Setitik Cahaya

Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sesaat setelah masuk kamar yang kusewa di Summerville bersama kak Arif, suamiku tercinta. Suara gemericik air yang keluar dari kran bergema memenuhi ruangan karena seperti biasa aku sengaja tidak menutup pintu kamar mandi. Beberapa menit kemudian kak Arif menyusulku, masuk ke kamar mandi. Kami mandi berdua yang tentu saja segera membangunkan gairah untuk melanjutkan kegiatan lebih intim setelahnya. Perpisahan selama seminggu kemarin telah membentuk kerinduan begitu berat yang membutuhkan pelepasan.

Hubungan setelah pernikahan memang seleluasa ini, kami dapat melakukan apapun yang ingin kami lakukan tanpa ada rasa khawatir. Kak Arif begitu menggebu mengekspos setiap inci tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki tidak ada yang terlewatkan sedikit pun. Energi kami saling bertukar begitu aktif menghasilkan suara-suara parau yang menyatakan kenikmatan dan keindahan surga dari ranjang suami-istri. Beberapa media pendukung seperti tontonan film biru hingga bacaan dewasa telah menjadi hal yang lumrah bagi kami berdua sebagai referensi berbagai teknik baru agar dapat memberikan kepuasan yang lebih nikmat.

"Sayang, aku tidak bisa berpikir apapun lagi di Amsterdam saat tiba-tiba membayangkan dirimu berada di atasku seperti sekarang." Kata kak Arif dengan mata sayu. Kedua tangannya aktif bergerilya menjelajah bebas di dadaku. Sesekali kukecup lembut kening dan kedua matanya.

"Loh ya bahaya atuh, sayanghhh.... Kan di sana sedang bersama relasi kerja...."

"Itu sebabnya lain kali kalau aku ke luar negeri kamu harus ikut ya, hhhh...."

"Lalu pekerjaanku, bagaimanahh....hhhhh...."

"Izziinn, sayangghhh...."

"Mau posisi yang lain, kakkk?? Hhhh...."

"Jangannhhh.... Teruskan yang ini dulu yaaaa...."

"Aku tidak tahhhaann laggggiii kakakkk, sayyyyyaang...."

"Lepaskan ajjjaaa yaaaa, saayyyyannnghhh.... Akkkuu masih butuh waktuu.... Hhhh...."

"Kkkkaaakkkk.... Hhhhhh...."

"Enak, sayanghhh??"

"Bangettt...."

"Aku kasih lebih yaa.... Aku tunggu lagi momen barusan, biar barengan. Mauu??"

"Okkeee... Maaauuuuhhh.... Hhhhh...."

Kak Arif selalu memberikan yang terbaik untukku, dari pemenuhan materi hingga urusan nafkah batin. Aku benar-benar dijadikan ratu yang sangat istimewa olehnya. Tiada celah waktu bagiku untuk berhenti bersyukur atas takdir ini, nikmat Tuhanku yang manakah yang pantas untuk kudustakan? Jelas tidak ada.

Sebagai seorang istri dengan kenyataan tidak dapat melahirkan anak sesekali aku merasa was-was, bagaimana jika di tengah perjalanan pernikahan ini kak Arif tergoda oleh perempuan lain yang dapat memberikannya keturunan? Kak Arif yang berwajah tampan dengan kemapanan finansial tentu akan membuat banyak perempuan melirik dan melancarkan jerat rayuan. Bagaimana aku dapat mempertahankan posisiku sebagai istri satu-satunya dengan ketidaksempurnaan yang kumiliki?

"Ada yang menelpon, sayang...." Ucap kak Arif setelah menyelesaikan pertukaran energi yang sangat melelahkan itu.

"Angkat saja sama kakak, aku sangat mengantuk...."

"Deni.... Loh kalian ketemu di mana??" Tanya kak Arif namun aku sudah lebih dulu terlelap di sampingnya.

"Laaahhh.... Udah tidur."

"Assalamu'alaikum Den, bagaimana kabar? Terbang ke Jepang sendirian aja kamu, mana bunga sakuranya?? Hehehehee...." Kata kak Arif sambil berjalan menjauhi ranjang di mana tubuhku tergeletak lemas di bawah selimut putih.

"Oh iya, Aruni udah tidur. Gimana??" Sambungnya lalu raut wajahnya berubah menjadi sangat serius.

***

Aku beberapa kali mencoba menghubugi kak Aksa dengan menggunakan nomor kontak yang telah kak Deni berikan semalam. Pagi ini aku bangun kesiangan efek usahaku dengan kak Arif untuk menggapai puncak paling nikmat dari penyatuan diri kami berdua. Kak Arif sudah lebih dulu berangkat karena ada jadwal pendampingan sidang untuk cliennya siang nanti, sedangkan aku masih duduk di ruang makan hotel menunggu jemputan suster Nervi, kebetulan motorku masih berada di bengkel paling sore nanti dapat diambil.

"Assalamu'alaikum...." Terdengar suara laki-laki pada sambungan telepon. Hatiku sangat senang seperti mendapat lotre.

"Waalaikum salam, dengan kak Aksa??"

"Siapa ya??"

"Ini Aruni, masih ingat??"

"Aruni??"

"Aku adik kelas kakak waktu SMA dulu, yang pacaran dengan Arif."

"Ooohhhh iya ingat. Ya Allah neng, apa kabar?"

"Alhamdulillah sehat, kakak bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik juga, neng."

Obrolanku dengan kak Aksa kuakhiri karena suster Nervi datang menghampiri. Aku merasa lega sekarang. Usahaku untuk membantu Julia menemui jalan terang, meskipun aku tidak begitu yakin akan berhasil setidaknya akses dengan kak Aksa telah kudapatkan. Dengan menghadirkan kak Aksa ke hadapan Julia mungkin saja memberikan peluang besar keberhasilan interpersonal therapy yang kuterapkan sebagai tindakan lanjutan karena adanya kegagalan pada metode CBT yang digunakana sebelumnya untuk memulihkan kesadaran temanku itu. Semoga saja. Jalanku ke depannya pastilah akan lebih sulit karena harus bisa membuat kak Aksa kembali sejenak pada kisah masa lalunya dengan Julia sedangkan sekarang kak Aksa sudah memiliki kehidupan baru dengan istrinya.

"Bu, kemarin saya dapat info kurang baik dari teman di bangsal 07." Kata suster Nervi memulai obrolan di perjalanan menuju klinik tempat kami bekerja.

"Tentang apa, sus?"

"Ada pasien yang mencoba tindakan suicide, beruntung terjadi pada saat perawat yang menjaga sedang berkeliling melakukan pengecekan tensi darah menjelang jam pergantian shift jadi bisa langsung ketahuan."

"Lalu??"

"Pasien sudah ditangani. Yang menjadi kekhawatiran, pasien itu adalah seorang tersangka kasus pidana berat. Pengadilan belum memutuskan hukuman baginya karena saksi belum dapat memberikan keterangan yang akurat. Khawatir jika tindakan serupa terjadi lagi hingga pasien kehilangan nyawa, kan kita nanti bisa kecipratan getahnya juga."

"Kasus apa itu, sus??"

"Pembunuhan berencana terhadap pemilik kafe yang di perbatasan Majalengka-Indramayu itu loh, bu. Kan kasusnya masih hangat."

"Oalaaahhh.... Yang di beritakan bahwa tersangka mengalami gangguan mental itu ya??"

"Nah, itu."

"Saya kurang begitu tahu soalnya bangsal 07 yang dihandle oleh pak Rahman belum memberi konfirmasi apapun ke bangsal kita."

"Iya, bu. Pak Rahman memang sejak dulu jarang berinteraksi dengan rekan kerja di bangsal lain. Dengan bu April pun berbicara jika memang ada kepentingan yang benar-benar urgen saja."

"Ya sudah nanti saya coba bicara dengan pak Rahman barangkali saja pasien itu bisa dilakukan pendekatan di bangsal kita. Pasien atas nama siapa itu, sus??"

"Nanti saya cek lagi bu ke teman yang ada di bangsal 07. Saya lupa soalnya. Hehehehehe.... Maklum di kepala saya sudah ada ratusan nama pasien dari bangsal 03, heheheehe...."

"Oke, siap. Terima kasih informasinya ya, sus."

"Sama-sama, bu. Jangan sungkan atuh, hehehehe...."

Terpopuler

Comments

Decy Ra

Decy Ra

Agak baper sama bab ini

2023-11-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!