Bab 17 Kabar Baru

"Astaga! Susah sekali menghadapi sifat keras kepalamu," kata Eiji, dia tahu betul jika wanita itu sudah mengatakan tidak maka akan sulit mengubahnya.

Eiji menatap Harumi, gadis itu mengangguk. Semburan api yang lebih besar kini dia keluarkan dengan menguras staminanya lebih banyak, dan Harumi mengeluarkan teknik anginnya yang sangat hebat membuat api milik Eiji bertambah besar.

"Hentikan itu!" seru Hana. Kekaisaran bisa habis total tak bersisa jika api itu sangat besar. Ini bahkan lebih besar dari api yang membakar istana waktu itu.

"Tidak bisa, kau keras kepala maka aku jangan salahkan aku jika aku juga bersikeras," Eiji balas berseru. Serangan itu terhenti sejenak membuat mereka mendapat waktu walau sedikit, Tangannya langsung meraih lengan dua wanita berbeda status itu dan masuk kedalam kereta kuda yang paling dekat dengannya.

"Akemi dimana? Uma juga bisa mati jika kita tinggal, kita bawa Uma juga," tanya Hana. Dia sempat tersentak saat Eiji menariknya.

"Tidak ada waktu lagi Hana, Akemi tidak terlihat, Uma juga sedang sakit itu justru menyulitkan kita yang harus bergerak cepat," katanya sambil terus berlari.

Eiji memasukkan istrinya diikuti Harumi kedalam kereta dan memasang palang kunci agar wanita itu tidak nekat mencari Akemi dan menjemput kuda kesayangannya yang bahkan mungkin saja sudah mati sebelum api besar itu dibuatnya.

"Maaf kak, tapi tadi kulihat perut Uma sudah tertebas dan kurasa tidak lebih dari lima menit dia bertahan, lalu Akemi pengawal barumu itu aku tidak melihatnya dimana pun,"

Wanita itu akhirnya menghela napas. Entah kenapa dia begitu emosional dengan barang-barang yang begitu disayangi Hana yang sebelumnya. Padahal dirinya tidak memiliki kenangan apapun dengan Akemi dan Uma, kecuali pergi mengambil bunga Petunia untuk Harumi waktu itu.

"Aku pasrah Harumi," ucapnya lalu bersandar.

Eiji melajukan kereta kudanya dengan begitu cepat, entah memang suatu keberuntungan atau apa, kuda itu adalah salah satu kuda terbaik yang memang cukup sering dia gunakan untuk berpergian.

"Bagaimana dengan Ibu Suri?" tanya Hana setelah dia akhirnya teringat dengan sosok wanita tua itu.

"Kau tidak mendengarnya? Penyerangan ini dialah dalang," kata Harumi sambil mengelap pedangnya yang terdapat noda darah.

"Hah? Bagaimana bisa?" tanya Hana dengan raut wajah bingung.

"Aku juga tidak tau, tapi aku dan Eiji mendengar kalimat, 'Demi Kehormatan Yang Mulia Ratu Azusa',"

"Hah?! Ratu?" matanya terbelalak mendengar itu semua.

Harumi hanya mengangkat bahu. Hana menoleh lagi ke belakang dan melihat kobaran itu semakin besar.

-

Beberapa hari kemudian....

"Ini desa terakhirkan sebelum kita sampai di gerbang Kekaisaran?" tanya Eiko. Dia cukup jarang berkunjung dan lupa-lupa ingat dengan urutan desa.

"Iya," jawab Eito singkat. Lalu menyuap kari ayam kedalam mulutnya.

"Bagaimana dengan api buatan Kaisar? Apa sudah padam?"

"Sudah. Hujan dua hari dua malam itu sangat membantu, entah ada yang selamat atau tidak disana," tiba-tiba indra pendengaran keduanya terbuka saat ada yang membicarakan kabar Eiji sang adik.

"Lalu bagaimana dengan nasib kita? Rumor juga mengatakan jika ini adalah kudeta yang dilakukan permaisuri terdahulu," tanya yang lain pula.

"Entah," lawan bicara itu mengangkat bahu.

Kedua saudara kembar dewasa itu saling tatap dan berakhir dengan anggukan kepala Eiko.

