POV: Arif Sunandar Part 3

Aku duduk lemas di salah satu bangku taman Dirgantara, Majalengka. Taman ini adalah tempat favoritku untuk lari pagi dan sore, terkadang aku ke sini hanya sekedar ngadem dari penatnya rutinitas belajar. Sepagi ini Aruni baru saja meninggalkanku di taman dengan tangisannya. Bodohnya aku yang tidak dapat menahan kepergian itu.

"Aksa, sibuk teu maneh?" Kataku dalam sebuah panggilan telepon tanpa sapaan salam dan basa-basi.

"Ajak si Deni ke Dirgantara ayeuna. Cepetan, penting!"

Isi kepalaku sudah sangat kusut. Berbagai rencana menumpuk di sana, semuanya nampak seperti duri yang semakin membesar dan menusuk. Sesekali kuhembuskan nafasku lepas, selepas-lepasnya. Tidak butuh waktu lama, dua teman SMAku itu datang dengan berboncengan motor. Aksa masih mengenakan pakaian chefnya, sedangkan Deni tampak berpakaian santai dengan kaos oblong, celana boxer, dan sandal jepit Swallow. Aksa bekerja menjadi koki di resto milik orang tuanya Deni sejak lulus SMA dulu, dia tidak melanjutkan kuliah karena terkendala biaya. Sedangkan Deni adalah mahasiswa kumaha dewek dari salah satu universitas di Bandung. Sejak SMA Deni memang sangat bandel, bahkan hingga saat ini dia belum memperoleh acc dari dosen pembimbing untuk skripsinya. Berhubung orang tuanya mampu dalam hal materi, hidup Deni aman-aman saja meskipun sebagai pengangguran.

"Aya naon bro??" Tanya Aksa khawatir. Disusul tepukan tangan Deni ke pundakku. Kami bertiga duduk di sebuah bangku dengan posisiku yang berada di tengah.

"Aku sudah melakukannya, bro."

"Melakukan apa??"

"Yang kalian suruh waktu di Sawah Aki itu??"

"Sawah Aki???"

"Aku sama Aruni sudah melakukannya...."

"Ooohhhh.... Hahahahaha.... Lah terus??" Tanya mereka bersamaan diselingi tertawa geli. Otak mereka berdua memang langsung on conect jika berhubungan dengan hal-hal berbau konten biru.

"Aruni hamil...."

"Hhhaaaaahhh???" Sergap mereka kaget, lagi-lagi bersamaan. Mata mereka melotot ke arahku.

"Iya, hamil...."

"Waduh, broooo... Kok bisa sih??" Tanggap Aksa sambil menepuk kepalanya sendiri dengan kedua tangannya, kepanikan nampak juga di wajahnya. Deni ikut menepuk keningnya dan tertunduk lesu.

"Ya tidak tahu. Barusan... Aruni yang bilang kalau dia hamil."

"Rif, kamu itu cerdas loh. SMA juara terus, olimpiade juara juga, kuliah lulus cumlaude. Kontrasepsi banyak, murah, bebas akses pembelian juga. Otakmu ya atuh dipake juga buat permasalahan kek begituan, Rifffff...." Lanjut Aksa.

"Ya terus bagaimana ini, Aksa??"

"Udah berapa bulan telatnya?" Tanya Deni mulai ikut dalam perbincangan.

"Tidak tahu, Den."

"Nikahin Aruni secepatnya. Nanti kalau dia sudah melahirkan, kamu nikahin lagi dia." Kata Aska memberi saran.

"Barusan aku kesalahan ngomong sama Aruni...."

"Ngomong apaan emang kamunya?" Tanya Deni masih dengan wajah khawatir.

"Karena kaget dan panik, aku suruh dia gugurin...."

"Ah gelo siah! Kamu itu masih Arif Sunandar yang cerdas itu kan?!!" Sentak Aksa sedikit emosi.

"Ini gara-gara kalian juga yang ngomporin soal HB segala waktu itu!" Sentakku tak mau kalah.

"Ari maneh kumaha, Rif? Kan kamu teh punya otak? Naha bet obrolan yang udah tahu arahnya itu salah tapi malah kamu melakukan juga?!!!" Sentak Deni emosi.

