Aku membuka mata setelah tak sadarkan diri entah untuk berapa lama. Ini adalah kali kedua diriku berbaring di ranjang rumah sakit setelah kejadian 12 tahun lalu. Aku melihat ada berbagai peralatan medis untuk mendeteksi kondisi kesehatan dan selang infus terpasang di lengan kiriku. Ini adalah recovery room. Kupendarkan pandangan mencari keberadaan jam dinding. Aku teringat akan jadwal sidang Tita yang kini menjadi sebuah kekhawatiran khusus di benakku. Gadis itu harus mendapatkan keadilan, itulah tekadku sekarang.
"Sudah sadar, bu?" Tanya seorang perawat dengan ramah.
"Oh, iya sus. Maaf boleh tahu, ini jam berapa? Sudah berapa hari saya berada di sini?"
"Ini jam tujuh pagi, bu. Ini adalah hari kedua ibu berada di sini. Apakah ibu ingin minum atau makan sesuatu?"
"Hari kedua...."
"Benar, bu. Ibu harus mendapatkan perawatan lanjutan agar luka di dada ibu benar-benar aman dan kondisi kesehatan ibu kembali stabil."
"Sus, saya boleh meminta tolong sesuatu?"
"Tentu saja, bu."
"Sus tahu klinik Golden Soul kan?"
"Oh tentu saja, bu. Saya juga mengenal ibu dengan baik, mungkin ibu yang belum begitu mengingat saya."
"Oh iyakah??"
"Saya temannya Nerviana, bu."
"Oooohhhh.... Yang sering ke klinik mencari sus Nervi ya?"
"Nah benar, hehehee...."
"Maaf saya susah sekali untuk mengingat wajah seseorang, sus."
"Tidak apa-apa, bu. Hehehehe.... Ngomong-ngomong, apa yang bisa saya bantu untuk ibu?"
"Saya ingin berbicara dengan suster Nerviana."
"Baik, bu. Saya akan mencoba untuk menghubungi suster Nervi."
"Terima kasih, sus."
"Sama-sama, bu. Sementara ibu istirahat saja, keluarga ibu belum ada yang diperbolehkan masuk untuk menjenguk di luar jam kunjungan pasien. Saat ini kondisi ibu masih lemah dan harus berada dalam pengawasan intensif kami."
"Baik, sus. Lakukan saja apa yang sudah menjadi prosedur di rumah sakit ini, saya akan patuh untuk mengikutinya."
"Terima kasih atas kerja samanya, bu. Ada hal lain barangkali ibu mau menyampaikan kepada keluarga atau suami?"
"Sementara itu saja, sus. Katakan saja kabar baik kepada suami saya agar tidak khawatir berlebihan."
"Baik, bu."
Sekali lagi aku memendarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tidak ada ranjang pasien yang lain selain aku, itu artinya ini merupakan VVIP recovery room. Kak Arif memang sangat berlebihan dalam memperlakukanku, sepertinya cinta telah menjadikannya sosok yang akan melakukan apapun demi diriku. Aku memang perempuan yang sangat beruntung karena dicintai oleh kak Arif. Aku tersenyum geli membayangkan betapa khawatirnya lelaki itu melihat keadaanku. Memang kejadian penembakan itu tentu saja hampir membuatku kehilangan nyawa karena mengenai organ vital di dada kananku.
Tita, bagaimana kabarnya gadis itu?
***
Suster Nervi duduk di sebelahku dengan wajah cemas. Ada segurat kekhawatiran yang langsung kuketahui meskipun dia berusaha menyembunyikannya dengan sangat hati-hati.
"Bagaimana kabar ibu?" Tanyanya dengan nada begitu pelan. Jemari tanganku dielusnya pelan.
"Alhamdulillah baik, sus. Bagaimana bangsal 03, aman??"
"Ibu memang benar-benar orang yang baik, bahkan dalam keadaan terbaring lemah pun masih menanyakan bangsal 03 kita."
"Loh itu kan tanggung jawab saya, sus."
"Aman, bu. Pokoknya ibu jangan khawatir, hehehehee...."
"Tita bagaimana kabarnya??"
"Tita.... Baik. Ada perubahan yang sangat positif sejak kemarin."
"Tolong jangan berbohong padaku, sus."
"Serius, bu. Asli...."
"Aku tidak menyangka ternyata di antara kita ada seorang pengkhianat, sus."
"Sebenarnya sejak dulu saya sudah curiga dengan pak Rahman, bu. Hanya saja apalah daya saya yang hanya asisten ini. Mana bisa melawan dia."
"Memangnya sudah berapa lama dia bekerja di klinik, sus?"
"Belum lama, bu. Sekitar dua tahunan paling. Ibu April juga pindah karena sering cek-cok dengan pak Rahman."
"Sering cek-cok, sus??"
"Iya, bu. Saya sering menemani ibu April bertemu pak Rahman untuk membicarakan soal pasien. Pak Rahman itu seperti ingin menguasai kendali untuk akses ke semua bangsal. Yang terakhir saya menyaksikan ibu April bertengkar mulut dengannya karena dia meminta paksa kunci dan sandi brankas data di bangsal 03 yang jelas bukan wewenang ibu April untuk memberikan izin padanya. Klinik kita kan setiap bangsal itu memiliki hanya satu orang yang diberikan wewenang akses untuk kunci room dan sandi brankas data pasien. Tidak lama kemudian ibu April mengajukan resign dan bilang pada saya mau pulang ke kampung halaman suaminya di Sulawesi."
"Aneh sekali ya orang itu...."
"Saya juga tidak tahu awal mula pak Rahman bisa diterima di klinik, apalagi langsung diberikan jabatan sebagai penanggung jawab bangsal 07. Waktu itu masih ada pak Samsul yang memegang bangsal 07, tidak sampai sebulan kedatangannya eh pak Samsul mengajukan resign. Awalnya kami para perawat mengira pak Samsul kan emang tidak kerasan kerja di bangsal bawah, setelah ibu April ikut resign, kami mulai sadar ternyata biang keroknya ya pak Rahman itu."
"Hahahaa.... Sudah jangan dijudge buruk terus. Bagaimanapun pak Rahman pernah menjadi bagian dari tim kita, sus."
"Iya sih, bu. Cuma kesel aja saya mah, kok ada gitu dokter seperti dia. Ikh amit-amitttt...."
"Jadi, Tita bagaimana keadaannya sekarang?"
"Tita sebenarnya tidak memiliki gangguan mental apapun, bu. Eeehhh...."
"Hahahahaaaa.... Ayo lanjutkan, sus."
"Waduh saya keceplosan...."
"Tidak apa-apa, ayo lanjutkan."
"Tita sebenarnya sehat secara jasmani maupun rohani, bu. Ada target lain yang sedang diincar dari kasus itu dan Tita sengaja disetting seolah-olah memiliki gangguan mental."
"Ooohhh begitu rupanya. Memang saya juga sudah menduga seperti itu sejak awal, namun karena Tita berada di bangsal 07 jadi tidak begitu memikirkan kasusnya."
"Pak Arif jauh lebih paham dari saya, bu."
"Pak Arif? Suami saya??"
"Benar. Suami ibu membantu salah satu klien yang berhubungan dengan ibu tiri Tita. Kasusnya seperti apa saya kurang paham, soalnya itu bukan ranah saya juga untuk menanyakan lebih jauh kepada pak Arif. Saya hanya diminta oleh pak Arif untuk memantau Tita."
"Baik, sus. Saya paham."
"Memangnya pak Arif tidak mengatakan hal itu kepada ibu? Saya pikir ibu pasti sudah tahu."
"Ehhh.... Tentu saja sudah tahu, sus. Saya hanya mencoba ingin tahu tentang kejujuran suster saja, khawatir masih satu tim dengan pak Rahman. Heheehehee...."
Sebisa mungkin kututupi realita bahwa suamiku memang tidak pernah membicarkan hal itu denganku. Aku yakin kak Arif memiliki alasan tersendiri, meskipuj telah menjadi suami-istri bukan berarti kita tidak memiliki ruang privasi masing-masing kan?
"Idih amit-amit atuh, bu. Dosa dunya akherat itu mah."
"Hahahahaaa.... Iya, sus. Tolong bantu saya jaga Tita agar tetap aman ya. Jam berapa sidangnya besok?"
"Kurang tahu, bu. Tapi ada kemungkinan diundur karena pelaku yang mengeroyok ibu itu salah satunya berstatus sebagai saksi yang pada sidang sebelumnya dihadirkan untuk membela korban."
"Hahahaha.... Gegabah sekali ya, mengirim penyusup yang berstatus saksi."
"Nah itu, tapi dampak positifnya memberi keuntungan di pihak kita, khususnya di pihak pak Arif dan pengacara Tita. Itu akan menjadi fakta temuan terbaru. Termasuk adanya keterlibatan pak Rahman."
"Bagaimana media menyorot klinik??"
"Aman, sejauh ini masih tidak mengaitkan nama klinik dengan keterlibatan pak Rahman. Saya pikir pak Husein juga sudah siaga untuk antisipasi."
"Bagus kalau begitu."
"Maaf sus, ada permintaan kunjungan dari keluarga ibu Aruni. Silakan keluar dari ruangan ini. Terima kasih." Kata perawat yang membantu mendatangkan suster Nerviana.
"Baik, sus. Saya segera keluar. Ibu istirahat yang cukup ya, segera sembuh dan kembali ke bangsal 03. Saya kangen kehadiran ibu di sana."
"Insya Allah, sus. Doakan yang terbaik untuk kesembuhan saya, ya."
"Amiiin...."
"Amiiiin...."
Suster Nervi keluar dari ruangan tempat pemulihan pasca operasi di mana aku berbaring. Setelahnya kak Arif masuk dengan membawa sekantong makanan dan beberapa buku bacaan kesukaanku.
"Sayang, bagaimana dadanya? Masih sakit??" Tanya kak Arif dengan wajah cemas. Aku tersenyum manis menyambut kedatangannya.
"Sudah tidak lagi, kak. Aku baik-baik saja."
"Mau cokelat??"
"Nanti saja, kak. Kakak udah makan?"
"Ini kan sudah sore, sayang. Tentu saja aku sudah makan."
"Tidak bohong??"
"Loh buat apa aku bohong, neng?"
"Sus, kami ingin berbicara berdua. Boleh tinggalkan kami sebentar??" Pintaku kepada perawat.
"Baik, bu. Saya tinggalkan dulu ya, jika ada apa-apa bapak dan ibu bisa memanggil saya di nurse station dengan menekan tombol merah itu."
"Baik, sus. Terima kasih."
Suasana begitu lengang setelah perawat menutup pintu kamar ini. Sesekali terdengar bunyi bip dari monitor yang mendeteksi tensi darah dan detak jantungku.
"Kak, adakah sesuatu yang sedang kakak sembunyikan dariku saat ini?"
"Maksudnya??"
"Ada hubungan apa antara kakak dengan pasienku, Tita?"
"Tita?? Tidak ada, sayang. Aku tidak mengenalnya."
"Berarti kakak sedang berbohong."
"Suster Nervi pasti sudah ember barusan. Baiklah aku akan menceritakannya."
"Bahkan suamiku sendiri pun menyimpan rahasia tentang pasienku itu, ironis sekali memang. Aku seperti menumbalkan keselamatanku demi kepentingan kalian yang tidak kuketahui."
"Bukan begitu, sayang. Aku akan jelaskan sejujurnya."
"Oke, jelaskan."
"Aku memiliki klien yang berasal dari Cirebon, anaknya pernah bekerja di kafe milik orang tuanya Tita. Anak dari klienku itu mendadak tidak pulang ke rumah dan entah pergi ke mana. Orang tuanya sudah mencari ke sana-sini hingga membuat laporan orang hilang kepada pihak kepolisian. Sebulan lamanya menghilang, anak itu ditemukan tewas gantung diri pada sebuah pohon yang ada di tengah kebun tebu di perbatasan Jawa Tengah. Di tubuh korban tidak ditemukan bekas penganiayaan, sidik jari, ataupun pelecehan pada organ kewanitaannya. Kasus ditutup karena kematian itu mengarah kepada bunuh diri. Klien sempat memintaku untuk menyelidiki kafe tempat anak mereka bekerja sebelum meninggal."
"Apakah ada kemungkinan...."
"Dugaan kita sama, neng. Memang ada sesuatu di kafe orang tua Tita. Hanya saja hukum tentu membutuhkan bukti, jika bukti tidak dapat ditemukan maka akan mengarah pada praduga tak bersalah hingga pencemaran nama baik."
"Ei incumbit probatio quidicit, nonqui negat."
"Nah, betul sekali. Loh neng juga tahu istilah itu??"
"Suamiku seorang lawyer ternama, bagaimana mungkin aku tidak tertarik untuk ikut belajar ilmu hukum?"
"Klienku bukan orang yang mampu secara materi apalagi kekuasaan. Mereka adalah buruh tani. Jasa hukum pun kuberikan secara cuma-cuma, hanya sangat disayangkan karena hasilnya mengecewakan karena tidak ada bukti yang dapat menjerat siapapun sebagai tersangka apalagi dalang di balik kematian ananya itu."
"Lalu adakah kemajuan bukti setelah adanya kasus Tita??"
"Jelas ada, apalagi ditambah dengan kejadian yang menimpa neng kemarin."
"Baguslah kalau begitu. Aku akan mengambil alih posisi saksi ahli."
"Iya, neng memang harus melakukan itu. Upayakan nanti sinkron dengan temuan fatal yang didapatkan oleh timku."
"Tim kakak??"
"Heheheehehe.... Berhadapan dengan lawan yang licik dan licin, kita harus menyiapkan perangkap memadai."
"Benar, kak. Aku menangkap dari keterangan Tita saat itu, sepertinya sedikit mengarah pada human trafficking."
"Dugaanku pun ke sana, neng. Tidak mungkin kasus pembunuhan berencana menyebabkan mereka seperti kalang kabut hingga terpikirkan untuk melakukan ancaman terhadap Tita. Jelas ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar planed murder yang mereka jadikan sebagai kesaksian di sidang sebelumnya."
"Dalam kasus ini betapa bodohnya dokter Rahman."
"Dokter Rahman sebenarnya sudah lama aku incar, neng. Dia berkaitan dengan penjualan organ ilegal dari pasiennya yang sebagian besar adalah penyandang cacat mental dan dilepastangankan oleh keluarganya."
"Ya Allah...."
"Hanya saja bukti untuk itu belum cukup lengkap. Beruntung Julia masih memiliki keluarga yang mau bertanggung jawab untuk biaya terapi, jika tidak bisa jadi Julia pun masuk daftar salah satu targetnya."
"Manusia memang penuh dengan misteri ya, kak...."
"Ya begitulah, neng. Kira kebetulan ditakdirkan bersama dengan banyak kesamaan pemikiran. Yang pasti sekarang aku akan memperketat penjagaan terhadap kamu dan kediaman kita. Setelah neng keluar dari rumah sakit, kita pindah ke vila di Sukahaji ya. Aku sudah membayar cash uang sewanya."
"Loh ngapain, kak? Kan tambah jauh nanti berangkat kerjanya??"
"Untuk sementara waktu, agar tidak ada yang mengetahui kediaman kita sebenarnya di mana. Aku juga sudah mempekerjakan beberapa orang bodyguard untuk menjaga neng."
"Atuh ah jadi ribet nanti, kak...."
"Ya tidak atuh, kan cuma buat jagain kalau neng pergi keluar rumah saja. Selama berada di dalam rumah ya privasi kita tetap aman, mereka berjaga di luar dengan jarak tertentu."
"Merepotkan ikh kak Arif mah, segitunya banget khawatirin aku...."
"Aku tidak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya, neng. Kejadian kemarin hampir membuatku kalap dan menghajar mati yang menembak neng. Untung ada Deni, dia memang selalu mampu membuatku tenang sekaligus was-was."
"Was-was??"
"Iyalah, dia kan dulu suka sama istriku."
"Ya Allah, kak Ariiiiffff...."
"Ya udah neng istirahat dulu di sini, besok mungkin sudah dapat pindah ke ruang perawatan biasa."
"Kakak juga yang memesan VVIP recovery room ini?"
"Ya iya atuh, neng."
"Ya ampun, sayang. Jangan berlebihan begitu atuh ikh...."
"Sayang, apa sih yang berlebihan untuk pemulihan kesehatan istri tercinta?? Aku sudah dibuat spot jantung melihatmu ditembak oleh orang itu tepat di depan mataku sendiri. Aku tidak dapat berpikir jernih lagi, bagaimana jika kamu tidak tertolong, bagamana aku akan menghadapi kenyataan seandainya kamu benar-benar meninggalkanku selamanya. Aku sangat khawatir, sayang."
"Kak...."
"Iya, neng?"
"Terima kasih ya, untuk semuanya...."
"No, aku yang berterima kasih padamu. Sudah mampu bertahan hingga selamat seperti saat ini. Kamu dengan berani mengambil resiko meskipun tidak mengetahui apa maksud jahat orang yang akan kamu tolong saat itu, kamu yang hebat, neng."
"Itu sebabnya kak Arif memaksakan diri ikut dan membiarkanku membawa belati??"
"Ya, ada firasat tidak baik saat neng akan pergi. Beruntung bopeng tidak sedang bertugas, jadi bisa kumintai tolong untuk membantu."
"Sebentar, bopeng itu??"
"Dia jadi polisi sekarang, neng. Ya dulu memang badung, nasib orang kan tidak ada yang tahu ke depannya seperti apa. Namanya itu sebenarnya Deni, Deni Mustofa. Cuma karena rupa wajahnya sama seperti kelakuannya, jadi dipanggil bopeng. Dia sangat setia kawan aslinya. Asyik sih karakternya. Kalau yang dua orang lagi, namanya Rudi dan Irfan, sekarang masih belum insyaf. Mereka adalah preman, wilayah kekuasaannya seputar Majalengka hingga Sumedang kota. Tapi tetap ngelehan kalau sama bopeng dan Deni mah. Preman yang menjunjung tinggi asal muasalnya barangkali. Hahahahaa...."
"Unik ya pertemanan kalian, kak...."
"Ya begitulah hidup, neng. Aku yang seorang pengacara harus tahu posisi juga, kapan memperlakukan manusia sebagai teman dan kapan saatnya menjadikan mereka teman atau lawan."
"Bagaimana dengan posisi kakak saat bersamaku?"
"Saat bersama neng? Juniorku ikutan nimbrung, neng. Sedang tidur lelap pun segera bangun dan tegak berdiri saat bersama neng. Hehehehee...."
"Issshhhhh.... Itu aja isi otaknya kakak mah ikh!!"
"Biarin atuh, sama istri sendiri."
"Mohon maaf, bapak dan ibu. Waktu kunjungan telah habis, silakan bapak keluar dari ruangan ini. Terima kasih." Perintah perawat mengagetkan kami.
"Oh iya, sus. Sebentar ya, dua menit lagi saja...."
"Baik, pak."
"Sayang, aku keluar dulu ya. Jika ada apa-apa segera suruh suster untuk menghubungiku."
"Kakak pulang kan?"
"Mungkin tidak, aku ingin stay di sini dulu hingga kamu benar-benar aman."
"Teu kedag atuh, kak...."
"Tidak apa-apa, ada Deni sama kedua teman premannya yang menemaniku. Kalem, hehehe...."
"Tapi jangan lupa istirahat dan makan ya."
"Siap delapan enam."
"Ya udah kak Arif segera keluar, suster mungkin akan melakukan pengecekan."
"Boleh minta satu kecupan?"
"Iisssshhh, ulah atuh...."
Kak Arif tidak menggubris jawabanku. Dia menyambar bibirku dan menyentuhnya dengan lembut. Perawat yang berjaga di ruangan ini berpura-pura tidak melihat aksi suamiku, dia memalingkan wajah seakan melihat catatan medisku. Untuk beberapa saat kami melepaskan kerinduan secara singkat melalui pertautan lidah. Setelah itu dia mengecup kening lalu mengusap lembut rambutku. Sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak rasa khawatir terhadapku.
"I love you so hard, Aruni."
"I love you too with all my soul and breath, kak Arif...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Decy Ra
Suster Nervi ceplas-ceplos deh 😒
2023-11-18
0