Pengkhianat

Senja telah hilang berganti malam yang pelan-pelan mulai pekat dan suram. Aku duduk di balkon hotel sambil menikmati roti bakar dan wedang sujame yang dibeli oleh suamiku sebelum dia pulang kerja. Kak Arif duduk di sampingku, dia menyeruput cappucino kesukaannya. Kali ini sajian kopi itu sedikit istimewa karena dibuat langsung oleh tanganku. Sepulang dari Belanda kemarin dia membawa satu set coffee maker. Katanya pemberian clien bisnisnya yang adalah produsen minuman kopi kemasan.

"Enak, sayang?" Tanyaku melihat ekspresi kak Arif yang terlihat kurang menikmati.

"Enak kok, beneran. Neng mau cobain?"

"Dua jam yang lalu aku juga minum cappucino, kak. Lain kali aja deh."

"Eh yang ini spesial, sini atuh cicipin."

"Oke deh, aku cobain ya...."

Hoooeeekkkk!!!

Kumuntahkan lagi seteguk cappucino yang baru saja kuseruput. Kak Arif tertawa tepingkal-pingkal. Dia begitu terhibur melihatku yang telah berhasil dibohongi olehnya.

"Kakak jahat!!"

"Enak, sayang?? Hahahahaaa...."

"Harusnya bilang atuh, kepahitan gitu."

"Ini bukan kepahitan lagi, neng. Ini mah kopi gosong dikasih air panas sama gula dan susu, jadi aslinya kopi susu bukan cappucino. Terus ada rasa asem-asemnya gitu lagi, seperti ada campuran ee kucingnya. Hahahahahaa...."

"Ya maaf.... Mengapa kakak tidak protes?"

"Apapun yang telah dibuat oleh tanganmu itu akan aku terima, neng. Meskipun neng menyajikan makanan yang bercampur racun pun tetap akan kumakan tanpa protes."

"Konyol atuh ah. Tidak boleh gitu ke depannya mah. Enak ya enak, tidak enak ya bilang tidak enak."

"Jika bukan aku yang menerima kekuranganmu, lantas siapa lagi yang akan melakukannya? Sedangkan sekarang siapapun tidak akan kuizinkan bahkan untuk sekedar memberikanmu perhatian, sekecil apapun itu."

"Diiihhhh pencemburu."

"Bahkan aku begitu iri terhadap suster Nervi, neng."

"Lah mengapa??"

"Karena dia selalu ada di sampingmu, menemanimu di ruang kerja."

"Atttuuuuhhhh ya kan dia asistenku, sayang. Ikh kamu mah sok aneh."

"Dia normal kan??"

"Lah maksud kakak dia anggota kaum pelangi? Ya normal atuh, dia udah punya anak satu."

"Bagus kalau begitu. Aku khawatir dia menyukaimu seiring berjalannya waktu dan seringnya bertemu. Hehehehee...."

"Kak Arif ada apa sih, kok nyenggol-nyenggol soal hubungan??"

"Aku bertemu dengan Deni."

"Ooohhh iya, kak Deni. Ada kabar apa soal kak Aksa?"

"Belum soal Aksa, neng. Ini tentang kamu."

"Aku??"

"Kamu tidak tahu, belum tahu, atau sengaja tidak mau tahu??"

"Maksud kakak??"

"Deni itu menyukai kamu, neng. Dari dulu. Siang tadi menemuiku."

"Hahh?? Hahahahaa.... Ya udah biarin aja kak, itu kan masa lalu dia juga."

"Masalahnya aku cemburu!!"

"Hahahahahaaaa...."

"Tertawa lebih kencang lagi, aku gigit bibirmu loh, neng!"

"Hahahaaa.... Hhhmmppphhh!"

Kak Arif memegangi kedua pipiku lalu mengunci mulut ini dengan bibirnya. Kami berpagut untuk beberapa menit lamanya.

"Masih sore, kak. Sabar...." Ucapku seraya melepaskan diri dari dekapannya.

"Ada info soal Aksa dari Deni."

"Oh iya, bagaimana??"

Sorry nona, info ini tidak gratis loh."

"Apa bayarannya, tuanku tersayang??"

"Be my cowgirl's helper tonight."

"As you want, tuanku...."

"Deni bilang telah menemukan keberadaan Aksa. Anak itu emang raja gercep kalau soal tolong-menolong. Aksa sekarang tinggal di Cirebon bersama istri dan satu orang anak perempuan. Dia sekarang jadi pedagang fried chicken dan guru ngaji kalau sore. Istrinya itu dulu santriwati dan masih ada trah kiayi, jadi Aksa mengambil alih kendali madrasah milik mertuanya. Deni udah silaturahmi ke rumah Aksa."

"Wow, keren informasinya kak."

"Bagaimana dengan bayarannya??"

"Bisa diatur, sayang. Hehhehee...."

"Aku mau sekarang."

"Diiihh, atuh belum mandi akunya. Mandi dulu ya sebentar."

"Ikuuutt."

"Boleh, ayok!"

Ttttrrrrrdddddd!!!

Terdengar bunyi smartphone milikku bergetar beberapa kali. Aku mengalihkan langkah menuju meja kamar.

"Assalamu'alaikum pak Rahman, bagaimana?" Tanyaku setelah tahu bahwa itu adalah panggilan masuk dari pak Rahman.

"Black.... Blackkk.... Blackkkkk!!!" Ucap pak Rahman lalu telepon terputus.

Aku mengerti dengan sangat baik kode itu. Tanpa membuang waktu segera bersiap diri dengan kembali berpakaian lengkap, tidak lupa kuambil sebuah pisau belati yang kusimpan dengan rapi di dalam koperku.

"Ada apa, sayang??" Tanya kak Arif ikut panik.

"Pak Rahman dalam bahaya, kak. Siang tadi aku mengover pasien dari bangsalnya yang mendapat ancaman pembunuhan kemarin malam. Sekarang pak Rahman yang mendapat ancaman."

"Aku ikut."

"Tidak, kak. Ini tidak ada persangkutan dengan kakak."

"Kamu adalah istriku, neng. Apa yang kamu hadapi, aku pun akan ikut menghadapinya. Aku akan menghubungi beberapa rekan yang bisa membantu kita."

"Jangan, kak. Ini akan berpotensi pada berita di media masa nantinya."

"Loh memangnya ada apa dengan pasien itu??"

"Dia tersangka pembunuhan berencana, namun anehnya ada seseorang yang mencoba untuk membunuhnya di klinik."

"Korbannya siapa?"

"Pemilik kafe, ayahnya sendiri. Dari keterangan pasien, dia mendapat paksaan dan pelecehan sebelumnya. Mungkin ada kaitannya dengan ibu tirinya yang seorang mucikari."

"Berarti ada kekhawatiran bisnisnya terbongkar."

"Nah itu asumsiku. Utamanya ada kekhawatiran polisi akan melakukan penyelidikan lebih dalam sehingga ibu tirinya bisa terseret juga, karena tersangka adalah kunci utama kasus itu. Ini bukan sekedar pembunuhan."

"Aku paham. Tunggu aku di tempat parkir ya, neng. Aku akan ikut denganmu."

"Baiklah. Jangan lama ya, kak."

"Lima menit kita bertemu di sana. Kamu pergi duluan."

"Oke."

***

Klinik sudah mulai sepi. Adzan magrib hilang sesaat setelah aku turun dari mobil suamiku dan berlari menuju lift yang akan mengantarkanku ke bangsal 07. Sebelumnya kak Arif telah kuberi amanat agar tetap menjaga jarak dengan klinik tempatku bekerja, karena statusnya sebagai seorang pengacara dan pebisnis yang sedang hangat diberitakan oleh media.

Pintu lift terbuka di bangsal 07, dua perawat yang biasa berjaga di meja resepsionis kini tidak terlihat. Kosong, suasana sangat lengang dan mencekam. Kakiku langsung terhenti berjalan saat hendak menginjak bercak merah di depanku. Darah. Aku segera berlari menuju ruangan pak Rahman.

"Bapak baik-baik saja??" Tanyaku setelah pak Rahman membuka pintu masuk ke ruang psikiater. Pintu ruangan seperti terdapat bekas dorongan paksa dari luar yang mencoba masuk. Beberapa perawat berkumpul dan bersembunyi di balik meja kerja pak Rahman.

"Bu, mengapa ke sini? Apakah ibu membawa bantuan keamanan?? Orangnya masih ada di sekitar sini."

"Di mana??"

"Dia menuju basemen."

"Bapak memberitahu akses di basemen itu??"

"Tidak. Tapi dia telah berkeliling dan melakukan ancaman ke semua sudut, CCTV juga telah diambil alih olehnya."

"Berapa orang??"

"Yang kulihat ada tiga orang, mungkin lebih. Ini ada seorang perawat yang di meja resepsionis kena tembak di bagian kaki. Pendarahan sudah saya hentikan, tapi harus segera dibawa ke ruang perawatan agar mendapat tindakan lebih lanjut."

