Majalengka semakin intens diguyur hujan setiap hari. Aroma basah dan udara dingin memperkuat keberadaan musim hujan di kota angin ini. Sebagai seorang petugas medis dengan kewajiban tak berbatas waktu, aku telah lama menjadi penyuka kopi. Moccacino latte adalah menu andalanku untuk menghangatkan tubuh, aroma mocca yang khas disertai teknik penyajian dengan latte mampu mengdongkrak semangatku di tengah cuaca mendung yang muram.
"Assalamu'alaikum sayang, udah nyampe mana sekarang?" Tanyaku pada suami melalui panggilan aplikasi whatsapp.
"Waalaikum salam, neng sayang. Sekarang sudah di Cipali, sebentar lagi nyampe Majalengka." Terdengar suara seorang laki-laki yang selalu membuat hatiku berdebar setiap kali mendengarkannya, suara suamiku tercinta, kak Arif Sunandar.
"Oh ya udah, hati-hati di jalan ya."
"Aku bawakan sesuatu yang spesial buat kamu, sayang. Aku juga punya banyak cerita tentang Amsterdam dan Swis, kamu memang perlu segera mengurus visa turis biar bisa ke sini juga."
"Aslinya kakak pulang dengan sehat dan selamat pun sudah merupakan sesuatu yang spesial buatku."
"Idiiihhh udah pinter gombal ya sekarang."
"Hehehehe.... Aku sedang di La Reina, mau sekalian kupesankan cappucino kesukaan kakak?"
"Oh boleh."
"Berapa jam lagi kira-kira masuk Majalengka, kak?"
"Paling sekitar setengah jam lagi, sayang."
"Oke, aku nanti menunggu di mana?"
"Di Summerville saja atuh, kan aku bawa mobil sendiri."
"Cappucinonya nanti keburu dingin atuh kakak sayang...."
"Gampang, tinggal dihangatkan lagi pake microwave."
"Aku tidak bawa motor, pagi tadi mogok soalnya."
"Lah terus berangkat kerja bagaimana??"
"Dijemput suster Nervi, kebetulan dia bawa kendaraan sendiri."
"Oh gitu, ya sudah tunggu di La Reina saja. Nanti aku langsung ke situ."
"Oke sayang. Hati-hati ya nyetirnya."
"Oke, ditutup dulu ya teleponnya. Wassalamu'alaikum sayang...."
"Waalaikum salam...."
Kak Arif adalah seorang lawyer sekaligus pebisnis sukses di bidang properti dengan banyak koneksi perusahaan baik dari dalam maupun luar negeri. Kehidupanku semenjak menikah dengannya 5 bulan lalu begitu membahagiakan, meskipun kami memiliki waktu kebersamaan yang cukup terbatas karena pekerjaan namun bagiku menikah dengan laki-laki yang pertama dan satu-satunya yang kucintai adalah sebuah keberuntungan melebihi apapun. Kami merupakan pasangan yang mampu membuat iri pasangan lain. Seperti halnya saat masih berpacaran dulu, hubungan kami sekarang pun masih menjadi hubungan yang diimpikan oleh banyak orang. Aku bekerja sebagai psikolog dengan tingkat kecerdasanku yang baik, sementara kak Arif adalah lelaki dewasa yang sedang berada di puncak kesuksesan karirnya.
Secara fisik, masing-masing dari kami adalah sosok yang pantas menjadi idola. Aku yang telah mengupgrade penampilan menjadi lebih anggun dan elegan seiring dengan kepentingan profesi di klinik, wajahku yang dulu tidak tersentuh make up kini mendapat perawatan rutin dengan skin care terbaik sehingga siapapun akan merasa pangling melihat kecantikanku. Sedangkan kak Arif kembali menjadi laki-laki yang sangat ceria dan bersemangat setelah dia bertemu lagi denganku lalu kami menikah, wajahnya tampak lebih tampan dan muda dari sebelumnya dengan aura yang kharismatik.
Untuk persoalan materi tentu kami sangat berkecukupan dan lebih dari itu, namun untuk harapan memiliki anak kandung sepertinya menjadi sesuatu yang sulit untuk direalisasikan. Inilah definisi sesungguhnya dari setiap kelebihan pasti menyimpan kekurangan. Takdir lagi-lagi selalu memposisikan keadilan yang seimbang agar manusia menyadari akan adanya ketidaksempurnaan.
Seminggu yang lalu suamiku terbang ke Amsterdam untuk keperluan bisnisnya, di sana dia memiliki banyak teman maupun relasi. Kemungkinan kunjungannya ke Swis adalah ajakan dari salah satu temannya itu karena rencana awalnya hanya akan ke negara Belanda saja selama 4 hari. Sebagai pengantin baru yang bahkan belum genap setahun menikah, kami memang sedang berada di fase paling romantis. Apalagi kami melewatkan momen honeymoon karena terhalang jadwal kerja dengan berbagai pekerjaan yang begitu padat dan urgen.
***
Aku memilih tempat duduk di sudut cafe yang agak jauh dari pengunjung lain. Kebetulan sekarang baru jam 7 malam jadi belum begitu ramai oleh anak muda yang nongkrong bersama teman atau pacarnya.
Rumahku sekarang tidak jauh dari cafe ini. Aku menjual rumah yang ada di Cingambul sebulan setelah menikah dan membangun rumah baru di sekitar gunung Panten namun proses pembangunannya masih berjalan tiga perempat dari keseluruhan, itu sebabnya aku masih tinggal di hotel atau sesekali menginap di vila pribadi milik adik perempuan suamiku yang berada di Sumedang jika menginginkan suasana yang lebih nyaman. Dari tempatku saat ini berada paling hanya butuh waktu tidak lebih dari setengah jam untuk sampai ke halaman rumah baruku, namun tentu saja tidak mungkin kuhuni sebelum selesai pembangunannya. Selain lebih dekat menuju pusat kota dan klinik tempat kerjaku, faktor lain yang membuatku menjual rumah warisan di Cingambul adalah untuk memulai kehidupan yang baru. Aku ingin menjauhkan diri dari banyaknya kenangan pahit kehidupan masa laluku di semua sudut rumah itu. Berbagai klise tentang KDRT yang ibuku terima, tindak kekerasan ayah dan ibu tiri terhadapku, hingga kejadian saat aku mengalami pendarahan yang begitu hebat dan menyakitkan... semuanya menyisakan luka yang sesekali masih terasa sangat menyiksa hingga beberapa kali air mataku menetes karena hal itu. Aku menyadari efek traumatik itu dan sebagai tenaga ahli dalam bidang psikologi, aku ingin hidupku merdeka dan damai sepenuhnya. Tanpa menunda waktu segera kuambil keputusan untuk menjualnya, meninggalkan sisa kenangan burukku untuk ikut terjual bersama bangunan yang megah itu.
"Aruni ya??" Tanya seseorang membuyarkan lamunanku.
"Iya. Siapa?"
"Laaaahhh, udah lupa. Ini aku, Deni. Temannya Arif itu loh. Nah sebentar, aku nyari nomor kontak Arif dulu. Dia mencari kamu ke mana-mana loh neng, waduh kabar bahagia ini...."
"Loh, kak Deni??"
"Iya, neng. Kamu sudah bertemu dengan Arif?"
"Sudah, kak."
"Ah syukurlah, aku lega sekarang. Arif itu seperti orang gila mencari kamu. Dia pasti sangat bahagia sudah bisa bertemu kamu lagi, neng."
"Kak Deni ke mana saja??"
"Aku baru pulang dari Jepang, neng. Biasa magang kerja di sana, baru saja minggu kemarin nyampe sini. Hehehehe...."
"Ooohhh pantesan, hihihi...."
"Pantesan??"
"Aku dan kak Arif sudah menikah bulan Juni lalu, kak."
"Hhhaaaahhhh???"
"Iya makanya aku sedikit aneh, kok kak Deni mau menghubungi kak Arif. Sekarang kan kak Arif sudah menjadi suamiku, kak. Hehehehehe...."
"Alhamdulillaaaaaaahhhhh yaaaa Allaaaaaaahhh...." Katanya dengan suara lantang.
"Jangan keras-keras atuh kak, malu. Hehehe...."
"Syukurlah neng. Seneng dengernya kalau ternyata kalian berjodoh. Kasihan Arif, dia sangat kehilangan kamu, hampir saja gila dia itu."
"Gila bagaimana kak??"
"Nih neng dengerin ya, saksi hidupnya masih ada, aku sama Aksa. Arif itu nangis tiap hari, tidak mau makan, tidak mau minum. Hampir seminggu itu."
"Lah??"
"Orang tuanya sampai bawa Arif ke berbagai kota buat diruqiah, hasilnya tetep zonk. Setiap hari selalu memanggil nama kamu. Nanyain kabar Aruni udah ketemu belum, Aruni di mana...."
"Aku minta maaf kak, permasalahan pribadi antara aku dengan kak Arif jadi merepotkan banyak orang."
"Ya sebagai teman mah neng aku tuh jelas ikut prihatin. Aksa apalagi, dia sampe ikutan nangis sama ibunya Arif. Tahun berganti tapi Arif masih tetap mencari kamu. Jalan menuju ke rumah neng itu kalau dikatakan kasarnya mah udah bosen dijejaki kaki kami bertiga, hampir setiap hari soalnya. Kalau tidak pagi ya siang, kadang sore hingga selesai adzan Isya. Begitu terus sampai hampir dua tahunan mah ada. Gila emang itu si Arif."
"Aku tidak pernah menyangka akan sebegitu beratnya penderitaan kak Arif akibat kebodohanku...."
"Bukan kebodohan neng atuh. Itu salah Arif. Aslinya salah aku dan Aksa juga sih...."
"Maksudnya??"
"Ya waktu itu kami bertiga sama si bopeng yang ngomporin Arif buat melakukan itu...."
"Ooohhh, ya masa lalu biarlah berlalu kak."
"Aku dan mewakili Aksa sama bopeng minta maaf ya neng, gara-gara kami juga Arif jadi melakukan hal yang terlarang. Di sisi neng juga pasti mengalami penderitaan karena itu kan?"
"Sudah kak, yang lalu biarlah berlalu. Pada akhirnya aku memang milik kak Arif sepenuhnya."
"Iya neng, syukur deh."
"Kak Deni sudah menikah?"
"Wah ya sudah neng. Aku jadi nikah sama Tari, hehehehe...."
"Alhamdulillah syukur atuh."
"Udah punya anak dua neng. Yang sulung udah masuk TK, kalau adiknya masih usia tiga tahun lebih."
"Wah selamat ya kak. Kalau kak Aksa ke mana sekarang?"
"Kabar terakhir sih katanya dia menikah dengan orang Cirebon. Sama Sinta tidak dapat restu soalnya. Ya sekarang mungkin ikut istrinya ke Cirebon."
"Oh jauh juga ya. Kak Aksa tuh dulu beneran sayang tidak sih sama Julia??" Tanyaku mengerucut pada sebuah ide yang baru saja terlintas di pemikiranku.
"Julia? Julia Ramayanti??"
"Iya."
"Kurang paham tuh neng, tapi setahuku Aksa tuh cinta pertamanya ya Julia itu. Biasanya kan kalau cinta pertama susah dilupakannya, iya kan? Nah itu. Cuma tidak berjodoh aja sih sayangnya. Hehehehee...."
"Julia sekarang sakit, kak...."
"Hah? Sakit bagaimana??"
"Julia tidak bisa mengontrol kesadarannya sendiri, dia sudah lupa dengan semua hal kecuali anak perempuannya. Barangkali jika melihat kak Aksa mah ada harapan Julia bisa pulih kembali kesadarannya."
"Waduh.... Neng Aruni tahu dari mana soal itu??"
"Aku yang memeriksa keadaan Julia pada bulan Juni kemarin, kak. Sebelum menikah dengan kak Arif."
"Oh neng Aruni teh perawat, dokter??"
"Tenaga medis, kak."
"Iya, dokter?"
"Psikolog."
"Eh.... Atuuuhhh... psikolog mah jalurnya ke masalah gangguan jiwa ya??"
"Benar."
"Wadawww.... Kumaha atuh Julia bisa gitu? Gimana sekarang keadaannya??"
"Terakhir ke rumahnya tiga bulan yang lalu, aku sengaja bersilaturahmi."
"Lalu??"
"Dia benar-benar sudah lupa denganku dan kak arif. Dia juga lupa dengan keluarganya sendiri. Yang diingat hanya anak perempuannya."
"Waduuhhh...."
"Yang memprihatinkan itu kondisinya, kak. Kedua kaki dan tangannya dipasung, dia sendirian di dalam sebuah kamar, diasingkan oleh keluarganya karena sering mengamuk dan mencoba kabur."
"Alaaaahhhh...."
"Berbagai terapi dan pengobatan belum memberikan efek perubahan yang baik."
"Waduh, berat euy. Aksa bisa tidak ya bantu mantannya buat sembuh gitu...."
"Nah itu dia, kak. Aku berharap pada kak Aksa, sayangnya suamiku sudah lama tidak bertukar kabar dengan kak Aksa."
"Nanti aku coba carikan alamatnya Aksa ya neng. Kasihan ih Julia atuh ya...."
"Iya kak. Terima kasih banyak."
"Oh iya, ngomong-ngomong Arif mana??"
"Masih di jalan. Sebentar lagi juga datang, kak."
"Wah aku tidak bisa lama-lama neng, soalnya ke sini mau ambil pesanan istri saja."
"Oh gitu, tapi kak Deni rumahnya masih di Majalengka kan?"
"Iya neng, masih di sini. Istri juga kan orang sini asli, hehehehee...."
"Oh ya udah nanti aku sama kak Arif silaturahmi ke rumah kakak."
"Siap, ditunggu. Nanti aku masakin ramen sama sushi, hehehheehe...."
"Oke, kak. Hehehe.... Salam ya untuk Tari."
"Siap. Ya udah aku duluan ya neng."
"Oke, kak. Eh boleh minta nomor kontak kakak?"
"Oh iya, boleh atuh neng. Sok mangga tah, hehehehe...." Dia memperlihatkan tampilan layar smartphone yang berisi nomor kontaknya, dengan sigap kusalin dan mengklik tombol save.
Julia, temanku....
Semoga usahaku untuk membantumu akan membawa hasil yang positif.
Kak Aksa....
Di mana kakak berada sekarang?
Jika nanti aku dapat menemukan keberadaan kakak, apakah kakak mau membantuku untuk menemui Julia?
Apakah istri kakak dapat memberikan izin kepada kakak untuk bertemu dengan mantan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Othorya jeli bgt nulisnya ya, kagak ada typonya🤣🤣
2023-11-21
0