Ambang Fakta

Aku menatap pasien yang 'kuculik' dari bangsal 07 demi menjaga keselamatannya. Sebagai seorang psikolog yang memiliki kontribusi besar dan kekuasaan materi maupun koneksi, aku bisa menabrak peraturan instansi ini. Aku memang kenal baik dengan pemilik klinik ini yang adalah teman sekolah ibuku. Bisa dikatakan aku adalah baby nepotisme. Meskipun perpindahanku ke tempat ini tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan kekerabatan dengan pemilik klinik, setidaknya untuk akses perizinan akan diberikan kemudahan proses. Seperti yang kulakukan sekarang, mengambil pasien pak Rahman. Tindakanku jelas melanggar peraturan klinik dan kode etik medis. Jika bukan aku yang melakukannya pasti sudah dipecat atau bahkan mendapatkan sanksi hukum.

"Berapa usiamu saat ini, de?" Tanyaku dengan ramah.

"Ddduuuaa...ssaatu." Jawabnya dengan ekspresi ketakutan memenuhi wajahnya.

"Jangan takut, aku akan memberikanmu perlindungan selama kamu bisa bekerja sama denganku. Suka cokelat hangat atau kopi?"

Dia menggeleng lemah. Sorot matanya memendarkan kecurigaan. Sebelumnya memang kugunakan suntik bius total saat membawanya pindah room. Tubuh kecilnya membuatku mudah untuk menggendongnya memasuki basemen dan melalui tangga rahasia di ruang bawah tanah yang menghubungkan seluruh ruangan secara langsung. Walaupun pak Rahman telah mengetahuinya, namun pada kenyataannya hanya aku yang pertama kali diizinkan mendapat akses untuk membuka jalan rahasi itu oleh pemilik klinik ini. Pak Rahman tidak banyak berkomentar dan segera membantu apa yang bisa dia bantu untuk meluluskan jalanku. Meskipun di ruang publik kami adalah tim yang berbeda dan saling acuh tak acuh, realitanya kami tetap akrab dan solid satu sama lain.

"Atau mau bir, wine, champagne?" Tanyaku untuk mengarahkan pasien pada jebakan khasku.

"Saya belum pernah meminum semuanya, bu. Saya hanya suka jus alpukat."

"Wah, pilihan yang bagus. Yang manis atau original?"

"Manis, bu. Terima kasih."

"Sama-sama."

Aku meminta tolong kepada suster Nervi untuk membeli jus Alpukat dan cappucino kesukaan suamiku agar mengurangi perasaan rindu khas pengantin baru, tidak lupa aku juga mengatakan agar suster Nervi memesan minuman untuknya dan OB yang dia suruh.

"Apa yang terjadi waktu itu, de?" Tanyaku memulai penyelidikan sekaligus kebutuhan data medis.

"Aku ingin kabur, bu. Selama ini aku dipaksa, dilecehkan, dan diancam olehnya."

"Sudah pernah melakukan hubungan badan?"

"Sudah."

"Masih ingat, berapa kali itu pernah terjadi?"

"Lupa, bu."

"Bagaimana perasaan kamu saat itu?"

"Saat ituuu.... Saya tidak berdaya, bu. Tapi siapa yang akan percaya jika saya membunuhnya karena membela diri."

"Lebih dari sekali berarti, de?"

"Iiiyyya...."

"Ada hal lain yang kamu ketahui tentang orang itu?"

"Dia mafia, bu."

"Mafia?"

"Dia bos. Semuanya dikendalikan oleh dia, bu."

"Oke, apa yang dikendalikan oleh dia?"

"Banyak."

"Apa saja, de?"

"Pokoknya dia itu jahat, bu. Dia itu big bos. Semua tunduk dengannya."

"Kejahatan apa yang kamu pernah ketahui dari dia?"

"Dia.... Punya miras. Puluhan bis, berbagai arak, banyak. Ada gudangnya. Rahasia."

"Kamu tahu?"

"Iya."

"Di mana itu, de?"

"Di tempat rahasia, barusan saya sudah bilang rahasia."

Aku terdiam untuk beberapa detik. Memperhatikan wajah gadis di hadapanku yang lagi-lagi memendarkan pandangannya mengelilingi ruangan. Sorot matanya penuh waspada. Mimik wajahnya mengekspresikan beberapa situasi yang berbeda, kadang terlihat cemas, takut, kadang juga sumringah. Aku menghela nafas panjang, dalam hatiku memastikan jika pasien ini kemungkinan besar tidak akan dapat memberikan keterangan valid di pengadilan nanti. Lebih buruknya lagi jika ada pihak yang menyabotase alam bawah sadarnya dan mengarahkan agar dia mengakui suatu tindakan yang tidak pernah dia lakukan.

"De, apa yang kamu khawatirkan saat orang itu telah kamu bunuh?"

"Saya tidak membunuh, bu. Berani sumpah. Dia mati karena... Karena.... Saya lupa, bu. Dia mati karena apa ya, bu??"

"Kamu menusukkan pisau tepat di dada sebelah kirinya, de."

"Oh iya, itu. Hahahahahaaaa.... Syukurin. Orang seperti dia memang pantas mati, setelahnya saya bisa bebas!!"

"Berapa lama kamu bekerja dengan orang itu?"

"Berapa lama?? Sejak ibu meninggal dan ayah pergi entah ke mana."

"De, orang yang kamu bunuh adalah ayahmu sendiri. Kamu tidak sadar??"

"Hahhh?? Oh iya, bu. Hahahahahaaa.... Iya dia ayahku dan dia harus mati."

"Mengapa harus mati? Kamu tidak sayang terhadap ayahmu??"

"Sayang, bu. Aku sangat menyayangi ayahku.... Huhuhuhu, ayaaaahhhhh...." Dia menangis dengan ekspresi kesedihan yang begitu dalam. Aku memberikan pelukan hangat yang lembut, lalu kugenggam kedua jemari tangannya.

"Ada apa sebenarnya antara kamu dan ayahmu, de? Ayo bicara yang jujur, sayang...."

"Ibu percaya jika saya tidak gila??"

"Ya, saya bisa mempercayai itu selama kamu memberikan tanda-tanda bahwa kamu baik-baik saja."

"Setelah ibuku meninggal, saya tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Orang tuaku sebelumnya telah bercerai. Pada awalnya saya ikut ibu, setelah ibu tiada kemudian ayah membawaku ikut bersamanya. Ibu tiriku bukan orang yang baik. Dia telah memiliki dua anak laki-laki dengan suami sebelumnya. Yang paling besar seumuran denganku, yang kecil masih SD kelas tiga. Sejak aku masuk rumah mereka, ibu tiriku tidak bersikap baik. Akuu.... Huhuhuu...." Tangisannya kembali pecah. Kali ini lebih pilu karena seakan menahan beban berat yang meronta untuk dilepaskan.

"Katakan saja, sayang. Tidak apa-apa."

"Akkkuuu.... Setiap hari disiksa.... Huhuhuu...."

"Oleh siapa?"

"Ibu tiri dan ayahku. Mereka sama saja, bu. Aku tidak mendapat perlindungan dari ayah yang seharusnya menjaga anak perempuannya. Ayah lebih memilih istrinya itu. Huhuhuhuhuuuu...."

"Oke, sayang. Lalu apa yang terjadi??"

"Ibu tiriku adalah seorang germo, ayahku juga mungkin sama. Mereka memiliki banyak kafe yang menyediakan arak dan gadis penghibur. Aku harus bekerja di situ juga...."

"Bekerja sebagai apa, de??"

"Awalnya aku dijadikan pelayan tanpa bayaran sepeser pun. Lama-lama aku dipaksa melayani tamu yang adalah laki-laki...."

"Oleh siapa, de??"

"Ibu tiri dan ayahku, bu. Huhuhuhuhuuuu...."

"Sejak kapan mereka melakukan itu??"

"Sejak saya lulus SMA, saat itu masih sembilan belas tahun. Sebelumnya saya menjadi pelayan biasa dan mencuci piring sama gelas kotor, dua bulan setelah lulus SMA saya dipaksa melayani laki-laki itu."

"Berarti keperawanan kamu diambil oleh tamu di kafe orang tuamu?"

"Tidak, bukan tamu."

"Lalu siapa??"

"Anak sulung ibu tiriku. Saya benciiiii.... Huhuhuhuhuuuu...."

"Ayah dan ibu tirimu tahu?"

"Ayah tidak tahu, ibu tiriku tahu. Malahan ibu tiriku kemudian memberikan pil kontrasepsi agar saya tidak hamil."

"Setelah itu??"

"Setelah saya tidak perawan, ibu tiri memaksaku untuk melayani tamu di kafe. Dia mengancam akan melaporkan bahwa saya telah tidak perawa pada ayah jika menolak."

"Ayahmi lalu tahu??"

"Ayah tentu saja tahu. Mungkin mereka bersekongkol karena tubuh saya laris, banyak yang suka."

"Lalu kamu membunuh ayahmu??"

"Sebenarnya bukan hanya ayahku, bu...."

"Lalu??"

"Saya ingin membunuh ibu tiri dan anak sulungnya terlebih dahulu. Akan tetapi malam itu ayah sedang mabuk, dia memaksaku untuk melayaninya...."

"Ayahmu??"

"Iya, ayah saya yang sedang mabuk itu memaksa saya untuk melayaninya."

"Kamu melayani??"

