Cuaca terasa berubah seketika saat matahari hilang dari ufuk barat, sedang tiga insan yang berbeda itu tidak ada yang mengeluarkan suaranya hingga akhirnya mereka kembali ke tebing yang tadi.
"Tenda milikmu rusak, dan aku lupa membawa tenda lagi karena terlampau khawatir padamu," bisik Eiji yang kink duduk disamping istrinya yang bersandar pada pohon. Sementara Akemi menjauh dari mereka menyiapkan makan malam karena dia tidak ingin mengganggu sepasang suami istri nomor satu negeri itu.
"Tidak masalah, kita tidur memakai atap langit saja," sahut Hana.
"Tapi akan turun hujan,"
"Eiji," panggil Hana sambil mendorong tubuh pria itu yang semakin merapat padanya.
"Iya sayang," pria itu justru gencar menggodanya karena rasa rindu yang ditahan pria itu dua hari ini.
"Maaf Eiji, tapi aku harus mengatakan ini,"
"Apa?" kepalanya yang sedang berada di ceruk leher sang istri menjauh. Entah Firasatnya ada yang salah disini. "Jangan katakan bahwa kau menyukai anak kemaren sore itu," ucap Eiji.
"Hah?" mata Hana terbelalak sesaat lalu dia tersenyum miring menatap pria disebelahnya yang menunjukkan wajah cemburu. "Kau berpikir terlalu jauh,"
"Lalu apa?"
"Ehem," wanita itu menetralkan degup jantungnya. "Maaf Eiji, tapi lagi-lagi kau harus terpisah dari istrimu,"
"Hah?" giliran Eiji yang ternganga.
"Apa maksud- tunggu-tunggu jangan katakan kau Putri Mahkota,"
Hana hanya mengangguk.
"Astaga bagaimana bisa terjadi?" pria itu mengacak rambutnya frustrasi.
"Aku tidak tau, aku pun tidak lagi menginginkan sesuatu yang seperti ini terjadi, aku bahkan sudah berusaha melupakan kehidupanku disini, jadi mana mungkin ini terjadi karena kehendakku,"
"Lalu apa istriku kembali ke dunianya sekarang?"
"Sepertinya begitu,"
Mereka kembali terdiam cukup lama. Angin sore bertiup dari lembah menerbangkan rambut panjang Hana juga Eiji yang rambut bergoyang lembut.
"Hormat Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Permaisuri makanan kita sudah siap, apa ingin makan sekarang atau ingin memakannya nanti saat makan malam?" tanya Akemi yang menghampiri mereka. Saat itu cahaya sore masih lembut pula menyinari mereka.
"Tak perlu seperti itu Akemi, kita sedang diluar Kekaisaran. Dan aku bukan pria yang gila akan kehormatan," ucap Eiji yang tidak selaras dengan pertanyaan Akemi.
"Nanti saja, aku belum lapar," jawab Hana menimpali pertanyaan pemuda itu.
"Baik,"
Akemi langsung pergi lagi dari sana meninggalkan Hana juga Eiji.
"Badannya bagus, sepertinya dia juga sering berlatih. Dimana kau menemukan pemuda itu? Dia cocok jika anak-anak mulai membutuhkan pengawal," Eiji bersuara sambil menatap Akemi yang sigap merapikan barang-barang bawaan Eiji yang berisi bekal makanan tadi.
"Dia menolong istrimu saat dia diserang perampok,"
"Istriku?"
"Itu sebelum kami bertukar,"
Eiji mengusap wajahnya, "lalu bagaimana kalian bisa bertukar?"
"Ini hanya dugaanku, tapi sepertinya saat kami merasakan sakit kepala bersamaan waktu terkena pukulan atau hantaman,"
"Maksudnya?"
"Ya, aku kemarin sedang berkendara dan mungkin ada lubang dalam dijalanan yang tidak terlihat mataku hingga aku terambung tinggi menghantam atap mobil, sedang istrimu, dia berkuda tanpa hati-hati juga menghantam dahan pohon yang rendah,"
"Astaga,"
-
Hana menyeka keringatnya yang hampir menetes setelah meletakkan sebuah periuk kecil tempatnya memasak sayur diatas alas tikar untuk mereka akan menyantap sarapan.
Eiji datang menghampiri begitu juga dengan Akemi setelah mereka melihat kuda Hana yang semalam meringkik kesakitan.
"Sebaiknya kau bergabung denganku saja Hana, kudamu sedang tidak baik-baik saja. Aku pun khawatir jika dia tidak akan sanggup melakukan perjalanan sampai ke Kekaisaran," ungkap Eiji setelahnya.
"Semoga dia kuat, aku tidak tega jika kita harus meninggalkannya disini," sahut Hana.
"Semoga," ketiganya langsung menyantap makanan sederhana buatan Hana.
"Aku tidak menyangka seorang wanita permaisuri bisa memasak seenak ini," celetuk Akemi entah pemuda itu sadar atau tidak.
Baik Hana maupun Eiji kini mendongak saling pandang.
"Jangan salah Akemi, istriku tidak mungkin menjadi seorang permaisuri tanpa ujian. Dan pintar memasak ini hanyalah ujian level satu baginya,"
"Maafkan hamba atas ucapan lancang ini Yang Mulia,"
"Jangan berpikir jika menjadi seorang permaisuri membuat seorang wanita itu bisa berleha-leha tanpa melakukan apapun,"
"Baik Yang Mulia,"
Suasana berubah hening hingga mereka semua menyelesaikan agenda sarapan mereka. Hana merapikan semuanya dibantu oleh Akemi yang juga mengikat beberapa peralatan mereka.
"Kita kembali sekarang?" tanya Eiji melihat istrinya.
"Iya, aku khawatir kita kemalaman, jadi lebih cepat lebih baik,"
Mereka langsung berangkat setelah siap, Hana bergabung bersama Eiji di kuda pria itu sedang kuda miliknya ditarik oleh Akemi pelan-pelan agar bisa tetap berjalan.
Diperjalanan mereka kadang bercakap-cakap perihal apa saja seperti saat ini mereka membicarakan tentang apa yang akan dilakukan setelah mereka keluar dari hutan.
"Sebaiknya kita singgah dulu di rumah saya Yang Mulia, karena saya khawatir jika kita memaksa meneruskan perjalanan akan ada para perampok itu," timpal Akemi yang mendengar percakapan sepasang suami istri itu.
"Ah, benar juga Yang Mulia," sahut Hana.
"Baiklah tidak masalah, apa kami tidak akan merepotkan dirimu atau keluargamu disana?" tanya Eiji memastikan, dia tidak ingin ada yang merasa dirugikan saat dirinya mampir dengan keadaan berantakan.
"Tidak saya tinggal sendiri," jawab Akemi begitu jujur.
Mata Eiji berkilat menatap wanita didepannya.
"Ingat Eiji aku bukan istrimu, tapi itu benar yang menginap di rumah Akemi masihlah istrimu bukan aku," bisik Hana agar tidak didengar Akemi.
"Aku tidak peduli itu, yang kutahu tubuh ini adalah tubuh istri sah milikku," Eiji pun ikut berbisik.
"Eeeh...," Hana terkejut saat Eiji menarik tubuhnya merapat hingga punggungnya menabrak dada pria itu.
"Maaf Yang Mulia, tapi saya murni menawarkan pada Permaisuri untuk tempat tinggal karena takut beliau diserang lagi oleh perampok itu, bukan ingin berbuat macam-macam," Akemi berusaha meluruskan permasalahan itu. Karena dia salah paham saat melihat dua orang itu yang berbisik-bisik dia mengira jika keduanya bertengkar karena Hana yang menginap di rumahnya tanpa izin, walau itu tidak sepenuhnya salah.
"Hentikan Akemi! Dia bisa membunuhku jika kau terus berbicara," kata Hana sedikit berteriak.
Akemi terkejut. Tapi lebih terkejut lagi Eiji yang berada didekatnya. Bahkan keduanya menghentikan langkah kuda mereka pula.
"Apa yang kau katakan?" tanya Eiji.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di rumah Akemi sore hari menjelang malam.
"Ini rumah milikmu?" tanya Eiji pada pemuda itu.
"Iya Yang Mulia, maaf jika rumah ini berdebu karena saya hanya sendirian tinggal disini dan lebih sering pergi berburu daripada berdiam diri di rumah," katanya.
"Tidak masalah," jawab Eiji pula.
Hana yang sudah dari tadi lebih dulu masuk kini kembali keluar dengan tangan membawa peti kayu kecil.
"Sepertinya luka itu bernanah, pasalnya perban yang kau balutkan pada kaki Uma menggembung,"
"Iya," sahut wanita itu singkat.
Dia mengambil sedikit bunga petunia yang diambilkannya untuk Harumi berharap kaki kudanya bisa sembuh.
"Bertahanlah Uma, kita akan segera tiba di Kekaisaran,"
...TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments