Bangsal 07 terletak di lantai paling bawah bangunan klinik tempatku bekerja. Untuk menuju ke sana disediakan dua jenis lift, satu untuk pengguna biasa dan satunya lagi untuk pengguna yang berbaring di ranjang medis. Tepat setelah keluar dari lift pandangan mata akan tertuju langsung pada meja resepsionis. Di sana terdapar dua perawat yang duduk berjaga.
"Selamat siang. Ada keperluan dengan siapa, bu?" Tanya seorang perawat dengan ramah saat aku menghampiri meja resepsionis. Mereka langsung menanyakan tujuan kedatanganku karena pakaian yang kukenakan menunjukkan profesiku sebagai psikolog di klinik ini.
Bangsal 07 memang sangat tertutup dan terbatas untuk umum, orang yang mendapatkan akses untuk melakukan kunjungan ke dalam sana hanya mereka yang telah memiliki janji khusus dengan psikiater yang sedang aktif bertugas atau membawa izin resmi tertulis untuk kepentingan lainnya.
"Saya Aruni, sudah ada janji dengan dokter Rahman untuk makan siang di luar, sus." Karena kebetulan kedatanganku tepat beberapa menit lagi menjelang jam istirahat makan siang.
"Baik, ibu Aruni. Saya konfirmasi dengan beliau dulu ya, bu. Silakan duduk di kursi tamu, mohon untuk menunggu sebentar."
"Baik, terima kasih."
Perawat itu menghubungi pak Rahman melalui sambungan telepon yang secara otomatis terhubung ke ruangan psikiater.
"Saya sudah melakukan konfirmasi dengan pak Rahman. Beliau akan keluar sekitar sepuluh menit lagi."
"Baik, sus. Terima kasih."
"Maaf jika boleh bertanya, apakah ibu mengenal suster Nerviana?"
"Iya, suster Nervi adalah asisten saya. Bagaimana, sus?"
"Tidak apa-apa, bu. Hanya menanyakan kabar sesama perawat saja." Kata perawat itu mengalihkan fokus rekan kerjanya yang sedari awal kedatanganku menaruh mimik wajah curiga. Petugas medis di bangsal 07 memang tidak memiliki akses yang leluasa untuk bersosialisasi dengan petugas medis di bangsal lainnya. Mereka terikat kode etik untuk menjaga rahasia kondisi dan keadaan pasien di bangsal itu yang rata-rata dihuni penderita kejiwaan akut dengan tingkat kekhawatiran medis yang sangat tinggi. Selagi berkata barusan, perawat itu memberi kode pertemuan rahasia denganku. Matanya dengan lincah mengerlingkan sandi morse yang dengan mudah dapat kupahami.
"Oh iya, baik. Maaf numpang tanya, toilet di sebelah mana ya?"
"Untuk toilet berada di ujung lorong, bu. Dari sini ibu ambil arah kiri lurus, nanti ada pertigaan ibu belok ke arah kanan sampai ujung. Di sana toiletnya."
"Baiklah, terima kasih."
Setelah permisi kepada kedua perawat itu, aku segera berjalan menuju toilet sesuai petunjuk arah barusan. Sebenarnya aku tidak ingin buang air apalagi cuci muka, perawat itu mengisyaratkan kata "wc" melalui gerakan matanya. Aku sudah terbiasa menemui hal seperti ini saat masih bertugas di Sulawesi, karena ruang medis bagian kejiwaan seringkali erat kaitannya dengan kasus kriminal dan tindak pidana.
Sepanjang lorong yang kulalui tidak ada seorang pun yang lewat dan berpapasan denganku. Suasana tempat ini memang benar-benar lengang, aku dapat mendengar gaung langkah kakiku sendiri yang memakai heels sehingga tekanannya menciptakan bunyi nyaring di kesunyian. Sesampainya di toilet yang dimaksud, aku hanya berdiri di ruang hand wash. Kuperhatikan sekeliling, sepertinya tidak ada kamera pengawasan di sini. Aku sempat keluar untuk mengecek keadaan menuju pintu toilet, ternyata sama, tidak ada kamera pengawas yang terpasang.
"Bu, kotak sampah room dua ya, green." Kata perawat itu sambil membasuh kedua tangannya di westafel. Aku mengangguk mengiyakan.
Pasien dalam ancaman yang serius, bu. Nama: Tita Maharani, 21 tahun, 07914. Saat kejadian sebenarnya dalam kondisi stabil, spekulasi telah ada sabotase akses masuk. Dokter Rahman tidak dapat membantu. Saya menghubungi suster Nervi, dulu ibu April bisa diandalkan. Saya berasumsi kebaikan ibu pun tidak jauh beda dengan ibu April. Urgensi perpindahan room sebelum over shift, khawatir kejadian terulang nanti malam.
Deggg!!!
Aku melangkah keluar dari toilet setengah berlari. Kutemui pak Rahman yang baru saja tiba di ruang tunggu tamu. Tanpa meninggalkan kecurigaan apapun, aku masuk ke dalam lift bersamanya. Langkah kami menuju resto di lantai 2 bangunan ini.
"Tumben, bu. Ada kabar baik apa nih sampai ada traktiran seperti ini?" Tanya pak Rahman setelah menghabiskan hidangan utama lunch.
"Tidak ada, pak. Kebetulan suami menang tender, anggap saja syukuran. Ucapan terima kasih dari suami." Jawabku mengalihkan ketegangan yang telah nampak di wajahnya. Pak Rahman bukan asli Majalengka, dia berasal dari Kalimantan Timur namun kini telah menetap di Majalengka karena ikut istrinya yang berasal dari sini. Memang sebelumnya aku pernah meminta saran pak Rahman untuk kepentingan proyek kak Arif di Kaltim sana agar dapat diacc oleh investor utama.
"Ooohhh.... Proyek di Kaltim itu ya, bu? Wah selamat bu."
"Betul, pak. Sebelumnya kan saya pernah meminta saran bapak dan hasilnya jreeeng berhasil."
"Syukurlah kalau saran saya terpakai. Ya kebetulan saja saya asli Kaltim, jadi sedikit banyak tahu sikon di sana."
"Benar sekali. Jangan bosan ya pa untuk dimintai sarannya, hehehe...."
"Wah tentu saja tidak, bu. Jangan sungkan, obrolkan saja dengan saya. Selama saya bisa bantu, tangan saya terbuka lebar dengan mudah untuk ibu dan suami."
"Terima kasih banyak, pak."
"Sama-sama, bu."
"Ada satu hal lagi yang membutuhkan saran dari bapak."
"Tentang apa? Katakan saja, bu."
"Pasien 07914, Tita Maharani. Saya mendapatkan info urgensi dari bangsal 07 tapi belum ada konfirmasi dari bapak terhadap saya."
"Ibu telah mengetahuinya juga? Apakah ini tujuan sebenarnya ibu membawa saya keluar??"
"Tolong, pak. Setiap orang membutuhkan perlindungan dan hak keamanan atas hidupnya."
"Ada kode etik yang kita pegang erat, bu. Pasien itu juga merupakan seorang kriminal, untuk apa ibu memperdulikannya?"
"Reputasi kita, pak. Jika pasien ini berhasil melakukannya lagi, apakah bapak yakin akan lolos dari penyelidikan di bangsal 07??"
"Maksud ibu??"
"Dia seorang kriminal, spekulasi hukum mengarah pada tersangka utama, namun bukankah vonis belum diputuskan oleh pihak pengadilan?? Itu artinya pasien tetap memiliki kesempatan untuk membela diri dan mengajukan grasi, bisa jadi dialah korban yang sebenarnya. Siapa yang tahu, pak. Kita semua hanya menduga-duga kejadian yang dialami pasien itu sebelumnya, kunci utamanya tetap ada pada keterangan asli kejadian perkara dari pasien itu sendiri."
"Ibu Aruni, tolong. Kita hanya sebatas petugas medis, bu. Posisikan diri kita hanya pada kewajiban profesi dan kesembuhan pasien."
"Ada reputasi tempat kerja yang juga harus kita jaga, pak. Mungkin bapak melupakan aspek yang satu itu. Pasien itu sekarang ada di klinik ini, secara resmi dan mendapat jaminan perlindungan hukum sedang menjalani terapi di sini. Bagaimana jadinya jika pasien meninggal di tempat terapi? Bukankah itu akan mengarah pada opini publik yang negatif terhadap klinik ini, bisa saja nanti ada pembahasan tentang pembebasan sepihak dengan cara mematikan tersangka tindak kriminal?? Apakah bapak telah memikirkan itu?? Kita juga perlu mengingat bahwa profesi kita bukan sekedar tenaga medis, pak. Kita adalah saksi ahli untuk pasien yang bermasalah dengan hukum."
"Lalu apa rencana ibu??"
"Saya meminta izin untuk menarik pasien itu ke bangsal 03."
"Waduh, tidak mungkin bu. Itu harus ada izin...."
"Bapak tidak perlu repot-repot, saya terbiasa menemui kasus serupa. Silakan tanda tangan di sini, menyatakan menyetujui perpindahan pasien room 07 ke 03." Aku mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat keterangan. Memang aku terbiasa bekerja dengan cepat, tepat, dan sigap. Kasus seperti ini bukan sekali dua kali kuhadapi, aku juga beberapa kali langganan menjadi saksi ahli dalam persidangan maupun masa penyelidikan perkara.
"Ibu menjebak saya?!!"
"Saya tidak memaksa, pak. Silakan bapak ambil kendali terhadap pasien 07914, namun tolong pastikan dia dalam keadaan baik-baik saja hingga vonis hukumannya diputuskan oleh hakim dan dibawa ke sel tahanan."
"Oke. Baik, saya tanda tangan."
"Tolong jujur kepada saya, pak. Ada apa dengan pasien tersebut??"
"Saya juga minta tolong kepada ibu, tolong jangan menanyakan itu kepada saya. Saat ini banyak kamera yang mengintai pergerakan saya, bu. Saya pun dalam bahaya besar semenjak kehadiran pasien itu."
"Sepuluh tiga satu??"
"Ya, benar. Lebih tepatnya dokter brown."
"Siapa, pak??"
"Kelelawar, FN lima tujuh."
"Hitam??"
"Ya, tepat. Nanti O7914 harus lolos CCTV jika ingin over to 03. Pastikan juga keamanan 03 siaga."
"Baik pak, saya paham."
"Sesuai surat edaran, putusan hakim akan didapatkan pada sidang lusa nanti, bu. Kita dibebani tanggung jawab yang lebih berat untuk sekitar tiga hari lagi ke depan. Ibu mengerti betul kan apa yang akan kita hadapi??"
"Saya mengerti, pak."
"Ada akses 975 di basemen yang terhubung langsung dengan 03, cuma kita harus melalui tangga. Pasien bisa diajak kompromi, know so well her self."
"Baik, pak."
"Nanti saya akan menutup akses kunjungan siapapun di 07 hingga waktu sidang pasien itu dilaksanakan."
"Terima kasih, pak."
"Ibu Aruni sangat mirip dengan Ibu April. Hehehehe...."
"Semoga saja bisa sebaik beliau, pak. Mohon bantuannya."
"Insya Allah, bu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
who i am ?
bikin candu bacanya😍
2023-11-17
0