"Baik. Begini saja pak, seluruh perawat agar segera keluar dari ruangan ini termasuk yang terluka. Ada berapa perawat yang masih berada di sini, pak??"

"Ada delapan orang berikut yang terluka, bu."

"Mohon maaf, bapak saya instruksikan untuk mengamankan berkas pasien itu yang masih ada di sini. Saya akan memberi instruksi lain kepada para perawat."

"Baik, bu."

"Sus, tolong kerja samanya ya. Jangan takut, insya Allah kita akan selamat. Tolong dua orang bantu temannya yang terluka agar dibawa ke rumah sakit terdekat untuk tindakan penanganan luka di kakinya, pastikan kalian keluar dari sini dengan selamat. Segera laksanakan!"

"Baik, bu. Kami permisi." Mereka berjalan keluar sambil memapah temannya. Aku memastikan keadaan lorong menuju lift masih aman.

"Dua orang dari kalian siapa yang bisa berlari sangat cepat?"

"Saya, bu."

"Saya bisa, bu."

"Baik, kalian kuberi instruksi untuk menghubungi pos satpam. Nanti minta satpam buat koordinasi dengan kepolisian terdekat. Pastikan kalian aman keluar dari sini. Segera!"

"Baik, bu." Mereka pun menyusul langkah ketiga temannya namun beralih arah menuju tangga karena lift telah digunakan oleh temannya barusan.

"Sisa tiga orang lagi. Satu dari kalian kuajak bekerja sama untuk mengamankan berkas penting dari ruangan pak Rahman. Setelah itu berkas langsung over ke bangsal 03 di lantai tiga, di sana ada suster Dini yang sudah saya instruksikan. Dua dari kalian memastikan seluruh pasien di bangsal ini aman, jika perlu gunakan suntikan bius sementara agar keadaan kondusif hingga penyelusup dapat ditangkap."

"Baik, bu."

"Pak, semua sudah kuinstruksikan. Ayo kita ke basemen sekarang!"

"Bu, sebentar...."

"Bagaimana, pak??"

"Jangan lupakan ini...."

"FN lima tujuh.... Kelelawar hitam??" Gumamku saat pak Rahman memperlihatkan senjata api dan terdapat stiker kecil dengan gambar seekor kelelawar berwarna hitam.

"Semuanya keluar, dan jangan ada yang membocorkan apa yang terjadi di antara kami di sini, sekarang!!!"

Pak Rahman menodongkan pistol itu tepat menuju keningku. Darahku mendesir hebat. Aku tidak kaget mendapatkan ancaman dengan pistol seperti itu karena aku pun memiliki dan pernah menggunakannya di saat darurat sekitar 5 tahun lalu. Yang membuatku hampir tidak percaya adalah sikap pak Rahman. Mengapa??

"Ada apa dengan bapak??" Tanyaku tanpa mengurangi kesiagaan pada diriku sendiri.

"Ibu itu orang baru, mengapa dengan lancang mengobrak-abrik lahan kerjaku?!!!"

"Jika bapak bekerja dengan baik, mana mungkin ada orang lain yang kemudian diberikan akses masuk."

"Sombong!! Mati saja kau!!"

"Aku tidak pernah takut dengan apapun, termasuk kematian, pak. Jika bapak menganggap telah berhasil menjebakku, itu suatu kesalahan fatal."

"Alaaahhhh banyak omong!!!"

"Sebelum bapak menarik pelatuk pistol itu, izinkan saya menanyakan satu saja pertanyaan penting."

"Katakan!!!"

"Apa hubungan bapak dengan ibu tiri pasien??"

"Itu personal, bukan urusanmu!!!"

"Kalau begitu, saya harus melakukan sesuatu hingga bapak menjawab dengan jelas!!"

"Apa?!!!"

Bletakkkkkk!!!

Prrraakkkkk!!!

Gubrrraaakk!!!

Satu gerakan cepat dari teknik bela diri Brajamustiku membuat pak Rahman jatuh tersungkur, pistol yang dipegangnya untuk mengancamku barusan kini kuamankan. Tanpa mengulur waktu kulanjutkan dengan penguncian pada tulang lengannya hingga bunyi kretek begitu jelas terdengar. Sesaat kemudian tubuhnya tak bergerak namun nafasnya masih terlihat naik turun. Aku tidak bermaksud untuk membunuhnya, masih terdapat banyak rahasia yang akan kugali dari keterangannya nanti.

Tiga orang perawat menghampiriku dengan wajah pucat karena sisa ketakutan mereka barusan.

"Pak Rahman bagian dari mereka, bu. Yang menembak kaki teman kami juga pak Rahman karena berlari hendak kabur. Sebaiknya ibu segera mengecek basemen, barusan mereka benar-benar ke sini. Pak Rahman berpura-pura mendapatkan ancaman padahal jelas dialah yang memberikan akses masuk kepada mereka. Kami hanya perawat biasa, kunci masuk bangsal ini hanya pak Rahman yang memegangnya."

"Ada berapa orang jumlah mereka, sus??"

"Saya melihat dengan jelas ada lima orang, bu. Semuanya bersenjata."

"Suster bisa bela diri atau menggunakan pistol??"

"Ssssaaayyya tidak bisa, bu...."

"Saaayyyya bisa, paling pistol bu. Cuma takut...."

"Kalau saya bisa bu, dulu pernah belajar bela diri dan masuk akmil. Gagal di tengah jalan banting setir ke nurse."

"Bagus, saya butuh bantuan suster. Kalian berdua ikut denganku ke basemen. Satu suster diam di sini dan tolong hubungi nomor telepon suamiku agar segera ke sini untuk membantu, nanti tolong arahkan menuju basemen. Semoga teman kita yang dua orang itu bisa membawa satpam atau polisi datang tepat waktu."

"Baik, bu. Saya paham."

Sebelum pergi dari ruangan pak Rahman, aku menerapkan teknik wing chun untuk mengunci titik syaraf kesadarannya agar dia pingsan dalam waktu yang lebih lama. Bela diri ini kupelajari dari temanku yang berasal dari Guangzhou pada saat penempatan kerja di pulau Miangas selama 5 tahun. Langkahku menuju basemen bersama 2 perawat yang sebelumnya telah kuberikan senjata untuk bela diri terasa begitu menegangkan. Setiap sudut kuperiksa dengan sangat hati-hati. Basemen ini adalah tempat parkir karyawan klinik. Saat ini tentu saja telah kosong dan lengang karena hampir seluruh kendaraan telah dibawa pulang oleh pemiliknya masing-masing. Ada satu pintu rahasia yang kukhawatirkan telah diakses oleh penyusup itu, yaitu sebuah pintu yang terletak di salah satu tiang penyangga gedung. Melalui pintu itu, semua akses masuk ke setiap bangsal akan sangat mudah didapatkan karena bisa masuk tanpa membutuhkan kartu identitas maupun izin akses kepada petugas. Yang lebih mengkhawatirkan lagi karena pak Rahman telah mengetahui letak pintu itu saat membantuku membawa Tita dan sekarang dia berkhianat.

Sebuah pukulan benda tumpul mengenai perawat yang membersamaiku. Dia jatuh tersungkur dan langsung pingsan. Lima orang laki-laki dengan wajah tertutup masker hitam muncul mengepung kami yang kini tersisa hanya berdua.

"Selamat datang, ibu Aruni yang baik hati. Hahahahahaa...." Ucap salah seorang dari mereka. Suaranya parau dengan tawa menggema dan disusul tawa keempat temannya.

"Apa yang sedang kalian cari? Pintu rahasia sesuai petunjuk dokter Rahman??"

"Bagus kalau sudah paham. Di mana letak pintu itu? Katakan!!!"

"Apa tujuan kalian??"

"Serahkan anak sialan itu."

"Siapa? Tita??"

"Iya. Kami diperintahkan untuk membunuhnya. Dokter Rahman memang tidak berguna, harusnya kami tidak perlu turun tangan malam ini."

"Oh jadi yang gagal membunuh Tita kemarin itu adalah dokter Rahman??"

"Hahahahahaaa.... Mengapa, kaget??"

"Kalian memang pantas menjadi satu tim. Satu orang adalah dokter kejiwaan, lima orang di hadapanku adalah gerombolan yang sakit jiwa. Bahkan gadis dengan gangguan jiwa pun kalian targetkan untuk dibunuh. Siapa yang menyuruh kalian?!!"

"Jangan banyak omong, serahkan Tita!!!"

"Dia adalah pasienku sekarang, aku tidak bisa memberikan izin pada siapapun untuk menyakitinya!"

"Kurang ajar!!!"

Kelima orang itu maju untuk mengeroyokku. Aku memasang kuda-kuda, begitu pun seorang perawat yang menemaniku. Perkataan perawat itu jujur, dia memang menguasai teknik bela diri dengan baik. Dilihat dari cara pergerakan yang dilakukan, sepertinya dia telah mencapai sabuk hitam ilmu bela diri karate. Kelima orang itu dengan mudah terpojok, dua dari mereka telah kubuat tergeletak pingsan. Perawat itu menjatuhkan seorang lawan ke lantai hingga dari mulut lawannya itu tersembur darah segar lalu tergeletak lunglai dan tersisa pergerakan nafasnya yang naik-turun dengan lemah. Pada saat perawat itu lengah untuk beberapa detik, seorang lelaki yang lain melempar sebuah belati hingga hampir saja melukai perutnya. Dengan secepat kilat kulemparkan belati yang kubawa hingga dapat menangkis pergerakan belati itu di udara yang kemudian berbalik arah mengenai lengan pelemparnya. Perawat itu segera bertindak tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat melumpuhkannya dengan mudah setelah itu. Pada saat yang bersamaan sebuah peluru menembus dada kananku. Kesadaranku blank seketika. Aku bahkan tidak dapat merasakan sakit saat itu, tidak ada rasa apapun sama sekali. Aku seperti berada dalam keadaan saat sedang terjatuh dari ketinggian lebih dari 10000 kaki di atas permukaan tanah. Beberapa detik selanjutnya aku mulai mendapatkan kembali kesadaranku tepat ketika tubuku ambruk menimpa lantai basemen. Darah segar mengalir deras dari dada kananku. Sakit tak terkira. Kutahan lubang peluru itu dengan tangan kananku agar pendarahan dapat sedikit terhenti. Kulihat perawat itu dengan sangat lihai melakukan perlawanan untuk melindungiku dari serangan berikutnya. Pistol yang digunakan untuk menembakku kemudian jatuh di hadapannya tepat saat dia berhasil menjatuhkan tubuh lelaki itu. Beberapa saat kemudian terdengar derap langkah kaki berlari mendekati kami. Mereka adalah lima orang berseragam polisi, dua orang satpam, dan dua perawat yang sebelumnya kuberi instruksi. Tak selang berapa lama kak Arif berlari ke arahku bersama kak Deni dan ketiga temannya yang salah satunya adalah teman setia kak Deni, si Bopeng.

"Ibu Aruni terluka parah, tolong segera bantu saya!!" Teriak perawat yang baru saja membantuku melumpuhkan kelima lelaki itu. Dia melepaskan kemeja birunya untuk diikatkan pada luka tembakku. Pendarahan berhasil terhenti sebentar meskipun kemudian tetap merembes keluar dan menetes ke lantai basemen.

"Sayang, ya Allahhhh.... Biar saya saja, sus. Biar saya yang bawa ibu Aruni." Sergap kak Arif yang segera mengangkat tubuhku menuju mobil yang telah diparkirkannya ke dalam basemen ini. Tanpa komando, setelah membantu kak Arif masuk ke dalam mobil, kak Deni segera memegang kendali di bagian kemudi. Mobil bergerak dengan cepat, sepertinya kak Deni sangat paham kondisi kritis yang sedang terjadi padaku. Sedangkan di kursi penumpang bagian belakang, kak Arif mendekap erat tubuhku yang bersimbah darah. Aku terbatuk beberapa kali lalu darah keluar dari mulut dan hidung, rupanya tembakan itu mengenai bronkus paru-paru sebelah kanan. Saat ini, nyawaku benar-benar berada di ambang kematian. Pelan-pelan aku mulai kehilangan kemampuan untuk bernafas karena saluran masuk oksigen tertutup oleh darah yang mengalir keluar. Mataku masih dapat melihat wajah kak Arif yang sangat cemas bahkan terlihat menahan buncahan air mata meskipun pandanganku kian kabur.

"Neng, bertahan ya.... Pleaseeee.... Ya Allahhh.... Den lebih cepat, Dennnn...."

Di basemen klinik, kelima penyusup itu segera diamankan oleh polisi dan satpam yang dibantu ketiga teman kak Deni, sedangkan seorang perawat yang pingsan akibat terkena pukulan di bagain kepala kemudian dibawa oleh ketiga temannya menuju ruang perawatan sementara di lantai dua. Garis polisi lalu dipasang di tempat itu. Sedangkan di ruangan lain, dokter Rahman telah diborgol dan diamankan oleh dua orang polisi lainnya.

Sayup-sayup kudengar suara ibu memanggilku....

"Neng, ayo kita pulang. Ayo ikut ibu pulang...."

Terpopuler

Comments

Decy Ra

Decy Ra

Aruniii 😭😭

2023-11-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!