“Siapa pria itu?.” Sundari hanya mampu menyimpan pertanyaan itu dalam hati.
Setelah selesai makan mereka segera berjalan keluar mall lalu langsung masuk ke dalam mobil.
“Sundari bukankah rumahmu dekat dengan kantor? Tunjukan jalannya aku akan mengantarmu untuk menaruh belanjaan mu lalu kita kembali ke kantor bersama.”
Sundari menganggukan kepalanya menuruti perkataan Dewi meskipun hatinya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Dewi dan Sundari sampai di kantor sedikit terlambat tetapi hal itu tidak menjadi masalah.
“Sundari kalau ada orang lain di dalam ruangan Tuan Fredy tersenyum saja, kau dia bertanya jawab seperlunya jangan terlalu banyak bicara biar Tuan Fredy saja yang menjawab.” Ucap Dewi sebelum Sundari masuk ke dalam ruangan Tuan Fredy.
Dengan perlahan Sundari membuka pintu ruangan, benar apa yang dikatakan Dewi. Di dalam ruangan sudah ada seorang pria yang belum pernah dilihat oleh Sundari.
“Selamat siang.” Dengan sopan Sundari memberi salam.
Pria yang di sapanya melihat Sundari dengan pandangan sinis lalu bertanya kepada Fredy, “apakah dia anak magang?.”
“Dia Asisten baru ku, mengantikan asisten lama yang papi pecat tanpa sepengetahuan ku. Kali ini papi tidak bisa sembarangan memecat karyawan ku karena perusahaan ini adalah milikku sepenuhnya.”
Wajah Pria yang di sapa papi oleh Fredy terlihat memerah menahan kesal, “Mengapa kamu tidak meminta calon istrimu untuk membantu mu di kantor?.”
“Aku sudah pernah coba dia wanita yang sangat manja baru bekerja beberapa jam saja sudah mengeluh lelah, lagipula dia bukan calon istriku.”
Pria itu memandang sinis ke arah Sundari lalu segera keluar tetapi dia berhenti di meja Dewi dan tampak berbicara dengan Dewi bahkan sampai menunjuk-nunjuk Dewi tetapi Dewi terlihat santai saja menghadapi sikap pria itu.
Menjelang sore seorang wanita cantik berjalan dengan angkuh menuju ruangan kerja Tuan Fredy, dia berhenti sejenak di meja Dewi memandang sinis ke arah Dewi.
Tanpa permisi dengan Dewi sebagai seketris Tuan Fredy, wanita itu terus berjalan masuk ke dalam ruangan Tuan Fredy.
Sundari mengenali siapa wanita itu dia adalah Nona Pricilla tunangan Tuan Fredy.
“Hah...lihat itu karena kamu terlalu memanjakan seketarismu dia menjadi kurang ajar dia bahkan tidak menyapa ku saat aku lewat di depannya.”
Nona Pricilla duduk dengan kasar di kursi yang ada di dekat meja kerja Fredy.
“Memangnya kamu mau Dewi melakukan apa? Mengalungi mu dengan bunga setiap kali kamu datang?.” Fredy menjawab dengan santai, wajahnya tidak berpaling dari laptopnya saat berbicara dengan tunangannya seakan dia tidak perduli dengan wanita itu.
Mata Nona Pricilla menyapu ruangan awalnya dia tidak sadar kalau ada orang lain di dalam ruangan itu tetapi ketika dia mendengar suara scaner berbunyi dia segera berdiri dan menghampiri meja kerja Sundari.
Nona Pricilla memandang remeh ke arah Sundari karena penampilan Sundari yang terlihat sedikit tidak terawat.
“Oh...ternyata kamu sekarang sudah merekrut karyawan baru lagi?. Baguslah aku jadi tidak perlu repot membantumu.”
Kali ini Nona Pricilla tidak kuatir ada seorang wanita yang bekerja satu ruangan dengan tunangannya karena dia berpikir tidak mungkin Fredy akan menyukai wanita kumal itu.
“Mengapa kamu datang ke kantor ku?.” Fredy bertanya dengan ketus.
“Hei...aku ini tunanganmu tetapi kamu belum pernah mengajak ku pergi bersama. Bagaimana kalau kita liburan bersama kita cari tempat yang romantis, mungkin ke Paris?.”
“Tidak bisa! Aku sedang banyak pekerjaan, pergilah sendiri atau ajak temanmu nanti aku yang membayar semua tagihannya.”
“Tidak bisa, aku harus pergi dengan mu Papiku yang akan membayar semuanya. Ayolah Fer kali ini saja aku mohon.”
“Mengapa kamu begitu memaksa? Aku sudah bilang aku banyak pekerjaan, karena aku tidak bisa ikut liburan jadi biarkan aku saja yang membayar liburan mu. Ini ambilah kartu ini.” Ferdi melemparkan kartu kredit no limitnya ke atas meja tepat di hadapan Pricilia.
“Aku tidak butuh itu, papi sanggup membayar semuanya.”
Pricilia segera berdiri dengan kesal lalu berjalan keluar.
Sekilas Sundari melihat raut sedih wajah Nona Pricilla, dia melewati meja Dewi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.
“KRUK.....KRUK....” Suara perut Indra yang keroncongan terdengar cukup nyaring.
“He...he...Sundari gue lapar gue makan dulu ya. Nulis novelnya kita lanjut besok lagi ya.”
“Okelah kalau begitu.”
Indra segera berlari ke warteg kesayangannya untuk menyantap makan malam.
Sundari dan Rina pergi berkeliling. Angin membawa mereka melayang ke kantor polisi, seorang wanita muda baru saja keluar dari dalam kantor polisi Sundari mengenali wanita itu,.
“Mbak Laras?.”
“Maksud loe Mbak Dewi?.”
“Iya Mbak Dewi di Novelnya Indra. Sedang apa dia di kantor polisi?.”
“Rina loe bisa berkomunikasi dengan manusia yang tidak punya Indra ke enam?.”
Rina terdiam sejenak mengingat pelajaran yang dia pelajari di sekolah hantu.
“Ah...gue ingat, gue bisa berkomunikasi melalui HP.”
Rina mengerahkan kemampuannya dia mengirim pesan ke HP Laras.
Merasa HP nya berdering Laras segera memeriksa HP nya, ada pesan dari nomer yang tidak di kenal.
Mata Laras terbelalak saat melihat isi pesan itu, bagaimana tidak pesan itu berasal dari orang yang sudah meninggal.
“Mbak Laras ini aku Sundari. Kenapa Mbak Laras datang ke kantor Polisi?.”
Laras tidak menanggapi pesan itu karena dia kuatir pesan ini berasal dari orang jahat karena sewaktu di dalam kantor polisi tadi kepala polisi berkata kalau dia tidak boleh menceritakan hal ini kepada siapapun.
Laras segera memacu mobilnya menuju ke rumahnya. Rina dan Sundari merasa kuatir karena Laras tidak merespon pesan tersebut.
Rina menarik tangan Sundari, dia melayang dengan cepat mengikuti mobil Laras.
Laras segera memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya lalu segera masuk ke dalam rumahnya mengunci pintu lalu segera masuk ke kamarnya. Dia merasa takut dengan pesan yang baru saja dia terima.
Rina berpikir dengan keras mencari cara untuk berkomunikasi dengan Laras. Rina melihat sebuah buku tulis dan pena tergeletak di meja rias Laras.
Rina sudah menguasai ilmu mengerjakan benda-benda di dunia manusi. Rina mengambil pena lalu menulis kata-kata di dalam buku tulis itu.
“Mbak Laras ini aku Sundari, apa yang mbak Laras lakukan di kantor polisi tadi?.”
Laras terlihat sangat ketakutan melihat pena bergerak sendiri terlebih saat dia membaca pesan yang tertulis di atas kertas itu, tiba-tiba saja Laras tersungkur lalu menangis.
“Sundari benarkah ini dirimu? Aku menceritakan semuanya kepada kepala polisi, supaya mereka dapat segera menemukan jasad mu.”
“Aku melihat semua kejadian yang merenggut nyawamu, aku melihat siapa pembunuh mu.”
“Mbak Laras nyawamu sedang terancam cepat pergi ke alamat ini!.”
Laras sangat bingung dan takut dalam hatinya dia bertanya-tanya “apa yang sebenarnya sedang terjadi?.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments