Aku pulang dari taman Dirgantara dengan tangis yang tak henti sepanjang perjalanan. Beberapa kali sepeda motor supra yang kukendarai sempat limbung dan hampir menabrak pengendara lain. Rumahku berada di kecamatan Cingambul, jarak yang kutempuh untuk pulang ke rumah butuh waktu satu jam lebih perjalanan dari pusat kota Majalengka di mana taman Dirgantara itu berada. Angin Desember memang sangat dingin menusuk kulit. Rintik gerimis seakan menyambut kepulanganku di sebuah rumah mewah dua lantai berwarna biru muda dengan halaman yang cukup luas.
Aku segera memarkir sepeda motor ke garasi kemudian berlari ke lantai dua di mana kamar tidurku berada. Di atas kasur dengan ranjang berbahan kayu jati dilengkapi ukiran khas Jepara, aku menjatuhkan tubuhku dan tangisku kini pecah sepenuhnya. Di mataku masih terbayang wajah kak Arif yang kebingungan dan penuh rasa takut, sedangkan telingaku mengingat dengan sangat jelas perintahnya untuk menggugurkan kandunganku yang entah sudah berusia berapa minggu. Dalam ingatan yang lain aku masih dapat melihat dengan gamblang momen kak Arif melamar Julia, teman dekatku.
"Kak Arif jahat, iblis, bajingan!!!" Pekikku sambil mengepalkan tangan karena emosi.
Andai waktu dapat diputar kembali ingin rasanya aku menghindar dari kejadian malam itu, aku urungkan rencana untuk memberinya surprise anniversary atau segera memintanya mengantarkanku pulang sesaat setelah merayakan anniversary tepatnya sebelum hujan turun dengan deras. Seharusnya aku bisa memberikan perlawanan saat kak Arif akan menanggalkan pakaianku, pada waktu itu tentu ada jeda beberapa menit yang dapat kugunakan untuk melarikan diri sebelum akhirnya menindih tubuhku dan melakukannya. Seharusnya aku lebih berani menembus derasnya hujan berpetir, karena saat itu jelas-jelas kak Arif memberikanku kesempatan untuk pergi. Dari sekian banyak kesempatan yang bisa kugunakan untuk mencegah kejadian itu terjadi, aku telah menyia-nyiakannya. Seharusnya aku tidak sepolos itu, tidak sebodoh itu, selemah itu. Seharusnya....
Sekarang di dalam rahimku telah tumbuh calon janin akibat kejadian itu, sedangkan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan kondisi perutku esok nanti. Aku telah menghancurkan masa depanku sendiri dengan kebodohanku. Aku telah membuat aib di dalam keluarga, entah bagaimana caranya aku dapat menyembunyikan kehamilanku ini. Keluarga ibuku pasti menjadi pihak yang pertama kali akan menghina dan mencemoohku jika mengetahui kenyataan ini. Meskipun aku tidak begitu dekat dengan mereka karena konflik yang terjadi antara ibu dan kakek demi dapat menikah dengan ayah dulu, namun tetap saja mereka adalah keluargaku. Keluarga akan menjadi barisan paling depan untuk menanggapi kabar buruk yang terjadi pada salah satu anggota keluarganya.
Selang beberapa menit aku larut dalam tangisan dan berbagai beban pikiran yang begitu pelik, rasa mual kembali kurasakan. Buru-buru aku menuju kamar mandi untuk menumpahkan muntahan yang telah bergerak cepat di saluran kerongkonganku.
Hooeekk... Hoooeeekk... Hooooeeekkk....
Muntahan itu tumpah ke lantai kamar mandi, berisi komposisi bubur makanan yang tadi pagi baru saja kumakan. Perutku sakit tak terkira, serasa dikocok dari dalam dengan kerasnya. Aku keluar dari kamar mandi dengan langkah terseok. Tubuhku rasanya sudah kehilangan seluruh tulangnya.
Brrruukkkk!!!
Aku terjatuh. Kepalaku menghantam pajangan guci keramik yang berada di samping kiri pintu kamar mandi. Darah segar keluar dari kepala bagian samping kiriku, mengucur. Aku masih dapat menguasai kesadaranku meski kepalaku terasa sangat sakit dan pusing. Belum sempat aku berdiri lagi, tiba-tiba darah segar juga mengalir dari betisku. Aku sangat ketakutan. Kuraba celana dalamku, sudah sangat basah. Aku sadar betul keadaan apa yang sedang kualami saat ini. Dengan tenaga yang masih tersisa aku berusaha berdiri lalu berjalan tertatih-tatih menuju pintu keluar kamar.