"Ya aku ingin buktiin ke kalian...."

"Lah terus setelah kek begini, ngerasa hebat udah bisa buktiin ke kita?!!"

"Slow, Den... jangan naik, tahan. Gini deh Rif, kita bertiga tuh temenan sejak SMA kelas sepuluh kan? Kamu siswa dari Sumedang yang dikucilkan namun ternyata sangat cerdas dan jadi idola karena tampan. Kita berdua yang jadi teman kamu saat kamu masih dikucilkan sendirian kan? Sampai sekarang pun kita masih solid kan?? Naha bet kamu kepikiran buktiin soal hereuyan kita waktu itu sih, Rifff??" Sambung Aksa sembari menahan Deni yang sudah siap untuk memukulku.

"Otak maneh mah eleh ku nafsu, Rif!!!"

"Salah di aing naon terus, Den?? Euh aing cupu, oon, naha bet maraneh kudu ngobrolkeun nu teu baleg ka aing?!!" Sentakku dengan emosi yang mulai naik.

"Tos, tos, tosss... Sing areling atuh ah. Pikirin jalan keluar bro bukan gelut!!" Sergap Aksa dengan sigap saat aku dan Deni sudah siap untuk berkelahi.

"Sekarang apa rencana kamu, Rif??" Tanya Aksa setelah aku dan Deni duduk tenang kembali.

"Tidak tahu...."

"Temui Aruni, Rif. Minta maaf, ajak dia nikah buat sembunyiin aib itu untuk sementara waktu. Kasihan dia, rusak karena otak tolol kamu!!!" Sentak Deni dengan saran sarkasmenya.

"Ari maneh naha nyolot bet ka aing, Den?!!" Sentakku tak terima.

Perkelahian antara aku dan Deni tidak dapat dihindarkan lagi. Aku mendorong tubuhnya, sedangkan dia menonjok perutku. Menit selanjutnya terjadilah baku hantam ala lelaki yang sengit. Aksa dengan segala caranya berusaha melerai kami.

"Garelo maneh kabeh!!!" Sentak Aksa setelah kami berhasil dipisahkan.

"Geus caricing. Rif, nu salah teh dewek. Sing narima diomong atuh. Den, maneh rek nulungan Arif moal?!!" Lanjut Aksa dengan suara tinggi.

"Nulungan atuh...." Jawab Deni sambil menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya. Di saat yang sama aku pun menghapus darah yang keluar dari hidungku.

"Rif, bener kata Deni. Kamu segera temui Aruni, minta maaf. Lalu nikahi dia secepatnya sebelum perutnya semakin kelihatan membesar. Inget perkataanku, setelah anak itu lahir kamu harus nikahin Aruni lagi." Tegas Aksa dengan bijak. Di antara gejolak kepanikan di antara kami bertiga, hanya Aksa yang masih mampu mengendalikan diri.

"Aku belum berani menemui Aruni. Dia sangat marah padaku barusan."

"Ya jelas marah atuh, Rif. Kamu sih pake acara keceplosan ngomong buat gugurin segala. Udah berbuat salah, ucapan juga salah, ya fatal Rif."

"Lagian Rif, sebenarnya aku ini masih perjaka asli. Kurang tahu kalau Deni. Aku sama Sinta jangankan buat HB, ciuman pipi saja belum pernah."

"Lahh???"

"Aku cuma ngimbangin obrolan kamu sama Deni saja. Kita ini laki-laki, kurang etis kan jika salah satu dari kita out of the topic saat lagi asyik-asyiknya ngobrol??"

"Aku sama Tari memang pernah ngelakuin itu dua kali, tapi pake pengaman Rif. Meskipun aku ini berandalan, logika aku masih jalan. Lah bisa-bisa aku dicoret dari KK kalau sampai hamilin Tari. Ortunya Tari itu polisi, Rif. Aku juga bisa dipenjara kalau sampai kejadian kayak kamu. Nah kalau si bopeng itu mah maniak. Playboy cap komodo dia. Cuma sejauh ini tidak ada tuh mantan atau pacar dia yang sampe hamil. Aman-aman aja, perut mereka rata semuanya."

