Bab 13 Melanjutkan Perjalanan

Malam semakin larut, hawa dingin terasa menusuk kulit. Eito mengambil sebatang kayu lalu melilitkannya daun segar dan digantinya bantal keponakannya itu, lalu menghamparkan jubahnya sebagai selimut keduanya. Sementara dirinya sendiri kita hanya mengenakan kemeja tebal sebagai penghalau rasa dingin.

"Besok kita melanjutkan perjalanan," gumamnya lalu mengusap kepala dua bocah itu dengan lembut. Lalu ikut berbaring disebelah mereka walau tidur dengan tidak benar.

"Ayah! Ibu!"

Eito terkejut bangun saat mendengar suara itu. Dia melirik dua keponakannya dan ternyata Kenzo mengigau dengan memanggil orang tuanya.

Ditepuknya pelan pipinya dan akhirnya Kenzo terbangun. Sebatang bambu berisi air dia berikan agar sang keponakan bisa segera tenang.

"Apa yang terjadi?" dia bertanya saat Kenzo mengembalikan bambu itu.

"Aku melihat Ayah dan Ibu dikubur seperti mendiang Kakek," katanya.

"Itu hanya mimpi, tidurlah lagi,"

Pagi menjelang, dia merebus air yang diambil dari sungai dengan wadah dari bambu lalu mendekatkan sisa ikan mereka semalam yang masih ada agar kembali hangat. Beberapa buah beri yang ditemukannya disepanjang menyusuri hutan menuju sungai juga diambil sebagai bekal perjalanan mereka.

Kenzi sigap membantu sang paman merapikan tempat tidurnya dan membuang sampah ke perapian untuk menghilangkan jejak. Kenzo sendiri masih duduk disana dengan mata yang berkedip-kedip menghilangkan rasa kantuk yang belum hilang akibat dia yang terbangun tengah malam tadi.

"Kenzo ayo kita mandi biar segar, kita lanjut setelah sarapan," ajak sang Paman.

"Iya Paman, hoaaam," sahutnya diiringi dengan menguap.

"Kenzi sudah selesai?"

"Sedikit lagi Paman,"

"Ratakan saja kayunya agar apinya tidak meninggi saat kita tinggalkan," ucapnya lagi.

Mereka tidak boleh lalai, pasukan yang mengejarnya itu pasti akan segera menemukan mereka jika pergerakan mereka lambat.

Ketiganya segera pergi ke sungai untuk membersihkan diri.

Eito bergerak cepat dan ketika dirinya selesai dia langsung membantu dua keponakannya itu agar bisa segera.

Tak lama kemudian mereka selesai dan segera kembali ke gua untuk lanjut sarapan.

Mereka segera merapikan keadaan gua, berusaha mengembalikannya seperti semula.

-

Hatinya masih hancur saat mengingat jika dia terlambat kembali dan berakhir mendapati Ayahnya yang telah tiada.

Langit cerah siang ini tidak membuat wajah murungnya berubah cerah, Eiji datang dengan membawa semangkuk bubur kacang hijau di tangannya.

"Kau belum makan siang," katanya.

"Aku tidak nafsu makan,"

"Jangan sedih berlarut-larut Hana, kita membutuhkanmu,"

"Kau belum menjawab pertanyaan, apa penyebab kematian Ayahku Eiji?"

Eiji terdiam, lidahnya terasa kelu hendak berucap.

"Eiji!" seru wanita itu. Rasa sedih bercampur kesal.

"Maaf Hana, aku tidak bisa mengatakan itu,"

"Kenapa? Apa Ayahku dibunuh?"

Eiji menggeleng, "aku tidak bisa mengatakannya Hana, tolong jangan paksa aku," kata pria itu. Dia meletakkan pelan mangkuk kacang hijau itu diatas meja samping Hana lalu beranjak pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun.

Hana menatap nanar pada pria itu. Dia bahkan kini berpikir buruk pada Eiji.

"Apa kau yang membunuh Ayahku? Aku tidak terima jika hal itu benar terjadi,"

-

"Paman, kenapa Paman meninggalkan Nenek waktu itu, bukankah Nenek ingin menjaga kami?" tanya Kenzo. Anak itu selalu banyak bertanya yang kadang membuat orang disekitarnya bingung harus menjawab apa.

Eito menatap kedua keponakannya yang berjalan dibelakangnya. Ingin mendahulukan kedua anak itu tapi dia harus membuat jalan baru.

