Hari ini Asha dispen dari jam pelajaran pertama karena ia harus membantu untuk menyiapkan perlengkapan untuk acara dekorasi.
Ia menghabiskan waktunya full bersama anak-anak OSIS kali ini, ia dan Reksa ikut membantu teman-temannya terutama pada bagian perlengkapan.
Untung saja Widya menjalankan tugasnya dengan baik kali ini, entah bagaimana bisa ia sudah tak mencampuri urusannya lagi. Bahkan sudah tak melabraknya, meskipun masih jutek tetapi Widya sudah lebih baik.
"Untuk sound system, kurang mic satu." Ucap Jerry.
Hal itu langsung dibalas tanggap oleh Reksa, Reksa langsung mencarikan mic untuk acara nanti. Sementara Asha membantu Widya untuk mendekor Aula.
"Bantuin ambil bunga dong di gudang."
"Udah lurus belum ini papannya?"
"Lampunya yang dipasang cuma ini?"
Teriakan-teriakan mereka memenuhi ruangan satu sama lain, mereka saling bekerjasama satu sama lain supaya semuanya selesai. Mereka berlalu lalang hingga tak terasa waktu menunjukkan sore hari, Asha langsung menghilangkan dirinya dari antara mereka tentunya.
Ia akan menyumbangkan makanan untuk teman-temannya, ia sudah memesan nasi bungkus untuk teman-temannya yang hanya diketahui oleh Reksa.
"Sudah jadi bu?" Tanyanya pada penjual kantin.
"Oh iya ini neng Asha sudah jadi," ibu itu menyerahkan satu kantong kresek hitam pada Asha.
"Makasih ya bu," ucapnya lalu pergi. Ia sudah melakukan pembayaran di awal jadi ia hanya mengambilnya saja.
Saat Asha satang ternyata anak-anak OSIS sudah dibariskan oleh Reksa berhadap-hadapan, jadinya ia hanya tinggal membagikan nasinya saja.
"Nggak boleh ambil dua ini?" Gurau Bima.
"Boleh, nanti lo tinggal bayar aja. Gue pesenin ke penjaga kantin." Bukan Asha yang menjawabnya Melainkan Jery.
"Ogah banget," kesal Bima.
"Neng Clara kalau nggak habis bisa disumbangin ke akang Aldo ya," ucap Aldo dengan genit yang membuat semuanya tertawa.
"Habis gue! Nasi dikit begini mah udah gue sikat," balas Clara dengan nada yang lumayan kencang.
"Adek-adek tercinta jangan kaya patung pancoran yang diem aja," ucap Bima yang melihat adek kelasnya hanya diam saja.
"Takut sama lo itu Bim," timpal Widya.
"Gue ganteng begini kok takut." Ucapnya tak terima.
"Dari sedotan kan," balas Jery yang diiringi gelak tawanya.
Tiba-tiba mereka terdiam saat Reksa menginterupsi untuk memimpin doa, mereka memanjatkan doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Ada yang menengadahkan tangannya, ada yang melipat tangannya, dan ada yang menyatukan tangan tanpa melipat.
"Silahkan semuanya dimakan," ujar Reksa mempersilahkan.
Sesekali mereka bersenda gurau supaya tak suasananya tidaklah sepi, mereka juga mengajak adek-adek kelasnya untuk mengobrol supaya bisa mengatasi kecanggungan dan nantinya bisa melakukan pekerjaan dengan mudahnya tanpa kendala.
"Nih gue ganti uang nasinya," Reksa menyerahkan beberapa lembar uang pada Asha untuk mengganti makanan yang dimakannya dan juga anak-anak yang lain.
"Nggak usah, gue punya uang lebih. Santai aja," Asha melakukannya dengan ikhlas, ia tak mau uangnya diganti oleh siapapun.
"Gue yang harusnya bertanggung jawab sama mereka," bantah Reksa.
"Nggak. Kan gue juga, lo bisa gunain uang lo nanti buat makan sama anak-anak." Asha tetap pada pendiriannya yang tak mau uangnya diganti.
"Thanks ya Sha."
"Lah ngapain," bingungnya.
"Gue kan nggak ngelakuin buat lo aja," lanjutnya.
Reksa memutar bola matanya malas, "Terserah lo." Ucapnya yang diiringi tawa oleh Asha.
"Buat sampahnya taruh diplastik hitam ya! Nanti biar gue yang buang sekalian," ucap Asha memberitahu semuanya.
"Makanan yang kececer itu dibersihin sendiri!" Titah Reksa yang melihat yang lainnya ada yang makan dengan berceceran.
"Siap boss!"
"Iya kak,"
"Iya iya."