"Aku bodoh, bro.... Aku memang si cerdas yang bodoh...." Kataku lemas. Tangisku pecah. Sepanjang jalinan pertemanan kami, ini baru pertama kali aku menangis di hadapan kedua temanku itu. Mereka menepuk pundakku dengan penuh simpati.

"Aruni sudah yatim piatu kan? Otomatis dia sendirian di rumahnya yang besar itu. Aku ada satu kekhawatiran sama cewek model dia, Rif...." Perkataan Deni mengingatkanku pada momen pertemuan pertama dengan Aruni di menara SMA dulu.

Oh, neng... jangan lakukan itu lagi!

"Kamu benar, Den. Aku pergi dulu ya!"

"Lah, mau ke mana??" Tanya mereka bersamaan, persis Upin Ipin.

"Ke rumah Aruni, bro. Thanks Den udah ingetin aku. Itu penting banget buat saat ini dan aku hampir lupa."

"Ehhh, ingetin.... Ingetiinn apa???" Deni menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia berusaha mengingat apa yang baru saja dia ucapkan padaku. Aku tidak lagi menggubris tingkah Deni dengan segala kebingungannya. Dengan cepat kustart motor Honda CBR kesayanganku dan pergi meninggalkan mereka.

"Aku duluan, bro!"

"Oke, semoga berhasil bro. Hati-hati di jalan!" Kata Aksa menyemangatiku.

***

Cingambul hujan deras saat motorku melaju dengan cepat menuju rumah Aruni. Aku tidak peduli tubuhku yang basah dan mulai menggigil karena menahan dingin. Usaha keras itu berhasil membawaku ke depan sebuah gerbang rumah paling mewah di antara rumah yang lain di sekitarnya. Kupanggil Aruni dengan menekan bel yang ada di samping kanan gerbang. Berkali-kali kutekan bel namun tidak ada jawaban atau siapapun yang keluar untuk menemuiku. Aku menunggu hingga gelap menyelimuti bumi Majalengka. Rumah Aruni pun kulihat tampak gelap dan tidak ada tanda-tanda keberadaan siapapun di dalamnya. Kuurungkan niatku untuk menunggu hingga malam. Sepertinya Aruni tidak pulang ke rumah ini, tapi ke mana dia pergi?? Pertanyaanku itu tidak pernah mendapat jawaban hingga bertahun-tahun kemudian. Aruni pergi tanpa pamit membawa tangisan akibat ulahku. Berbagai usaha kulakukan bersama Deni dan Aksa untuk mencari keberadaan Aruni, namun tidak pernah mendapatkan hasil. Pertemuanku dengan gadis itu di taman Dirgantara seperti menjadi pertemuan terakhir bagi kami.

Aku kehilangan semangat hidup meskipun tubuh dan otakku masih dapat kugunakan untuk bekerja dan melanjutkan studi.

Umi dan abi beberapa kali berusaha mencarikan jodoh untukku, namun semuanya kutolak karena di mataku tetap hanya ada wajah Aruni. Aku tidak mau menikahi perempuan hanya untuk pelarian dari kesalahanku. Itu tidak adil untuknya yang kunikahi sedangkan sepenuhnya aku masih belum selesai dengan Aruni.

Hingga Laila, adik perempuanku, mendahuluiku untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Orang tuaku dengan berat hati mengizinkan Laila menikah lebih dulu dariku karena terlihat padaku tidak ada tanda-tanda menerima perempuan manapun untuk dinikahi.

Aruni memang perempuan pertama yang kujadikan pacar sekaligus perempuan pertama yang kusentuh tubuhnya. Jiwaku seakan tertambat seluruhnya hanya pada Aruni lalu ikut terbawa menghilang bersama hilangnya gadis itu dari kehidupanku. Barangkali karma bagiku yang telah mengambil kesuciannya, aku harus menanggung kehampaan terkejam dalam jiwaku sendiri.

Air mataku tumpah setiap melihat foto Aruni yang kupajang di kamarku. Sedalam ini aku tersiksa, semenderita ini aku mempertanggungjawabkan kesalahan. Aruni, di manapun kamu berada, tolong maafkan kesalahanku. Kembalilah sebentar saja dan lihatlah wajah penuh sesal ini.

"Neng.... Di mana kamu??"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!