"Mboookkkk... Tolong aku mboookkk!!!" Teriakku meminta pertolongan.
Darah terus mengalir dengan deras dari kepala dan organ intimku. Seorang perempuan berusia 50 tahunan dengan sangat terburu berlari dari lantai satu menaiki tangga menuju keberadaanku.
"Iya non, ada apa non??" Tanyanya di antara langkah kakinya yang lincah menaiki anak tangga.
"Ya Allahhhh... bapane menea.... Non Aruni pendarahan, bapaneee.... Bapaneeee tolong!!!! Teriaknya ke seluruh penjuru rumah. Dengan sigap mbok Yem memapahku menuruni anak tangga. Sesaat kemudian seorang laki-laki berusia tidak jauh beda dengan mbok Yem menghampiri kami.
"Adddduuuhhh... Non Aruni kenapa ini bu'e???" Tanyanya dengan gemetar. Dia segera ikut membantu mbok Yem memapahku. Saat aku mulai terhuyung dan tubuhku sudah tidak mampu lagi untuk berjalan, tanpa menunggu instruksi dari siapapun dia segera menggendongku. Dia berlari menuju garasi mobil dengan aku dalam gendongannya. Darahku yang membasahi pakaiannya tidak membuatnya jijik atau enggan. Mbok Yem yang terlihat sangat gemetar dengan berbagai kekhawatirannya tidak tertinggal sedetik pun, dia berlari mengikuti kami dari belakang.
Mbok Yem adalah baby sitterku dulu, dia bekerja di sini bersama suaminya yang menjadi sopir pribadi ayah. Saat ibu tiriku memecat semua ART termasuk tukang kebun di sini, mbok Yem dan suaminya dipertahankan oleh ayah. Mungkin ayah masih mengingat jasa baik suami istri ini saat awal pernikahannya dengan ibu yang tidak direstui oleh kakek dan sangat ditentang keluarga. Mbok Yem berasal dari Indramayu. Dia dan suaminya, mang Mamad, sangat loyal terhadap orang tuaku, mereka bekerja tanpa mengenal lelah dan tidak banyak menuntut.
"Mbok, tolong ambilkan dokumen identitas Aruni ya." Suruhku dengan suara lemah. Mbok Yem mengangguk paham, dia segera berbalik arah dan berlari ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali dan duduk di dalam mobil tepat di sampingku. Mang Mamad yang sedari tadi sudah siap di ruang kemudinya segera menyalakan mesin mobil.
"Antarkan Aruni ke dokter Rahman ya, mang." Perintahku masih dengan suara yang lemah.
"Baik, non. Bertahan sebentar ya. Bu'e tolong jaga non tetap dalam keadaan sadar."
"Iya bapane. Hati-hati nyetirnya dan cepet ya."
Mobil sedanku melaju dengan cepat menuju rumah sakit swasta milik dokter Rahman di perbatasan Majalengka dan Ciamis kota. Keluargaku mempercayakan pemeriksaan kesehatan hanya pada rumah sakit itu. Dokter Rahman adalah dokter spesialis kandungan, dapat dikatakan sebagai dokter pribadi ibuku karena kebetulan ibuku adalah teman SMA dokter Rahman. Mereka sering hang out di luar keperluan medis, sehingga bisa jadi kedekatan itulah yang membuat ayah berubah menjadi suami yang kasar dan arogan. Barangkali ayah cemburu dengan kedekatan ibu dengan dokter Rahman. Apalagi pernah kudengar kabar burung tentang perjodohan mereka yang direncanakan oleh kakek. Entahlah, hanya mereka bertiga yang tahu.
***
Waktu terasa berjalan begitu lambat saat kesadaranku perlahan pulih. Aku terbaring di ruang perawatan. Entah sudah berapa lama aku tidak dapat membuka mata. Kulihat sekeliling, tidak ada pasien lain selain aku. Sepertinya ruang VVIP.
"Sudah bangun, neng??" Tanya seseorang. Rupanya kakak sepupu ibuku. Ibuku memang anak tunggal namun kakek memiliki dua kakak kandung perempuan. Sepupu yang saat ini berada di hadapanku adalah anak sulung dari salah satu kakak kandung kakek, aku memanggilnya wa Hasan. Rupanya mbok Yem dan mang Mamad menghubungi wa Hasan saat aku masuk ruang emergency, memang saat itu hanya nomor kontak wa Hasan saja yang masih kusisakan di penyimpanan sim cardku.
"Wa Hasan...." sapaku lirih. Ada rasa syukur yang kemudian berbaur dengan ketakutan di kepalaku.
"Siapa laki-laki yang telah melakukannya, neng??" Tanyanya tepat dengan apa yang sebenarnya sedang kutakutkan. Aku diam masih dalam ketakutanku. Tatapan mataku kali ini menjadi kosong.
"Dia harus bertanggung jawab!!" Sentaknya geram. Suaranya tegas khas perwira.
Wa Hasan memang seorang pensiunan TNI dengan pangkat Sersan. Badannya tegap dan berwibawa. Dari sekian banyak sepupu yang masih kumiliki sepeninggal orang tua mereka, hanya wa Hasan yang sejak dulu memang paling peduli padaku.
"Sudah wa, jangan diperpanjang. Aku sendiri yang salah. Aku yang terlalu bodoh...."
"Mengapa sampai seperti ini, neng? Apa yang telah neng alami?? Neng diperkosa kan??"
"Kami melakukannya secara suka sama suka, wa."
"Dengan pacarmu??"
"Iya."
"Ya Allah neng...."
"Aku minta maaf, wa. Tolong rahasiakan ini dari keluarga yang lain, jangan sampai nama baik kakek tercoreng karena ulahku yang bodoh."
"Akan wa lakukan itu meski neng tidak meminta."
"Terima kasih, wa. Maafkan Aruni ya, wa. Aruni selalu membuat ulah dan merepotkan wawa."
"Sudah jangan dipikirkan. Yang sekarang harus kamu terima pasti akan memberatkan hidupmu selanjutnya, neng."
"Maksud wawa??"
"Kamu mengalami pendarahan dan hilang kesadaran. Kamu sempat dalam keadaan koma selama tiga hari, neng...." Jelasnya dengan suara tercekat.
"Lalu, wa?"
"Kamu telah keguguran, neng. Dokter mengatakan kamu dalam keadaan hamil lima minggu."
"Mungkin Allah menutup aibku dengan cara ini, wa. Haruskah Aruni bersedih karena kandungan itu telah luruh??"
"Ada satu hal lagi yang harus kamu terima sebagai konsekuensinya, neng...."
"Konsekuensi??"
"Rahim kamu telah diangkat untuk mencegah keadaan terburuk dari pendarahan itu. Kamu hampir saja kehilangan nyawamu, neng. Beruntung kamu memiliki mbok Yem dan mang Mamad yang sangat sigap menolong dan membawamu ke sini. Dokter menegaskan bahwa keputusan terbaik adalah mengangkat rahim karena kamu juga memiliki kista."
"Hhhaahhhh??? Lalu...."
"Kamu tidak akan bisa hamil lagi, neng. Seumur hidupmu...."
"Seumur hidupku, wa???"
"Iya, neng."
"Ya Allah wa.... Dosaku memang begitu besarnya, tapi mengapa Allah memberikan karma setega ini???"
"Sabar ya, neng...."
"Ini tidak adil, wa. Mengapa Allah tidak sekalian mengambil nyawaku saja? Aku sudah sangat menderita dengan semua takdir hidupku ini, wa...." Racauku lalu disusul tangisan pilu yang memecah ruangan.
"Sabar, neng."
"Mengapa harus aku, wa? Mengapa harus Aruni Juniarti??!!"
"Sabar...."
***
Aku jatuh lebih terpuruk daripada ketika hidup serumah dengan ayah dan ibu tiri yang kejam. Wa Hasan dengan tulus menemani masa pemulihanku. Dengan menuruti keinginanku untuk menyendiri, dia membawaku pindah ke vila milik ibu yang berada di area perkebunan rambutan di kecamatan Maja. Memang selain rumah yang kuhuni di Cingambul itu, ibu juga mewariskan sebuah vila di daerah Maja. Vila itu berdiri di tanah perkebunan seluas 10 Ha yang juga milik ibu.
Wa Hasan merahasiakan keadaanku dan juga posisinya yang sedang bersamaku. Sehingga jangankan keluarga yang lain, bahkan istrinya yang berada di Sulawesi pun tidak mengetahui kondisiku saat ini. Dibantu oleh mbok Yem dan mang Mamad, dia merawatku yang kehilangan kewarasan setelah pulang dari rumah sakit.
Hari demi hari kulalui hanya diam membisu dengan tatapan kosong. Sesekali aku mengamuk, membanting benda apapun yang ada di sekitarku, menyakiti diri dengan benda tajam, berteriak, hingga menangis histeris. Hidupku terasa benar-benar sudah berakhir sejak itu. Wa Hasan beberapa kali membawaku ke psikolog yang berbeda-beda namun tidak membuahkan hasil. Kebetulan aku pernah menempuh pendidikan psikologi selama 4 tahun di Yogyakarta sebelumnya jadi secara tidak langsung aku pun adalah seorang psikolog. Bukankah seorang ahli tidak mungkin memberikan resep kepada seseorang yang juga ahli di bidang yang sama dengannya? Karena jika dilakukan itu jelas merupakan suatu kelicikan yang menimbulkan perselisihan.
Tiga bulan setelah bergelut dengan depresi yang hampir menjadikanku benar-benar gila, aku mulai menyibukkan diri dengan buku dan olah raga. Berbagai buku kubaca, berbagai macam olah raga kulakukan, salah satu diantaranya adalah silat. Wa Hasan merasa sangat senang melihat perubahanku. Wa Hasan juga mengajariku teknik silat dengan sangat baik, dia memang mahir dan pantas menjadi pelatih sungguhan.
Merasa kondisiku sudah pulih kembali, dia memberiku saran untuk ikut bersamanya ke Sulawesi, memulai hidup baru di luar Jawa. Aku mengiyakan ajakannya. Mbok Yem dan mang Mamad kuberi pesangon berikut modal usaha saat aku memberhentikan pekerjaan mereka dan menjelaskan keberangkatanku ke Sulawesi adalah alasanku melakukan itu. Mereka meninggalkan vilaku dengan tangisan pilu. Telah puluhan tahun mereka mengabdikan diri pada keluargaku, namun pada akhirnya harus berhenti dan berpisah juga. Tidak lupa kutitipkan perawatan kebun dan sawahku kepada beberapa orang yang memang telah kupercayai sejak lama.
Seiring pesawat Garuda take off dari landasan bandara Soekarno-Hatta, kehidupan tragisku di Majalengka segera terhapus dan kulupakan sepenuhnya. Aku ingin semua orang melupakanku. Aku ingin merdeka dari penderitaan fisik dan batin yang selama ini kujalani. Sejak pindah ke vila saat itu, aku telah memutus komunikasi dengan siapapun termasuk kak Arif. Aku sudah tidak ingin memiliki hubungan apapun lagi dengan siapapun. Hancurnya diriku biarlah hanya aku yang menanggungnya. Biarlah dunia tidak lagi menganggapku masih bertahan hidup, biarlah tidak ada lagi Aruni Juaniarti di kota Majalengka.
"Neng, aku punya sahabat seorang psikolog di Manado. Nanti kukenalkan, barangkali saja dia butuh partner kerja sepertimu."
"Iya, wa. Terima kasih."
"Kita akan ke Amsterdam dulu, aku sudah memiliki janji dengan Pietter Van Alderst d'Ost. Kamu butuh teman ngobrol yang lebih baik agar kembali ceria."
"Dia psikolog juga??"
"Lebih tepatnya teman curhat."
"Aku sudah oke, wa."
"Tidak apa-apa, kebetulan aku pun kangen dengan Alderst. Sudah lama tidak bertemu sejak dia kembali ke Holand. Nanti di sana kamu bisa jalan-jalan sepuasnya, ke Paris atau Roma."
"Aku mau ke Koukenhof dan Zaanse Schans."
"Boleh, keliling Belanda dan eropa pun boleh."
"Terima kasih."
"Aku adalah satu-satunya keluarga yang sangat dekat dengan ibumu, namun di saat kamu terpuruk aku malah tidak bisa banyak membantu. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku."
"I'm speachless...."
"Jadi diri sendiri lagi ya, neng. Kamu tetap anak yang sangat hebat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Bahasa apa ini ya Thor, gak paham aku😁🙏
2023-11-19
1
💞Amie🍂🍃
Yang sabar ya, memang penyesalan ada di belakang kalau di depan pendaftaran 😣
2023-11-19
1
who i am ?
semangat Arumi😍
2023-11-17
0