Bab 14 Getaran Hebat

Langit cerah mulai terlihat setelah sepanjang minggu hanya diisi oleh hujan dan mendung.

Hana mendengar langkah kaki masuk kedalam tenda yang dihuninya kini, berbeda tenda dengan Harumi karena wanita itu sedang ingin sendiri. Mata bundarnya menatap pada langit-langit kamar tenda itu dengan tubuh berbaring.

Dipan yang dibaringi bergoyang karena ada yang mulai ikut berbaring disana. Hening menyelimuti keduanya dan tidak ada satu pun yang hendak memulai percakapan.

Mereka berhitung didalam hati masing-masing memperkirakan siapa yang akan mengalah untuk masalah ini.

Hembusan napas kasar terdengar, situasi ini sungguh menyebalkan bagi pria yang terlihat gusar itu.

"Aku minta maaf Hana, tapi aku benar-benar tidak bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya," kata Eiji. Dia memilih untuk mengalah agar Hana tidak lagi berdiam seperti itu.

Wanita itu tidak menghiraukan perkataannya, sampai dia merasa seolah Hana menganggapnya tidak ada disana. Lagi-lagi dia menghembuskan napasnya gusar, pikirannya frustrasi. Apa iya dia harus jujur?

Beberapa waktu berlalu hingga ia tidak sadar terlelap didalam tenda yang hening itu.

"Kamu keterlaluan Eiji, ketika tahu kenapa kamu menyembunyikan kebenaran yang menyakitkan itu jauh lebih sakit dibanding aku tahu dari awal," batinnya sambil melirik sekilas pria yang berbaring disebelahnya.

-

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja,"

Wanita yang bertanya tadi kini menjatuhkan bokongnya pada kursi santai yang kosong disebelah adiknya.

"Kau masih marah pada Kakak Ipar?"

"Tentu saja,"

"Apa kau tidak marah padaku?"

"Untuk apa? Aku yakin kau pun pasti kesal, kan?"

"Pastilah, tapi aku tidak kesal pada orang yang salah. Dan aku pun tahu kesal berkepanjangan itu tidak baik,"

Hana terdiam. Tunggu apa dia salah telah marah pada pria itu.

"Kau mau memberitahuku sesuatu?"

"Memberitahu apa?" tanya Harumi. Tangannya mengambil sekeping biskuit buatan kakaknya itu. Rasanya berubah, namun tetap sama enaknya.

"Apa yang terjadi hingga mengakibatkan kematian Ayah?" tanya Hana menatap intens sang adik.

Kunyahannya terhenti, sementara sisa keping biskuit yang masih berada di tangannya terlepas kepangkuan.

"Kenapa?" Hana heran dengan respons sang adik yang seperti orang terkejut.

Harumi meneruskan kunyahannya dan mengambil cangkir porselen berisi teh meneguknya sedikit.

"Tidak. Aku hanya tidak menyangka kau melupakan tentang itu. Aku mendengar jika kau sempat hampir celaka saat di hutan, ya seperti kataku tadi aku tidak menyangka jika itu mempengaruhi ingatanmu,"

"Jadi?" katanya. Dia benar-benar tidak puas dengan jawaban adiknya yang tidak searah dengan pertanyaannya.

"Ayah meninggal karena menyelamatkanmu Kak,"

"Maksudnya?"

"Apa masih kurang jelas," suara gadis itu mulai ketus. Dia selalu emosi setiap mengingat kejadian itu.

"Iya aku minta maaf. Aku mengerti Ayah meninggal karena aku, tapi kenapa?"

"Kau membunuhnya!" gadis itu bangkit berdiri lalu menyilangkan tangannya ke dada.

"Hah? Kau jangan bercanda Harumi!"

"Kau pikir aku bisa bercanda tentang ini?! Lebih tiga tahun aku memusuhimu karena ini!"

Wanita cantik itu kembali terdiam. Matanya mengawasi Harumi yang pergi meninggalkannya dengan langkah pelan. Ya gadis itu belum sembuh dengan benar dan Hana benar-benar menyesal membuat adiknya marah.

-

Aku pembunuh Ayah?

Bagaimana bisa?

Bukan! Bukan aku! Tapi Hana! Ya! Hana yang lain!

-

Kicau burung bersahutan di langit malam. Hana masuk dan melihat pria didalam sana sedang dibantu beberapa dayang mengenakan jubah besar miliknya.

Melihat sang Permaisuri berdiri disana Eiji meminta para dayang itu pergi setelah pekerjaannya selesai.

"Kenapa kau murung? Kau masih marah padaku?"

"Maaf aku sudah membatin yang tidak-tidak tentangmu,"

"Biarlah itu adalah batinmu, aku memang Kaisar, tapi itu bukan wilayah kekuasaanku,"

Senyap menyelimuti mereka, Hana berjalan mendekati dan duduk di dipan tidak jaih dari Eiji berdiri, pria itu juga ikut duduk disana beberapa saat setelahnya.

"Harumi mengatakan aku yang membunuh Ayah. Itu bukan aku kan?"

Eiji menghela napasnya berat. Dia tahu hari ini akan datang. Hana pasti akan bertanya pada adiknya, dan menilik sifat gadis itu dia pasti akan menceritakan apa yang terjadi secara gamblang.

"Eiji,"

"Iya itu bukan dirimu. Tapi semua orang tahu jika kau yang ada disana memegang pedang yang tertancap pada dada Ayah Mertua,"

Tubuh Hana gemetar, tangannya terangkat naik dengan getaran hebat, matanya menatap itu semua dengan tubuh yang menggigil.

"Itulah mengapa aku mengatakan padamu untuk tetap waras, baru mendengar kejadian awalnya saja kau sudah seperti ini,"

Entah kapan Eiji berada didepannya berjongkok lalu menggenggam kedua tangan bergetarnya.

"Tenanglah," kata pria itu. Tangannya melepaskan genggaman lalu mendorong pundak Hana agar berbaring. Sepatunya dilepas lalu ikut menaikkan kaki wanita itu perlahan keatas dipan juga. "Istirahatlah dan tenangkan pikiranmu, aku akan menjelaskan semuanya perlahan,"

Eiji memutari dipan dan berbaring miring disebelah sang istri. Tangannya menyentuh puncak kepala mengusapnya perlahan memberi sugesti mencoba menenangkan.

-

Berhari-hari mereka berjalan akhirnya tujuan sudah ada didepan mata. Eito sedikit lega.

"Kita hampir sampai," ucapnya pada Kenzi dan Kenzo.

"Yeay!" seru mereka berdua girang.

Namun hal tidak terduga terjadi. Dua orang prajurit yang berjaga didepan gerbang tiba-tiba menyilangkan tombak mereka menghalangi Eito yang baru saja tiba.

"Ada apa ini?" tanya Eito terkejut. Tidak biasanya dia diperlakukan seperti ini.

"Siapa kalian? Apa keperluan kalian hendak masuk ke Kekaisaran Matahari?"

"Aku Pangeran Eito, dan ini Pangeran Kenzi juga Pangeran Kenzo calon Putra Mahkota dua Kekaisaran," ucapnya sedikit menyombongkan karena kesal.

"Mana buktinya?"

"Astaga!" dia berseru kesal karena dia yang sudah merasa lelah harus mendapat perlakuan seperti ini.

Apa yang terjadi? Mengapa dua penjaga ini tidak mengenalinya? Tidak mungkin mereka prajurit baru.

Tangannya meraba kantong jubah yang dia kenakan dan mengambil plakat kecil dari sana.

"Ini," ucapnya sambil memegang tali plakat itu membuatnya bergerak seperti pendulum.

"Benar ini plakat dari Kekaisaran Matahari, tapi aku tidak tahu jika Kekaisaran memiliki Pangeran bernama Eito. Kamu pergi ke Istana dan laporkan jika ada seorang pria bernama Eito yang mengaku seorang Pangeran dan memiliki plakat, cepat!" perintahnya pada yang lain.

"Kalian bisa menunggu disana," katanya setelah dia beralih pada tiga orang dihadapannya.

Eito menatap pos yang ditunjuk prajurit itu.

"Kita menunggu disana," dia berucap mengulang perkataan prajurit itu.

Ruang itu lumayan besar. Empat kali empat meter. Namun dengan segala isi berkas juga datanya membuat ruangan yang kosong tersisa untuk tiga buah meja kerja dan enam kursi.

Eito menyuruh kedua keponakannya itu untuk duduk di dua kursi tamu sedangkan dia duduk di kursi yang lainnya.

Satu jam diisi dengan sia-sia menunggu prajurit tadi kembali.

"Lapor komandan! Yang Mulia Kaisar tidak ingin bertemu dengan tamu tidak dikenal itu,"

"Kaisar?"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!