"Paman tidak meninggalkan namun kita terpisah," sahutnya.

"Tapi'kan kita sebenarnya bisa balik lagi waktu itu, dan mungkin kita akan lebih cepat sampai ke Kekaisaran Matahari,"

Eito diam menghela napas panjang, bukan bingung tapi lelah harus menjawab pertanyaannya yang berulang kali ditanyakan walau sudah dijawab dengan benar.

"Sudahlah Kenzo, Paman pusing mendengar suaramu yang cempreng itu," cibir Kenzi, dia pun cukup bosan mendengar suara adiknya.

"Kakak!" kini Kenzo justru merengek sebal karena ucapan kakaknya. Ia meninju pelan bahu Kenzi.

Sedikit senyum kini muncul di bibir pria yang tidak lagi muda itu. Ada rasa bahagia melihat dua anak itu tampak tetap aktif dan ceria walau sebenarkan keadaan mereka kini cukup menderita.

"Eeeh," suara Kenzi yang terkejut karena pukulan pelan adiknya itu. Kakinya jadi tidak seimbang dan nyaris terjatuh jika tangannya tidak cepat menangkap jubah sang Paman.

"Maaf Paman," katanya.

Eito menggeleng lalu mengulurkan tangannya membantu Kenzi berdiri tegak.

Sambil tangan menebas rumput liar setinggi pinggang pikirannya berkelana pada kejadian didepan gerbang Kekaisaran Bulan.

Dia memacu kudanya begitu cepat hingga sulit bagi kuda yang mengikutinya dari belakang itu mengiringinya. Saat dia sudah sampai diluar gerbang segera dia belok kearah kanan arah tercepat menuju Kekaisaran Matahari.

Dan seperti perkiraannya kuda itu pun berbelok kearah yang sama segera dia menepi dan masuk menuju semak berlindung disana sebelum penunggang kuda dibelakang menyadari keberadaannya.

Dia terus berjalan diatas semak semak rendah berusaha untuk tidak ketahuan sementara dua keponakannya dia sembunyikan dulu dibalik jubahnya.

"Kenapa tidak terus Paman?" tanya Kenzo.

Eito diam saja tidak menjawab membuat sang keponakan bertanya lagi.

"Diam saja, Paman sedang pusing," kata Kenzi yang membuat sang adik akhirnya diam.

Eito akhirnya meneruskan langkah dengan lebih cepat setelah yakin jika Azusa dan dayangnya tidak menyadari keberadaannya.

Terus menyusuri semak-semak itu berusaha mencari jalan yang dia tahu agar bisa segera menuju ke Kekaisaran Matahari. Namun naas belum berapa jam mereka berjalan sekelompok orang bertopeng menyerang mereka dan berhasil menembakkan panah mengenai perut kudanya yang seketika langsung mati.

"Peluk Paman yang erat dan jangan sampai terlepas atau kalian hanya akan tinggal nama," katanya mengeluarkan pedangnya yang bersarung.

"Tidak, aku tidak bisa melawan mereka, akan sulit bagiku karena Kenzi dan kenzo ada dibalik jubahku," batinnya.

Akhirnya dia hanya menghindar dan sesekali menangkis serangan itu sambil terus mencari celah untuk kabur dan berhasil.

Dan disinilah mereka.

"Jika pakai kuda, seharusnya sore ini kita sudah sampai,"

"Iya,"

"Paman, kenapa tidak mencari perkampungan terdekat dan membeli kuda disana,"

"Paman tida membawa uang yang cukup, atau kalian mau dijadikan alat tukar,"

"Kenzo saja Paman, aku bosan mendengar suaranya,"

"Kak Kenzi saja, dia terlalu tenang untuk aku yang heboh,"

"Iya saking hebohnya kau membuat keributan di kamar Ibu dengan meletakkan kecoa di lemari bukunya,"

Sreek... Sreek... Sreekkk....

"Diamlah," kata Eito yang membuat Kenzo menjulurkan lidahnya senang. Untuk pertama kalinya Kenzi yang disuruh diam.

"Awas ular!" seru Eito yang akhirnya melihat seekor ular sebesar batang bambu melintas di jalan rintisan yang baru saja mereka lalui.

"Paman aku takut,"

"Aku juga,"

"Tenanglah, dia tidak berniat mengganggu, dia hanya lewat,"

"Paman, tapi Paman bisa mengalahkannya kan jika dia menyerang,"

"Tidak,"

"Paman!"

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!