pria itu dia akhirnya mengalah.

"Maaf jika aku terkesan menekanmu, tapi lebik baik kita melakukan itu besok saja. Maaf aku tidak memikirkan keadaanmu yang lelah," sesalnya kemudian.

-

"Kalian tenang disini, Paman akan berusaha terus untuk melindungi kalian,"

"Tapi Nenek, Paman"

"Maafkan Paman sayang, kita harus meninggalkannya jika tidak maka kita yang akan dalam bahaya,"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!