Eito bangkit setelah menghabiskan kari didalam piringnya dan berjalan menuju dua pria yang bercakap-cakap santai itu.

"Selamat siang Tuan-Tuan, maaf jika aku mengganggu boleh aku ikut duduk disini?" dia berbasa-basi mencoba membuka obrolan.

Sementara di meja Eiko dua keponakannya menatap bingung pada sang Paman yang meninggalkan mereka tanpa kata.

"Apa yang dilakukan Paman, Bi?" tanya Kenzi. Entah kenapa kali ini Kenzo memilih diam.

Eiko hanya menggeleng dia tidak ingin membuat keduanya khawatir. Matanya kembali menatap Eito yang masih duduk di kursi lain itu dengan gelisah.

Lima belas menit menunggu akhirnya terlihat pria itu bangkit dengan raut wajah tersenyum dan berterima kasih pada dua pria yang ada disana.

Namun ketika matanya bertemu dengan Eiko senyum itu hilang, hanya ekspresi datar yang ditampilkan membuat perasaan Eiko semakin tidak karuan.

"Bagaimana?" tanya Eiko.

"Ada yang melihat jika ada sebuah kereta kuda yang melaju cepat meninggalkan kobaran api, aku curiga itu Eiji dan istrinya," jawab Eito.

"Lalu dimana mereka? Kita tinggal satu desa lagi, tapi mereka justru tidak ada ditempat yang kita tuju," tanya Eiko lagi walau sebenarnya dia sudah tahu jawabannya.

Eito hanya menggeleng. Mereka buntu.

-

Malam harinya mereka tetap berada di desa itu setelah menyewa satu kamar penginapan. Sejak tadi Kenzi dan Kenzo sibuk bertanya mengapa mereka tidak meneruskan perjalanan namun Eito maupun Eiko bingung hendak menjawab apa hingga akhirnya kedua anak kecil itu lelah sendiri dan berakhir tertidur di pangkuan sang Bibi. Eito mengangkat mereka memindahkannya ke kasur lipat agar Eiko nyaman bergerak dan tidak merasakan kram.

"Besok kita akan melanjutkan perjalanan menuju desa jauh, kita tidak bisa meneruskan perjalanan mengunjungi Eiji sementara dirinya sendiri juga entah dimana sekarang, kuharap jika dirinya memang pergi ke Kekaisaran Matahari perlakuan Benjiro padanya sama seperti dengan kita agar dirinya sadar jika kita tidak pernah kembali kesana, Kekaisaran kita benar-benar hancur," kata Eito setelah dirinya duduk disamping sang kembaran sambil membakar cerutunya. Cukup jarang pria itu menghisap cerutu, dia hanya melakukan itu saat pikirannya benar-benar kalut seperti sekarang ini.

"Aku setuju, kita tidak terus menerus tinggal di penginapan seperti ini, kita harus mencari tempat tinggal tetap," timpal Eiko lalu meneguk isi cangkir yang ada disampingnya.

"Entah itu dirinya atau bukan tapi aku sangat berharap jika kereta yang keluar dari kobaran api itu adalah mereka," ungkap Eito dengan penuh harap.

"Semoga," Eiko mengharapkan hal yang sama.

Sementara itu disisi lain yang dibicarakan kini tampak tengah bergelut manja dengan sang istri. Lenguhan dan desahan pelan terdengar samar memenuhi gendang telinga masing-masing.

"Aku tidak sabar untuk mendapatkan penerus Eiji, kita harus berusaha keras agar segera memilikinya," kata sang pria setelah selesai dengan ritual mereka.

Sementara wanitanya hanya tersenyum lelah.

-

Seorang pemuda lusuh tampak penuh dengan peluh keringat yang sangat membasahi bajunya, dan juga seekor kuda tua yang sejak tadi menjulurkan lidahnya seperti kehausan.

"Tolong kami," katanya lirih.

Sementara orang-orang disekitarnya tampak tidak menyadari kehadiran mereka dan masih sibuk mengurus pekerjaan mereka masing-masing.

"Paman-Bibi, liat orang itu seperti kelelahan, kudanya juga seperti sangat haus,"

"Ayo beri mereka minum," kata sang Bibi. Wanita itu memberika sebotol bambu air pada keponakannya yang lanjut diberikan pada pemuda tadi.

"Terima kasih,"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!