Reksa selalu bersikap tegas pada anak-anak OSIS, mereka tentunya sudah terbiasa dengan Reksa. Ia bahkan arang sekali untuk ikut berseda gurau, entah karena apa sepertinya hidupnya memang seserius itu.
Satu persatu dari mereka telah menyelesaikan acara makannya, Reksa dan Asha memilih untuk pulang terakhir supaya mereka bisa tau siapa yang tidak memiliki boncengan.
"Lo nggak ada yang jemput?" Tanya Asha pada seorang gadis yang masih berdiri diluar aula..
"Reksa dia nggak dapet tumpangan, lo anterin ya." Pintanya pada Reksa yang baru saja mengunci pintu aula.
"Terus lo?" Pasalnya Reksa ingin mengantarkan Asha karena Asha tidak membawa kendaraan.
"Rumah gue deket kok," ya meskipun ia harus berjalan empat kilo tetapi tak apa. Adik kelasnya harus segera pulang terlebih dahulu.
"Nggak usah kak, saya nanti dijemput kok." Tolaknya. Riska tak enak hati jika harus merepotkan kakak kelasnya, meskipun ia tak memiliki tumpangan.
"Tuh, gue nganterin lo aja Sha." Ucap Reksa, tentu saja Reksa tau kalau rumah Asha itu jauh. Apa katanya tadi dekat? Pembohong.
"Reksa, kasian Riska pulangnya nggak ada yang jemput. Langit udah mendung gini, sana anterin." Asha mendorong bahu Reksa supaya mau mengantarkan Riska. Ia akan melakukan cara apapun juga supaya Reksa mau mengantarkannya.
"Yaudah, lo ikut gue." Putusnya yang membuat Asha tersenyum senang.
"Iya kak, makasih ya kak Asha." Ucap Riska yang masih sedikit tak enak hati, walaupun begitu ia sangat berterimakasih pada Asha yang mengorbankan dirinya untuknya. Sungguh gadis yang baik, pikirnya.
"Gue duluan, lo hati-hati."
Meskipun Reksa sempat memarahi Riska yang tak mau berbicara dari awal supaya bisa mendapat tumpangan tetapi tak urung juga ia mau mengantarkan Riska.
Asha mulai melangkahkan kakinya kala ia melihat punggung reksa menghilang ditelan oleh jarak, ia juga sempat membuang sampaj yang dibawanya di depan gerbang sekolah dimana bak sampah yang besar berada.
Awan mendung mulai menutupi seluruh pandangannya pada langit, pastinya sebentar lagi akan turun hujan. Benar saja Asha baru melangkahkan kakinya sebentar hujan malah sudah turun, terlebih lagi demannya yang belum kunjung sembuh membuat tubuhnya kedinginan.
Ia memilih untuk meneduh di salah satu toko yang baru buka karena hujannya begitu deras, ia selalu berdoa supaya ia sampai rumah tidak begitu petang. Ia takut mamanya menjambaknya kembali.
"Dingin banget," gumamnya dengan menggosok-gosok kedua tangannya supaya hangat.
"Soalnya hujan lagi deres-deresnya, masih demam kok nekat kumpul OSIS." Ucapnya sengan menyampirkan jaketnya pada pundak Asha.
"Loh Mahanta," Asha tersentak kaget kala mendapati Mahanta di sampingnya. Entah dari mana dirinya datang ia tak menyadarinya.
"Gue baru aja beliin titipan mama," ia menunjukkan kantong kreseknya seakan tau isi pikiran Asha.
"Ayo ikut kerumah gue, baju lo basah. Nanti gue anterin balik," Mahanta langsung menggandeng tangan Asha begitu saja.
"Gue mau langsung pulang, nanti gue dimarahin mama." Ucapnya.
"Ini kan masih hujan, mama lo pasti ngerti kalo lo lagi neduh sampai hujannya reda." Ucap Mahanta yang langsung dijawab gelengan yang kuat oleh Asha.
"Anterin gue pulang aja ya Ta," ia takut jika mamanya memukulnya lagi. Atau bahkan lebih parah, ia tersenyum getir.
Mahanta tetap menarik tangan Asha untuk menuju mobilnya, untung saja ia membawa payung jadi Asha tak akan basah saat menuju mobilnya.
"Mama lo suka mukulin lo?" Tanyanya saat sudah berada di dalam mobilnya. Ia sengaja tak melajukan mobilnya, ia ingin mengetahui tentang Asha.
"Lo percaya?"
Dari kalimat yang Asya lontarkan, Mahanta yakin bahwa setiap Asha bercerita tidak ada yang mempercayainya. Sekarang ia tau kenapa sosok Asha menutup dirinya sendiri.
"Percaya." Jawabnya dengan yakin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments