Hari ini langit kembali mendung, cuaca beberapa hari terakhir begitu ekstrim membuat beberapa orang rentan sakit salah satunya Harumi.
Sang kakak sedang mengaduk bubur hangat yang dibawakan dayang hendak menyuapi adiknya yang enggan makan sejak makan malam kemarin.
"Aku tidak lapar kak," ucapnya sambil mendorong pelan sendok yang disodorkan padanya.
"Tapi kau harus makan, kau baru saja sembuh dari kecelakaanmu dan kini kau demam karena cuaca jangan buat tubuhmu terus-terusan terbaring diatas kasur itu,"
"Iya, tapi sekarang aku belum lapar,"
"Tidak mungkin kau tidak makan sejak semalam,"
Harumi tidak menjawab, bibirnya terbuka sedikit menerima suapan bubur dari Hana. Tiga sendok masuk Harumi sudah menolak lagi dan kali ini bujukan seperti apapun tidak membuatnya menerima sendok yang mengambang didepan wajahnya itu. Hana menyerah dan meletakkan mangkuk bubur itu pada nampan lalu memanggil dayang untuk merapikannya.
Dia keluar setelahnya dan duduk di bangku santai yang ada diluar tenda perkemahan.
Eiji datang menghampiri dan ikut duduk di bangku sebelahnya yang kosong.
"Ibumu sudah bisa diajak bicara, mau menanyakan apa yang terjadi padanya bersamaku?" kata pria itu
Hana menghela napas berat sebelum memberi jawaban.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Kalau begitu aku akan pergi sendiri untuk urusan itu,"
"Pergilah,"
Eiji mengangguk lalu bangkit dari duduknya meninggalkan Hana seorang diri disana.
Di sebuah tenda yang dijaga ketat, didalamnya seorang wanita tua sedang terbaring. Eiji masuk kedalam tenda itu dan duduk di kursi tidak jauh dari wanita tua tadi.
"Bagaimana kabar Ibu?" tanyanya berbasa-basi.
"Ibu bosan,"
Eiji tersenyum, "apa yang terjadi Bu?"
"Ibu tau kamu kesini tidak mungkin hanya datang untuk menanyakan keadaan Ibu. Ibu akan ceritakan semuanya,"
Lalu mengalirlah cerita Azusa tentang dirinya yang awalnya hendak pergi bersama Eito yang membawa cucunya namun tiba-tiba sekelompok perampok menghadang mereka dan hanya Eito yang berhasil berkelit lalu meninggalkan mereka.
Eiji mengangguk lalu mengucapkan terimakasih dan memintanya untuk kembali beristirahat.
-
"Ini serius kita kembali ke Istana Bulan?" tanya Kenzo sambil membantu kedua Paman dan Bibinya mengangkut barang mereka yang tidak seberapa keatas kereta kuda yang dibeli Eiko tadi pagi.
"Iya," sahut Eito singkat.
"Atau sebaiknya kita istirahat lagi Paman? Setidaknya satu atau dua malam?" tanya bocah itu lagi.
Eito tidak menyahut karena baginya lebih cepat lebih baik. Sementara Kenzo yang tidak mendapat jawaban menoleh pada Bibinya yang saat ini sedang mengikat kain berisi bekal makanan.
"Lebih baik kita segera pergi Kenzo, disini mulai tidak aman," wanita itu menimpali sambil tangannya menyerahkan buntalan kain itu padanya.
"Tapi-"
"Kenzo," ucap sang Kakak membuat keluhannya kini terpotong.
Akhirnya dia diam dan tidak lagi melanjutkan perkataannya. Setelah semua barang mereka rapi dibagian belakang kereta itu ketiga keponakan dan Bibi masuk dan berdiam dibagian dalam, sedang Eito kini menjadi kusir kereta.
"Jika kau masih lelah beristirahatlah disana," kata Eiko padanya Kenzo dengan wajah datarnya.
Namun entah kenapa bocah itu justru merasa tidak nyaman.
"Maaf Bi, jika aku keterlaluan," ucapnya lirih hingga tidak didengar siapapun lalu duduk di bangku yang ditunjuk Eiko. Sementara Kenzi duduk disebelah sang Bibi sambil terkadang menjawab pertanyaan yang dilontarkan wanita itu.
