Alur Nasib Tita Maharani

Keadaanku belum sepenuhnya pulih, namun pasien di bangsal 03 tidak mungkin kutinggalkan lebih lama lagi. Sudah seminggu lamanya aku terbaring di ranjang rumah sakit, hari ini aku meminta paksa untuk pulang dengan alasan profesionalitas kerja sebagai tenaga medis. Selama berada di ruang VVIP perawatan lanjutan, polisi dan wartawan media beberapa kali mendatangiku untuk kepentingan data maupun penyelidikan adanya kasus sabotase klinik oleh orang yang mengeroyokku. Kak Arif menjadi lebih sibuk dari biasanya karena harus menjadi mediator antara aku dan kedatangan mereka, suamiku juga berperan sangat penting terhadap penyusunan kalimat yang akan keluar dari mulutku untuk menjawab berbagai pertanyaan mereka itu.

Aku mendengar kabar pemecatan secara tidak hormat terhadap pak Rahman. Dia dikenakan sanksi hukum kode etik kedokteran dan tuntutan terhadap kerugian materil maupun moril oleh pak Husein karena telah menyalahgunakan wewenang di tempat kerja. Belum cukup sampai di situ, para perawat yang menjadi sandera pun menggugat pak Rahman dengan pasal 336 berikut meminta pertanggung jawaban ganti rugi rehabilitasi traumatik dikarenakan tindakan ancaman yang telah dilakukan olehnya. Disusul kemudian istri pak Rahman yang melayangkan gugatan cerai terhadapnya dan mengambil alih hak asuh kedua anak dari pernikahan mereka. Kompleks sekali derita yang harus diemban oleh pak Rahman karena pengkhianatan dan keserakahannya. Hukuman maupun karma bertubi-tubi itu sebenarnya jelas tidak sebanding dengan nyawaku dan Tita yang hampir saja direnggut olehnya di bangsal 07 kemarin. Manusia jahat sepertinya tidak pantas masih disebut sebagai manusia, sedangkan seekor hewan pun tidak akan berani mencelakai sesama jenisnya. Lantas apa sebutan paling sepadan untuk seorang pengkhianat yang hendak membunuh rekan kerjanya sendiri demi segepok uang?

Aku berjalan lebih pelan dari biasanya. Dokter yang melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawaku akibat luka tembak yang fatal itu menyuruhku agar menjaga keseimbangan bernafas untuk sementara waktu karena terdapat jahitan dalam di bagian saluran bronkus paru-paru kananku. Kedatanganku di bangsal 03 disambut hangat oleh para perawat yang hampir setahun ini bekerja bersamaku dalam sebuah tim. Mereka menyalami tangan, memeluk, hingga ada beberapa yang menangis terharu. Suster Nervi tersenyum simpul, dia adalah perawat terakhir yang memelukku lalu tangisnya pecah. Aku menenangkannya dan menegaskan bahwa keadaanku baik-baik saja. Tidak lupa aku pun memberikan ucapan terima kasih kepada mereka semua yang telah mendoakan kesembuhanku. Bekerja dengan ketulusan bukan hanya menghasilkan pendapatan yang berkah, namun juga membentuk hati yang lapang dan pribadi yang disenangi banyak orang.

"Bagaimana kabarmu, de?" Tanyaku pada Tita. Dia kini terlihat lebih stabil dan ceria. Wajahnya berbinar-binar saat aku masuk ke kamarnya.

"Alhamdulillah sehat, bu."

"Kamu seorang muslim?"

"Iya, saya beragama Islam."

"Sudah shalat Subuh pagi tadi?"

"Sudah, bu. Setelah shalat subuh dilanjutkan dzikir dan senam pagi bersama suster. Saya berdzikir untuk meminta kesembuhan ibu di rumah sakit."

"Ibu??"

"Ya ibu dokter, siapa lagi. Ibu saya sudah meninggal."

"Kamu tahu dari siapa kalau saya di rumah sakit?"

"Suster Nervi yang memberitahu saya."

"Kamu tahu nama saya, de?"

"Tahu, bu. Ibu Aruni Juniarti, seorang psikolog hebat. Saya juga tahu suami ibu, namanya pak Arif Sunandar. Suami ibu seorang pengacara dan punya banyak bisnis, sangat terkenal."

"Kalau namamu, de?"

"Tita, bu. Nama saya Tita Maharani, berasal dari Indramayu."

"Mengapa kamu ada di sini, de? Ini wilayah Majalengka loh, kamu kan dari Indramayu."

"Saya telah membunuh ayah kandung saya sendiri. Saya dijerat pasal pembunuhan berencana, bu. Saya berada di sini karena lokasi pembunuhan sudah termasuk bagian daerah Majalengka, saya didakwa di wilayah hukum Majalengka."

"Kamu sudah mengingat semuanya, de??"

"Saya tidak mengalami...."

"Sssstttt!!"

"Saya ada hadiah untuk ibu karena ibu sudah sembuh...."

"Wow, yuk kita ke taman untuk membuka hadiah itu."

"Ayok...."

Tita bertingkah seperti Tita yang sebelumnya. Dia melompat-lompat dengan riang. Sesekali tertawa terbahak-bahak kemudian berubah menjadi diam seketika dan memasang wajah sedih. Aku meminta izin kepada dua perawat yang menjaganya agar memberikan akses kepadaku untuk mengajaknya ke mini garden yang berada di ujung bangsal 03 ini, mereka tentu saja memberikanku izin tanpa kecurigaan apapun. Sebenarnya bukan untuk tujuan edukasi mental ataupun pemulihan psikis dengan terapi seni, alasanku mengajak Tita ke tempat itu adalah karena di sana merupakan satu-satunya area yang tidak dilengkapi kamera CCTV. Kami ingin mengobrol sesuatu hal yang privat dan urgen menjelang persidangan kasus pidana pasienku itu esok hari setelah sebelumnya mendapatkan skorsing selama 5 hari dari pihak pengadilan karena penggugat dan saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan. Tentu saja tidak dapat dihadirkan, salah satu saksi utama persidangan sebelumnya sekarang sudah berada di ruang tahanan bersama keempat pelaku pengeroyokan lainnya yang tertangkap di basemen malam itu.

"Bu, saya tidak akan banyak menjelaskan lagi. Ibu pasti sudah tahu jika saya sehat secara fisik maupun mental."

"Saya paham."

"Pembunuhan yang saya lakukan memang pembunuhan berencana, saya sadar itu."

"Apa yang bisa saya bantu untukmu?"

"Saya hanya mau ibu beserta pak Arif menegakkan keadilan untuk korban yang lain. Orang tua saya adalah mafia perdagangan manusia, bu. Kafe itu hanya kedok untuk menarik para korban untuk masuk pada jeratan mereka. Korban rata-rata berasal dari Indramayu, Cirebon, dan sebagian kecil Jawa tengah. Biasanya setelah beberapa bulan bekerja di kafe mereka akan diiming-imingi untuk bekerja di Jakarta atau luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji yang lebih besar, kenyataannya mereka yang telah tergiur itu akan dikirim ke Batam, Papua, dan Makau sebagai pelacur."

"Apakah kamu tahu banyak tentang itu, de?"

"Saya tahu banyak, bu. Saya pernah membantu seorang korban yang dari Cirebon. Namanya Nurwati, dia masih sangat muda."

"Nurwati??"

"Iya, bu. Itu yang kasus orang hilang lalu ditemukan meninggal bunuh diri di kebun tebu."

"Ya Allahhhh...."

"Sebelumnya saya memang sudah dijadikan pelayan plus-plus oleh ibu tiri dan anak sulungnya di kafe mereka. Saat itu saya dipekerjakan di kafe yang berada di Cirebon, lalu datanglah Nurwati yang melamar sebagai pelayan juga. Seperti biasa pada awal-awal bekerja memang tidak ada kejanggalan, semua berjalan normal seperti kafe pada umumnya. Selain Nurwati, ada sekitar delapan gadis lain yang datang hampir bersamaan dengannya. Orang tuaku menyebarkan pamplet perekrutan tenaga kerja sebagai pelayan kafe dengan fasilitas gaji UMR dan bonus lainnya dari keuntungan penjualan harian, sangat menggiurkan."

"Lalu...."

"Pada saat itu Nurwati dan delapan temannya memang sudah menjadi daftar target yang akan dikirim ke berbagai club malam di luar Jawa. Saya memberitahu Nurwati sebisa saya agar segera kabur dengan cara resign seminggu sebelum pengiriman itu. Beruntung Nurwati langsung mempercayai omongan saya dan menurut."

"Kalau yang lainnya bagaimana??"

"Saya tidak mendapatkan akses untuk bertemu yang delapan itu, bu. Mereka ditempatkan di kafe yang berbeda-beda. Orang tua saya memiliki sekitar sepuluh kafe yang tersebar di seluruh wilayah Indramayu dan Cirebon."

"Lalu bagaimana dengan Nurwati??"

"Nurwati menyatakan resign dengan beralasan akan menikah, namun rencana kami sepertinya telah diketahui oleh anak sulung ibu tiriku yang selalu mengawasi pergerakan Nurwati. Hari terakhir Nurwati bekerja di kafe, dia tidak pulang ke rumah orang tuanya di Cirebon. Dia disekap di gudang oleh anak sulung ibu tiri saya dan orang-orangnya, hanya itu yang saya ketahui, karena saya langsung dipindahkan ke kafe yang ada di perbatasan Inramayu-Majalengka oleh ibu tiri saya. Sebulan kemudian dia ditemukan meninggal di kebun tebu."

"Kamu juga mendapat hukuman setelah itu??"

"Tentu saja, bu. Saya disiksa hampir setiap hari oleh ibu tiri dan anak sulungnya, uang dari tamu yang telah saya layani pun semuanya dirampas oleh mereka. Lalu ayah saya mengetahui bahwa sayalah yang mencoba menyelamatkan Nurwati, dia marah besar terhadap saya. Sejak saat itu ayah jadi sering mabuk dan bertengkar dengan ibu tiri saya."

"Apa yang bisa saya lakukan untuk menegakkan keadilan bagi para korban seperti permintaanmu, de? Saya dan suami tidak memiliki bukti apapun untuk menjerat ibu tiri dan anak sulungnya."

"Saya punya, bu. Semuanya saya bawa ke sini tanpa sepengetahuan siapapun. Barang bukti itu saya simpan dengan sangat rapi di dalam box besi yang telah saya kubur di samping makam ibuku. Ada handycam, smartphone, recorder, dan foto copy surat perjanjian penempatan kerja palsu. Di situ ada daftar nama korban, alamat lengkap, dan surat izin orang tua korban yang tentu saja didapatkan dengan cara membohongi mereka."

"Ya Allah, de.... Jadi apa sebenarnya yang terjadi padamu saat itu??"

"Saya diminta oleh ayah untuk ikut ke Batam bersama beberapa gadis yang berada di kafe lain, sebenarnya saya tidak dipaksa untuk melayaninya. Saya menolak meskipun di mulut mengiyakan. Saya sudah sangat muak dengan kekejian mereka. Kemudian saya merencanakan siasat untuk membunuh ayah, ibu tiri, dan anak sulungnya lalu kabur ke tempat yang jauh. Kabur ke dalam hutan di Banyuwangi adalah tujuan pertamaku lalu nanti pergi ke pedalaman Kalimantan untuk menetap lebih lama. Malam itu saya melaksanakan rencanaku namun ibu dan anak sulungnya malah belum pulang ke rumah setelah bertengkah hebat dengan ayah, jadi aku hanya membunuh ayahku saja. Setelah itu saya kabur ke makam ibu dengan berjalan kaki untuk mengubur barang bukti kejahatan mereka, karena jika itu diserahkan kepada polisi belum tentu akan ditanggapi dan saya pun belum tentu bisa menang melawan mereka di persidangan. Mereka memiliki banyak sekali koneksi dengan oknum kepolisian dan pelabuhan."

"Sejauh itu pemikiranmu, de. Maaf saya telah menganggapmu memiliki gangguan kejiwaan sebelumnya. Diagnosa medis memang tidak dapat membuktikan keakuratan hingga seratus persen, apalagi bidang psikologis. Maafkan saya...."

"Tidak apa-apa, bu. Saya mencari orang yang baik untuk menitipkan amanah ini. Ibu adalah orang yang baik, saya percaya ibu akan membantu saya. Tolong bu, selamatkan para gadis itu. Sebagain dari mereka masih berada di gudang, disekap. Sedangkan mereka yang mungkin telah berada di club malam pasti sekarang berada di bawah pengawasan dan ancaman sangat ketat dari orang-orang pemilik club. Orang tua saya benar-benar menjual banyak gadis yang polos dan lugu. Orang tua mereka mengira anak-anaknya sedang mengukir sukses di perantauan dan mengharapkan kepulangan mereka kembali. Padahal mereka tidak akan pulang selamanya, jika pun berhasil lolos dari dunia jahanam itu pasti akan diburu dan dibunuh seperti nasib Nurwati. Tolong, bu...."

"Saya akan bantu, de. Bissmillah...."

"Alhamdulillah.... Saya lega sekarang, bu. Kertas ini berisi alamat lengkap keberadaan kafe orang tua saya dan lokasi keberadaan box yang saya kubur. Ini juga kunci box itu, tolong hadir tepat waktu di persidangan besok dengan membawa barang bukti di dalam box. Tolong bantu saya untuk menangkap ibu tiri dan anak sulungnya, termasuk beberapa orang suruhan mereka." Tita menggenggamkan padaku selembar kertas yang dilipat sangat kecil dan sebuah kunci yang juga berukuran kecil. Senyuman tulus Tita merekah bersama jatuhnya air mata dari pelupuk yang telah begitu sayu dan lelah itu.

"Baik, de. Saya akan berusaha untuk itu. Lalu bagaimana denganmu??"

"Saya ikhlas dipenjara karena telah membunuh ayah saya. Saya memang bersalah, bu. Satu lagi pesan saya, bu...."

"Apa itu, sayang??"

"Jangan libatkan anak kedua ibu tiri saya, dia tidak mengetahui apapun, dia tidak bersalah sama sekali. Malah dia yang membantu saya mengambilkan data dari ruang pribadi ibunya, dia juga yang selalu merawat luka di tubuh saya setelah mendapat hukuman fisik dari ibu dan kakaknya. Namanya Iman Arfian, sekarang kelas tiga SD, dia anak yang sangat baik. Masukkan dia ke panti asuhan yang benar-benar baik, bu. Pastikan dia mendapatkan keamanan. Dia tidak akan diterima dengan baik oleh keluarganya karena kejahatan ibu dan kakaknya itu pasti menjadi aib yang sangat menjijikan di masyarakat. Tolong ya, bu."

"Baik, de."

"Bu...."

"Iya, sayang??"

"Ssaaayyaaa...."

"Saya??"

"Saya HIV positiff...."

"Ya Allahhhh...."

"Tolong kasih tahu sipir penjara nanti agar memisahkan saya dengan tahanan yang lain. Saya tidak ingin menularkan virus dari dalam tubuh saya ini kepada mereka, bu."

"Ya Allah, de...."

Kali ini air mata kami sama-sama mengalir deras tanpa suara tangis. Tita tersenyum benar-benar penuh keikhlasan setelah kalimat terakhirnya itu, sedangkan aku mendapatkan timpaan beban yang sangat berat tepat di atas kepalaku. Gadis sekecil Tita harus menanggung penderitaan begitu kejamnya namun dia mampu bertahan dengan sangat kuat dan hebat. Aku merasa seakan menjadi manusia yang lemah mengingat masa laluku saat mendapat perlakuan tidak baik dari ayah dan ibu tiriku itu. Aku yang saat itu menjadi sangat putus asa dan hampir melakukan hal paling dikutuk olehNya, sedangkan Tita begitu lapang dada dan tegar menerima alur kehidupan yang sangat tajam menyakitkan. Seorang piatu yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dari ayah malah menjemput inang virus paling hina di dunia karena kebiadaban ibu tiri dan ayah kandungnya sendiri. Aku bahkan tidak yakin Iblis dapat dengan tega melakukan hal seperti itu terhadap keturunannya sendiri. Lah ini dilakukan oleh manusia, sungguh kebiadaban di atas perbuatan biadab yang paling laknat.

"Jangan menangis ya, bu. Cukup tolong saya, kembalikan para gadis itu kepada orang tua mereka dengan selamat dan hukum mereka. Saya ikhlas dengan takdir hidup ini. Saya tidak apa-apa, saya baik-baik saja, bu."

"De...."

Aku memeluk erat tubuhnya yang mulai memperlihatkan kerusakan karena tekanan trauma dan virus mematikan itu.

"Bu, jangan memeluk saya nanti ibu bisa ketularan HIV juga. Saya ODH positif, bu."

"Tidak apa-apa, de. Kamu tidak akan menularkan itu karena saya memelukmu, sayang."

Terpopuler

Comments

Decy Ra

Decy Ra

Pen ngutuk ibu tiri dan ayahnya Tita jadi kodok pincang! 😡

2023-11-18

0

who i am ?

who i am ?

😭😭😭😭😭😭nyesek banget gilaaaaaa

2023-11-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!