Bab 12 Tangisan Pilu

Wanita itu bangkit berdiri mendekat kearah Eiji yang sudah berdiam disebelah makam selanjutnya. Hana akhirnya tersadar bahwa sebelumnya tidaklah ada makam lagi disebelah makam sang Ibu.

"Eiji jangan bilang-" ucapannya terputus saat melihat kepala Eiji menggeleng. Langkahnya tergesa mendekati sang pria walau sebenarnya jarak mereka tidak jauh.

AKIRA

Hanya membaca nama itu membuat dadanya berdenyut sakit.

"Apa yang terjadi dengan Ayahku Eiji?" tanyanya dengan air mata yang mengalir semakin deras.

Yang ditanya hanya diam, bingung hendak mengatakan apa.

Kakinya terasa tidak berdaya hingga dia terjatuh dan bertekuk lutut didepan makam sang Ayah. Tangannya terulur meraih pusara sang Ayah lalu memeluknya erat.

"Maafkan aku Yah, aku terlambat. Aku tidak sempat menghadiri pemakaman Ayah, hanya jasadku yang ada disini tapi tidak dengan jati diriku sendiri, maafkan aku," air matanya masih terus jatuh berderai, sementara Eiji yang berdiri dibelakangnya pun tidak kuat dia berpaling membelakangi Hana dengan pundak yang bergetar. Pilu. Itu perasaan sama yang mereka rasakan. Tidak ada suara lagi yang terdengar selain suara tangisan pelan Hana yang memecah kesunyian didalam bangunan makam yang sepi itu.

Lama Eiji menunggu hingga akhirnya tidak lagi dia mendengar isakan itu, dia kini membalikkan diri kembali menghadap kearah Hana dan yang terlihat hanya wanita itu yang masih memeluk pusara Ayahnya. Tangannya terulur mengusap pundak Hana namun seperti sebuah tombol yang ditekan tubuh itu seketika luruh ke lantai dan terjatuh.

"Hana!" pekiknya tidak menyangka tubuh itu akan kehilangan posisinya.

Dia bergegas berjongkok dan menyentuh pipi wanita itu. Menepuknya pelan mencoba membangunkan. Diperbaikinya posisi tubuh yang terjatuh dengan tidak baik itu.

"Hana," panggilnya pelan

"Hana,"

"Hana,"

Mata itu akhirnya terbuka dan menampilkan bola mata yang indah juga berkaca-kaca.

"Ini mimpikan?" dia bertanya memastikan.

"Maafkan aku,"

Hana langsung bangkit dari berbaringnya dan memeluk Eiji begitu erat, kepalanya kini tenggelam di dada bidang pria itu mencoba mencari ketenangan, kembali air matanya tumpah membasahi pakaian Eiji bahkan lembabnya tembus ke kulit.

"Maafkan aku Hana, maafkan aku," berulang kali pria itu berucap meminta maaf. "Tetaplah waras, Hana. Tolong tetap waras dan menjadi Hana yang kukenal," tangan kanannya mengusap puncak kepala wanitanya sementara tangan kirinya mengusap punggung.

Mereka keluar dari area bangunan makan dan kembali menaiki kuda. Tidak ada suara yang dikeluarkan Hana sampai mereka kembali ke perkemahan.

Keduanya masuk kedalam tenda yang saat ini ada Harumi juga Tabib Suzu. Wanita tua itu segera menyelesaikan pekerjaannya saat melihat raut wajah Hana yang tidak dalam keadaan baik. Dia cukup tahu diri untuk segera pergi dari sana.

"Kak Hana kenapa?" tanya Harumi bingung. Karena saat sarapan tadi wanita itu masih ceria bercanda bersamanya.

Eiji menggeleng membiarkan Hana beristirahat terlebih dahulu menenangkan batinnya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Eiji.

"Sudah membaik, aku justru bingung bagaimana keadaan Shizuka? Waktu itu dia pergi bersama dayang Jonka untuk mengantar makanan ke Paviliun tamu yang di tinggali Pangeran Eito, namun belum sempat mereka kembali kebakaran itu terjadi dan aku ditolong oleh Tabib Suzu yang memanggil beberapa prajurit untuk membawaku kedalam keretanya,"

Hana yang sebelumnya bersedih juga baru tersadar jika Dayang setianya itu tidak ada.

"Aku tidak yakin, tapi kurasa banyak Dayang yang meninggal dan bisa jadi salah satu diantara mereka ada Dayang Jonka ataupun Shizuka," kata Eiji.

Hana kembali bersedih mendengar itu.

-

"Kita akan kemana Paman?"

"Pergi ke Kekaisaran Matahari,"

"Tapi ini bukan jalannya,"

"Kita merintis jalan baru,"

"Maksudnya membuat jalan sendiri?"

"Iya,"

Hening kembali merajai diantara percakapan ketiganya barusan, Eito melemparkan sebuah kayu pendek kedalam api agar api bisa terus menyala. Beruntung dia masuk kedalam gua ini, banyak kayu kering berhamburan didalamnya sedangkan diluar hujan begitu deras membuat hawa dingin begitu menusuk tulang.

"Tapi kenapa? Bukannya lebih nyaman jika kita melalui jalan yang sudah jadi saja,"

"Kita tidak memiliki kuda lagi, Kenzo," dia kini teringat dengan kudanya yang ditembak panah beracun mengenai bagian dada samping kuda itu. Eito akui jika pemanah dari Kekaisaran Bulan memang tiada duanya, namun kini sulit mereka karena sebagian dari prajurit itu telah berkhianat.

"Apa hubungannya Paman, kita tetap bisa berjalan disana tanpa berkuda,"

Hembusan napas kesal akhirnya keluar dari hidungnya.

Kenzo yang hampir bersuara lagi kini ditahan sang kakak dengan menepuk pundaknya. Dia terdiam saat melihat kembarannya itu menggeleng dan memberi isyarat jika sang Paman tengah pening.

"Lebih baik kalian segera beristirahat, Paman ingin menyiapkan makan malam setelah ini," kata pria itu lalu bangkit mengambil dua ekor ikan besar yang sempat ditangkapnya di sungai besar tidak jauh dari gua itu. Tangannya bekerja membersihkan isi perut ikan dengan alat seadanya lalu menusuk ikan itu dari kepala hingga ekornya agar memudahkannya untuk membakar.

Matanya melirik pada dua keponakannya yang terbaring berbantalkan jubah miliknya yang dilipat-lipat juga beralaskan daun lebar yang masih segar.

Kembali dia memandang pada ikan yang dibakarnya pikirannya menerawang pada kejadian beberapa hari yang lalu.

"Hormat Pangeran Eito, muncul api besar dari dapur Paviliun Utama," lapor seorang kasim padanya.

"Api besar? Segera padamkan," katanya namun entah kenapa firasatnya berkata jika itu tidak akan bisa dipadamkan.

Dia berlari pergi ke Paviliun milik Putri Harumi dan segera masuk kedalamnya.

Mengabaikan pemberitahuan yang diucapkan kasim penjaga dia segera masuk kesana, didalam sana ada si kembar yang sedang menemani Bibi mereka.

"Di Paviliun Utama ada kebakaran, aku merasa ada yang tidak beres. Aku telah menerima tanggung jawab dari adikku, kumohon jangan persulit aku, ikutlah denganku bersama dua Putra Mahkota,"

Harumi yang masih terkejut dengan kehadiran pria itu semakin membelalakkan matanya mendengar perkataan pria itu.

"Aku tidak bisa Pangeran, lukaku masih cukup sakit dan membuatku sulit bergerak, aku hanya akan menyusahkanmu. Tapi kupinta tetap bawa dua keponakanku,"

Eito yang melihat keadaan gadis itu pun seketika mengangguk. Mereka tidak boleh lambat mengambil keputusan atau api itu akan semakin membesar dan justru mengurung mereka didalam Kekaisaran.

"Ayo ikut Paman," katanya lalu merangkul dua bocah itu dan menggendongnya.

Diluar api terlihat semakin besar, bahkan sudah merabat ke bagian depan Istana Utama.

Dia berlari menuju kandang kuda tanpa menghiraukan orang lain, dilepasnya tali kekang dengan segera lalu menaikkan kedua keponakannya dan terakhir dia yang naik dan mulai meninggalkan Kekaisaran.

Didepan gerbang Istana ada dua orang yang berdiri disana dengan seekor kuda.

"Pangeran, aku ikut denganmu, aku tidak bisa membiarkan Putra Mahkota hanya pergi denganmu,"

Eito mengangguk namun dia tahu apa yang harus dilakukannya.

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!