"Saya menolak. Ayah menamparku dua kali, lalu memukul wajah, dan menendang perut. Serasa mau mati saat itu. Saya muntah darah. Ayah semakin kalap, dia mengambil sabuk yang sedang dipakai dan menyabetkannya pada tubuh saya."

"Apakah ayahmu sadar sedang melakukan itu padamu, de??"

"Saya tidak tahu, bu. Yang pasti setelah dapat kabur, saya menuju dapur. Ayah masih mengejar sambil sempoyongan. Saya takut, panik, akhirnya mengambil pisau dan menusuk ayah hingga terkapar di lantai. Setelah itu saya lari keluar rumah. Saya menangis di sepanjang jalan. Takut."

"Saat itu di rumah tidak ada orang selain kamu dan ayahmu??"

"Tidak ada. Ibu tiriku purik entah ke mana, malam sebelumnya saya sempat mendengar mereka bertengkar hebat."

"Kedua anak bawaan ibu tirimu?"

"Yang sulung sedang di kafe, kalau adiknya saya tidak tahu. Mungkin main entah ke mana bersama teman-temannya."

"Mengapa kamu tidak bekerja di kafe??"

"Saya sedang sakit, sudah dua hari itu saya sakit demam."

"Yang sabar ya, de. Tapi kamu masih ingat sesuatu hal yang baik tidak dari ayahmu??"

"Ada."

"Apa itu??"

"Dulu ayah selalu mengantarkan saya ke sekolah memakai sepeda karena saya sering diledek oleh teman-teman. Setelah tahu siapa ayah saya, mereka berhenti meledek dan berbuat jahil."

"Kamu masih sayang dengan ayah??"

"Masih, bu."

"Menyesal telah membunuhnya?"

"Tidak."

"Mengapa??"

"Karena dia jahat. Saya lega setelah membunuhnya. Hahahahahaaaa.... Saya bebas, bu. Hebat kan saya?? Hahahahahahaa...."

"Setelah membunuhnya, kamu pergi ke mana?"

"Ke makam ibu di kecamatan sebelah, bu."

"Jalan kaki??"

"Iya."

"Lalu sesampainya di makam ibu, apa yang kamu lakukan??"

"Ngobrol, hehehehe...."

"Dengan siapa?"

"Dengan ibu. Sebenarnya ibu tidak benar-benar mati, bu. Ibu masih ada loh, buktinya masih bisa ngobrol dengan saya."

"Ooohhh iya, kalau boleh tahu tentang apa obrolannya?"

"Ya saya bilang kalau ayah sudah mati, saya yang membunuhnya. Hahahahahaaa...."

"Lalu apa tanggapan ibumu, de?"

"Ya senang. Dia tertawa, lalu kami menariiiii. Lalalalenggung....lenggung.... Kami sangat bahagia, bu. Oh iya bu, ibu saya itu dulunya adalah penari Topeng. Pinter banget kalau nari. Hehehehehee...."

"Kamu menari bersama ibu di makam, de??"

"Ehhhh tidak, bu. Saya hanya menangis. Ibu saya mati, ayah pun mati. Huhuhuhuhuuuuu...."

"Baiklah, kamu istirahat dulu ya de. Sebentar lagi jus alpukatnya datang."

"Loh saya pesan jus ya, bu? Saya tidak punya uang. Boleh jika bayarnya pakai jasa? Saya bisa mencuci piring, gelas, perabot dapur juga. Menyapu ngepel apalagi, saya jago beres-beres rumah."

"Hehehe.... Tidak apa-apa, de. Gratis buat kamu ya."

"Lah jadi tidak enak, bu. Atau mau jasa lainnya? Tapi ibu kan perempuan... nanti bagaimana caranya memuaskan ibu??"

"Hahahaha.... Tidak perlu, de. Cukup jadi anak yang baik ya, nurut, jangan suka ngambek. Oke??"

"Oke, bu. Terima kasih, bu. Hehehehehe...."

"Sama-sama, sayang."

"Bu...."

"Iya?"

"Saya tidak gila loh, bu. Tapi mengapa waktu borgol di tangan saya dilepas, ibu polisi mengatakan bahwa saya gila, bu??"

"Salah dengar saja, de."

"Katanya saya gangguan mental, bu."

"Nanti kamu bisa membuktikan bahwa kamu tidak gila. Mau??"

"Mau, bu."

"Ya udah, setelah minum jus itu nanti selang satu jam kamu minum obat ya. Nurut sama suster, jangan marah-marah."

"Siap, bu."

"Oke, bagus. Dengan begitu kan ibu jadi tambah sayang loh sama kamu, de."

"Benarkah??"

"Iya, serius."

"Huuuuuuu...."

"Loh nangis, mengapa?"

"Karena selain ibuku, hanya ibu dokter yang bilang sayang sama saya. Huuuuuuu...uuuuu...."

"Semua orang sayang sama kamu, de. Percayalah itu."

"Ayahku tidak, bu!!"

"Kecuali ayahmu."

Obrolanku dengan pasien dari bangsal 07 itu terhenti saat suster Nervi membawakan dua bungkus minuman.

"Nah, ini jusnya datang. Ayo diminum, de. Saya tinggal dulu ya. Ingat pesan saya, setelah ini nurut sama suster. Oke??"

"Oke, bu."

Aku berjalan bersama suster Nervi meninggalkan ruangan pasien. Dua suster yang sejak tadi menjaga di luar pintu kuberikan beberapa edukasi khusus untuk siaga di ruangan itu karena ancaman pembunuhan dari orang tidak dikenal tengah mengintai pasien, sedangkan kondisi psikologis gadis itu masih berada pada ambang sadar. Akan sangat berbahaya jika dibiarkan tinggal di bangsal 07 yang terisolasi dan rawan sabotase akses masuk karena minimnya penjagaan. Itulah kekurangan bangsal 07, meskipun dilengkapi dengan fasilitas yang lebih banyak dan memadai daripada bangsal lain namun untuk sistem penjagaan tidak begitu efektif karena setiap dua orang suster jaga ditugaskan untuk bertanggung jawab terhadap 10 room. Sehingga besar kemungkinan adanya celah terjadi suicide atau tindakan kriminal terhadap pasien dari orang asing yang telah mendapat izin akses masuk. Hal seperti itu tidak akan terjadi di bangsal 03 tempatku bekerja. Sejak kedatanganku ke sini, sistem keamanan pasien kurombak dengan membagi 2 tipe sistem room. Ada 2 kamar khusus yang memberlakukan siaga two to one atau seorang pasien dijaga oleh dua orang perawat, dan 8 kamar lainnya one to three atau tiga pasien dijaga oleh satu orang perawat. Saat ini room two to one telah terisi oleh pasien dari bangsal 07 dan pasien lain dengan keunikan jiwanya. Bergelut dengan psikologia seseorang sama saja dengan kita masuk pada jiwa di diri kita sendiri secara utuh.

Pasien 07914

Nama: Tita Maharani

Jenis kelamin: perempuan

Usia: 21 tahun

Add.: Indramayu

Date in: Infinit to justice, BPJS (-) VIP (-)

DID (+)

Alter Ego (+)

BDS (+)

Note:

Unpredictable suicide attack, weird murderer, waiting for criminal punishment.

Ingatanku membawa kembali pada situasi yang pernah kualami sendiri saat SMA dulu. Situasi rumah yang membuatku sangat frustasi dan membenci kehidupan. Alur nasibku memiliki banyak kemiripan dengan kisah Tita, hanya saja aku lebih beruntung karena masih memiliki Julia dan kak Arif saat itu. Mungkin Tita tidak memiliki siapapun selain ibunya yang telah terbaring di bawah batu nisan. Aku tidak dapat membayangkan betapa mengerikannya kehidupan gadis itu bersama ibu tiri yang dzalim dan ayah yang tidak memberikan perlindungan apapun terhadapnya.

Sekarang status Tita menjadi tersangka utama dengan ancaman pidana mati atau paling tidak seumur hidup karena telah membunuh ayahnya sendiri. Keterangan dari saksi malah mengarahkannya pada pembunuhan berencana, sedangkan Tita hanya bisa tertawa dan menangis selama sidang berlangsung. Alangkah tragis takdir hidupnya, alangkah kejamnya praduga dan fitnah. Pantas saja jika kejiwaan gadis itu begitu terganggu. Orang lain hanya fokus pada kejahatannya namun tidak memperdulikan betapa sangat berat kisah yang telah dia lalui sebelumnya. Aku benar-benar mengutuk ibu tiri dan anak sulungnya. Seharusnya merekalah yang dijadikan tersangka ekploitasi anak dengan ancaman, tapi hukum membutuhkan bukti konkret dilengkapi saksi mata. Siapa yang mau berurusan dengan seorang mucikari? Yang tentu saja memiliki banyak bekingan. Siapapun yang mengusik keamanannya pasti akan ada dalam daftar ancaman berbahaya.

Seorang gadis piatu kini bergulat dengan takdir dan jiwanya sendiri. Aku ingin memberinya sedikit cahaya cerah, meskipun tidak mungkin mengembalikan keperawanan yang telah rusak namun aku akan berusaha mengembalikan keadilan dan pemulihan psikologisnya yang sudah bermasalah sangat parah.

Tita.... Semoga aku mampu membantumu, de.

Terpopuler

Comments

Decy Ra

Decy Ra

Titaaaa 🥺🤗🤗😭😭

2023-11-18

0

who i am ?

who i am ?

Semoga, kasihan Tita😢

2023-11-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!