Bab 15 Eito dan Eiko

"Kaisar?" tanya Eito terkejut dan tidak menyangka. Dia bangkit, lalu "siapa maksud kalian Kaisar?" imbuhnya sambil melangkah maju.

"Yang Mulia Kaisar kami Kaisar Benjiro," sahut Komandan Prajurit itu.

"Benjiro?" gumam Eito. Dia tidak percaya dengan hal itu. Bukankah sebelumnya pria itu menolak untuk menjadi Kaisar menggantikan ayahnya hingga sang ayah memilih Eiji karena dia sendiri sudah menolak dari awal jabatan itu.

"Sekarang kalian pergi dari sini, karena kedatangan kalian sudah sangat tidak diinginkan,"

"Baik kami akan pergi,"

Pria itu meraih tangan kedua keponakannya lalu keluar dari pos penjagaan itu, dia terus berjalan menjauhi tanah kekuasaan Kekaisaran Matahari hingga akhirnya suara keluar dari bibir Kenzo.

"Kita kemana Paman?"

"Balik ke Kekaisaran Bulan,"

"Hah?!" kali ini bukan Kenzo yang terkejut.

"Apalagi? Kita tidak bisa masuk,"

"Tapi kami tidak ingin seperti ini terus Paman," dua bocah itu mengeluh bersamaan. Mereka menarik tangan masing-masing dari genggaman Eito lalu duduk menjeplak pada tanah.

Eito berbalik. "Kenapa? Kalian ingin tantrum?" tanya Eito sambil tersenyum geli melihat tingkah keduanya.

"Iya," dua bocah itu berseru bersamaan sambil bersidekap dada dan memalingkan wajah hingga mereka saling membelakangi.

"Hahaha," pecah sudah tawa Eito.

"Ini tidak lucu Paman! Kami capek terus berjalan berhari-hari kini harus balik lagi,"

"Kalian lelah? Sini Paman gendong, kita cari penginapan di desa luar dan setelah ini Paman akan menyusun rencana,"

-

Sore harinya setelah mendapatkan kamar dan membiarkan dua bocah itu beristirahat dengan nyaman disana, Eito keluar meninggalkan mereka untuk membeli makan malam.

Kakinya melangkah perlahan sambil menoleh kesana kemari memilih makanan yang dia inginkan.

Usai mendapatkan bungkusan makan yang dia inginkan, Eito langsung memilih kembali ke penginapan. Cahaya matahari mulai berpendar hendak menghilang. Dia berjalan cepat khawatir terlalu lama dan dua bocah itu akan terbangun kebingungan karena dia tinggal.

Namun sekelebat bayangan terlihat di ujung matanya. Dia melirik kesamping dan memang terlihat seseorang bersembunyi dibalik pohon besar yang baru saja dia lewati.

"Huh," dia menghela napas berat. Entah apa lagi yang akan dihadapinya.

Kakinya mulai melanjutkan langkahnya dan benar seperti dugaannya bayangan itu juga bergerak mengendap-endap mengikuti dirinya.

Eito langsung berbalik seketika saat orang yang mengikutinya itu sudah lebih dekat dibanding tadi, membuat yang menguntitnya itu dan berusaha menyembunyikan diri.

"Aku sudah mengetahui keberadaanmu sejak tadi, percuma jika kau menyembunyikan diri lagi,"

Tubuh orang itu-yang terlihat seperti seorang wanita karena pakaian pas badan yang dikenakannya-batal bergerak. Dia kembali berdiri ditempatnya sambil matanya membalas tatapan mata Eito yang tajam.

"Siapa dirimu?" tanya Eito.

"Bisa kita bicara ditempat yang lebih aman," suara itu akhirnya terdengar.

Mata Eito membola saat mendengarnya.

"Apa yang terjadi?"

"Berbahaya jika kita membahasnya disini,"

"Baik, kita ke penginapan tidak jauh dari sini. Aku sedang menjaga anak-anak Eiji,"

Kepala itu mengangguk.

Mereka berlari demi sampai lebih cepat di penginapan. Matahari telah menghilang setelah mereka sampai.

Ketika pintu terbuka dua bocah yang ada didalam langsung bangkit menghampirinya dan memeluknya.

"Paman darimana? Aku pikir kami ditinggal karena Paman tidak ada uang untuk membayar biaya penginapan," kata Kenzo.

"Hei!" Eito berseru tidak terima tangannya melepaskan pelukan erat dua bocah itu karena dia ingin segera masuk. "Paman mencari makan malam,"

"Apa makan malam yang Paman cari adalah manusia?" tanya Kenzo lagi saat melihat seseorang yang berdiri dibelakang Pamannya.

"Sembarangan!"

Wanita yang ada dibelakangnya tertawa. Dia cukup rindu dengan ocehan bocah itu.

"Ayo masuk, Paman lapar,"

Mereka semua masuk dan berakhir dengan Eito yang langsung menutup pintu lalu menguncinya.

Penutup kepala yang dikenakan wanita itu akhirnya dia lepas.

"Bibi!" kedua keponakannya berseru.

"Iya ini Bibi, kalian apa kabar?"

"Buruk Bi, Istana kami kebakaran ingin ketempat Bibi, tapi kami ditolak," Kenzo menampilkan wajah yang begitu memelas saat berucap dan hasilnya dia mendapat timpukan sendok kayu pada jidat dari sang kakak.

"Jangan hiraukan Kenzo Bi, Bibi sendiri apa kabar,"

"Bibi juga buruk, Bibi terusir dari Kekaisaran Bibi sendiri,"

"Bagaimana ini bisa terjadi Eiko? Bukankah Ayah sudah memintanya untuk menjadi Kaisar waktu itu, tapi dia menolak dan berakhir Eiji yang harus mengalah demi kita agar Kekaisaran tidak runtuh," tanya Eito. Wajah begitu kentara menampilkan ekspresi penasaran.

"Aku juga tidak mengerti dengan jalan pikiran suamiku sendiri," sementara wanita yang ternyata adalah Eiko itu menggeleng.

"Lalu bagaimana kamu bisa tahu aku disini?"

"Aku melihatmu membeli makanan ditempat aku sedang makan,"

Eito mengangguk. Sementara dua bocah tadi sudah tidak memperhatikan mereka karena sedang nyaman memakan makanan mereka sendiri.

"Baiklah kalian istirahat aku akan meminta kasur lipat tambahan pada pelayan penginapan," kata Eito lalu keluar. "Kunci pintunya," imbuhnya.

Eiko bangkit lalu mengunci pintu.

Setelah duduk kini dia memperhatikan dua keponakannya yang terus bercanda sambil makan itu dan tersenyum. Dia bersyukur lima tahun lebih sudah menikah dia belum memiliki anak, karena jika dia ada anak akan sulit dia melarikan diri kemarin karena dia tidak akan tega meninggalkan dari dagingnya dengan pria busuk seperti Benjiro itu.

Suara ketukan terdengar.

"Ini aku," mendengar suara Eito barulah dia membuka kunci pintunya.

Kasur lipat dibawakan oleh pelayan pria dan diletakan disamping kasur lipat yang sudah siap dipakai itu. Empat kasur berjajar.

Makan malam telah selesai bulan masih belum tinggi menandakan malam belum larut.

"Aku sebenarnya berencana kembali ke Kekaisaran Bulan dan menyusun rencana dengan Eiji dan Hana karena wanita itu cukup baik dibawa runding masalah seperti ini. Tapi kedua anaknya mengeluh lelah karena perjalanan yang jauh. Aku memilih jalan memutar karena sebelumnya kami dikejar,"

"Aku juga berpikir begitu,"

Hening sesaat.

"Menurutmu, siapa dalang dari kekacauan dua wilayah kekuasaan ini?"

"Entah aku tidak mengerti apa masalah dua wilayah ini saling terkait atau tidak,"

"Kamu benar, bisa saja memang berbeda akarnya,"

-

Brak... Brak.... Brak...

Cucuran keringat terlihat jelas dari ujung dagu Hana. Tangannya menggenggam kuat pedang kayu yang terus diarahkan ke patung jerami yang menjadi sasarannya.

Dia berlatih keras akhir-akhir ini karena dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kalau kau berlatih seperti itu, kau akan tumbang sebelum berperang," ucap seseorang dibelakangnya.

Brak.... Brak.... Brak....

Diacuhkannya perkataan itu dan tangannya terus mengayun menghantam patung jerami yang mulai tidak karuan bentuknya.

Pedang kay teracung keatas siap hendak dia tebaskan ke leher patung itu namu tiba-tiba dia terperanjat saat ada yang merengkuh perutnya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Daripada berlatih seperti itu dan yang berkeringat hanya kau sendiri, lebih baik kita berkeringat berdua,"

"Eh, tapi kita bukan suami istri,"

"Siapa bilang, kau istriku, permaisuriku, kau tubuh wanita yang kunikahi,"

"Eiji!"

"Aku hanya bercanda, tidak baik berlatih seperti ini. Ini bukan menimbulkan bakat terpendammu, tapi hanya akan menghancurkanmu. Ayo istirahat!"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!