Hening didalam kereta dua anak kembar itu sudah jatuh tertidur sementara Eiko pindah duduk dengan kembarannya di bangku kusir didepan setelah tadi berhenti sebentar karena Eito ingin menumpang buang air kecil disebuah gubuk petani desa.
Kedua orang dewasa itu saling diam dengan pikiran berat yang memenuhi kepala masing-masing. Hingga akhirnya tidak terasa kereta kuda mulai memasuki sebuah desa yang lebih ramai dibanding desa sebelumnya.
"Apa yang baiknya kita lakukan menurutmu?" tanya Eito. Dia sudah memperlambat laju dua kuda yang membawa kereta mereka.
Eiko belum menjawab. Dia memperhatikan langit yang sudah senja itu.
"Sepertinya malam ini akan hujan, ada baiknya kita bermalam di desa ini saja,"
"Baiklah kita cari penginapan,"
"Jangan! Keuangan kita sudah menipis setelah kita membeli kereta ini tadi pagi,"
"Aku punya cara," kata pria itu sambil tersenyum.
Eiko yang melihat itu memutar bola matanya malas entah apa rencana sang kembaran dia tidak peduli.
Mereka akhirnya tiba disebuah penginapan didekat perbatasan ujung desa. Keduanya langsung turun Eito masuk menuju penginapan ke meja pelayanan sementara Eiko masuk ke kereta kuda membangunkan dua keponakannya yang tertidur. Dua bocah itu mudah dibangunkan karena mereka sudah sempat terbangun tadinya.
Eito menghampiri mereka. "Kita sudah mendapat kamar dengan fasilitas lengkap, kalian ingin mandi air hangat?"
Eiko cemberut.
"Kenapa?" tanya Eito yang melihat raut wajah kembarannya.
"Aku sendirian,"
"Mau bagaimana lagi, atau kau mau kita mandi di pemandian campuran,"
"Tentu saja tidak,"
"Ya sudah, jangan mengeluh,"
Waktu bergerak cepat tidak terasa hingga mereka masuk kedalam kamar dan beristirahat.
-
Hembusan asap dari lilin beraroma melati itu terhirup begitu nyaman kedalam penciumannya.
Begitu juga dengan pijatan lembut yang didapatkannya dari beberapa dayang dibeberapa titik tubunya membuatnya terasa lebih santai.
"Lindungi Permaisuri!" namun seruan itu segera membuatnya tersentak dan siaga. Tanpa banyak drama dia langsung meminta para dayang merapikan keadaannya sesegera mungkin dan mengambil pedang yang terletak dibawah tempat tidurnya tadi.
Disibakkannya kain pintu tenda dan dia terkejut saat melihat barak perkemahan mereka telah berubah menjadi lautan api, banyak mayat dari para prajurit dan dayang yang berserakan, tidak jauh darinya juga berdiri sang suami dan adiknya yang masih dalam keadaan lemah itu bertarung bersama.
Teriakan para dayang yang berdiri dibelakannya membuatnya tersadar, seorang penyerang melayangkan pedang padanya yang dengan sigap segera dia tangkis.
Traaaang....
Hana menangkis serangan yang tidak terlalu kuat itu lalu menusukkan pedangnya pada perut sang penyerang membuat darah segar menyembur membasahi alas kanopi tendanya.
"Kenapa kau keluar!" teriak Eiji. Tak henti-henti dia mengirim serangan-serangan mematikan pada lawan, namun pasukan yang menyerangnya itu begitu banyak bak air bah yang mengalir tanpa henti.
"Aku akan ikut bertarung,"
"Jangan main-main Hana!" teriaknya lagi. Lalu semburan api keluar dari telapak tangannya membuat tanah merekah lebar akibat serangannya dan para penyerang itu berubah menjadi abu. Tapi itu tidak lama, penyerang lain datang silih berganti menyerang mereka.
"Cepat pergi dari sini, kak. Kau tidak akan bertahan lama jika terus disini," kata Harumi menyetujui perkataan Eiji.
"Tapi kau sendiri masih sakit,"
"Pergi Hana, kami akan menghadang mereka, pergi ke Kekaisaran Matahari, disana ada anak-anak kita juga saudaraku yang akan melindungimu. Pergi!" teriak Eiji lagi.
"Tidak!"
...TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments