Mahanta menatap langit malam dengan senyuman yang merekah, ia tersenyum dengan tangan yang masih menggenggam sepotong kertas yang diberikan Asha tadi.
Gue tau kalo lo nyembunyiin rokok dibawah kursi pake lakban, kali ini lo selamat.
"Your'e so cute," gumamnya.
Ia tak akan membuang kertas itu, Mahanta akan menyimpannya sebagai barang berharga. Sial, pesona Asha tak main-main padahal Asmita lebih cantik dari Asha. Tetapi Mahanta malah tertarik dengan pesona Asha yang tak di buat-buat.
Mahanta beranjak dari bangku taman, ia tak sadar melangkahkan kakinya menuju rumah Asha. Rumah sederhana yang keberadaannya tak jauh dari rumahnya. Ia berdiri tepat di bayangan pohon, ia mengamati rumah itu lalu tersenyum. Rumah pujaan hatinya.
Matanya menyilit kala melihat seorqng perempuan tengah keluar dengan wajah yang sudah berair, senyum Mahanta mendadak hilang kala melihat perempuan itu adalah Asha. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Asha dan memeluknya erat.
Asha sempat terkejut saat mengetahui keberadaan Mahanta yang tiba-tiba memeluknya. Lagi-lagi Mahanta melihat dirinya saat lemah dan tak berdaya, Asha menangis dipelukan Mahanta dalam diam.
Dadanya sesak, rasanya sakit. Asha harus bertahan hidup dengan semua rasa sakit dan luka yang kian mendalam, ia harus menahan lagi. Ia tak mampu untuk sekedar menceritakan rasa sakitnya, ia lemah.
"I wanna ice cream," ucap Asha yang sudah sedikit membaik.
Entah apa yang membuat perempuan dihadapannya menangis, Mahanta tak berhak untuk mengetahuinya jika bukan kemauan Asha sendiri. Ia hanya bisa memberikan pelukan untuk Asha, semoga ia memberikan pelukan hangat.
Mahanta terkekeh saat Asha mengucapkan bahwa dirinya ingin ice cream. "Let's go."
Mahanta menggandeng tangan Asha dan menuntunnya menuju ke kedai ice cream yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mahanta mampu melihat dengan detail, meskipun ia hanya melihat wajah Asha dengan sekilas. Matanya sembab karena menangis, pipi sebelah kirinya merah dan rambutnya acak-acakan. Mahanta yakin pipi yang merah itu bekas tamparan.
"Mau ice cream vanila yang extra large size," pinta Asha pada Mahanta saat sudah sampai di kedai ice cream.
Untung saja Asha memakai kacamata, jadi orang-orang tidak akan menyadari kondisi matanya yang sembab. Ia juga sudah merapikan penampilannya sewaktu berjalan tadi, Asha sudah terlihat baik-baik saja.
"Nggak mau di mix aja?" Tanya Mahanta.
Asha menggelengkan kepalanya, "enggak. Lagi mau makan yang vanila."
Mahanta langsung memesan ice cream untuk Asha, "Lo juga pesen ya Ta. Gue nggak mau makan sendirian," pinta Asha dengan menampilkan deretan giginya. Asha sangat benci kesendirian.
Mahanta tersenyum mendengar permintaan Asha, "Nih." Ia menyerahkan ice cream pesanan Asha yang langsung diterima dengan mata berbinar oleh Asha.
Bagi Asha ice cream itu sumber kebahagiaan, Asha suka makan ice cream. Saat memakannya, ia akan melupakan rasa sakitnya. Saat menikmati dinginnya, ia akan melupakan rasa panas yang menjalar dimatanya.
"Lo sesuka itu sama ice cream ya?" Tanyanya yang kini sudah duduk di salah satu bangku taman.
"Iya, soalnya gue suka makanan manis." Jawabnya dengan senyum manis.
Mahanta menganggukkan kepalanya, "Kalo gue nggak suka makanan manis. Rasanya eneg," ujarnya dengan terkekeh.
Asha menganggukkan kepalanya, "semua orang punya pilihannya sendiri. Sorry ya kalo gue maksa lo makan ice cream, padahal lo nggak suka." Ujarnya dengan tak enak hati.
Mahanta menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak, nggak, bukan karena lo kok. Gue pengen coba aja, ya meskipun gue makannya nggak sebanyak yang lo makan."
"Sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik, buang aja kalo lo emang nggak suka."
Mahanya menghembuskan nafasnya panjang. "Nggak ah, gue masih mau nyoba."
"Jangan memaksakan diri."
🍄🍄🍄
"Enak banget ya jadi Asha, dia disukai banyak orang meskipun jarang tebar pesona kaya kita." Jujur Indah sangat iri dengan Asha yang disukai banyak orang.
Padahal Asha biasa saja, bahkan jika dilihat masih cantikan dirinya. Ia heran sekali, kenapa sosok Asha banyak yang menyukai. Ya meskipun hanya anak-anak organisasi yang mengincarnya untuk bergabung. "Dia kan pinter," jawab Bela.
"Nggak terlalu sih kalo kata gue." Timpal Asmita.
"Apa jangan-jangan dia pake pelet?" Tuduh Indah. Ya wajar saja kan kalo Indah curiga dengan Asha. Tampang boleh polos, tetapi hati manusia siapa yang tau?
"Ngaco lo." Bantah Bela.
"Apa jangan-jangan dia jual diri?" Tanya Asmita tanpa merasa berdosa.
Toh Asha tak pernah mau berkumpul dengan mereka, kalo diajak pasti ada saja jawabannya. Wajar dong kalau Asmita bilang begitu, atau mungkin simpanan om-om? Rasanya wajar saja, terlebih lagi Asha anak yang kurang mampu juga. Bisa saja kan ia melakukan segala cara untuk membayar SPP bulanannya.
"Tampilannya aja kaya orang bener Ta, jangan ngada-ngada deh." Bantah Indah, yang benar saja. Penampilan Asmita sangat tidak membuktikan bahwa dirinya simpanan om-om. Lihat saja bahkan ia tak
"Jaman sekarang penampilan bukan jaminan Ndah, liat aja Asha anaknya juga bukan yang kudet-kudet banget."
"Ya masa Asha begitu Ta, nggak pantes banget buat jadi simpenan om-om." Sangkal Bela yang masih tak percaya.
"Jadi maksud lo Asha nggak cantik gitu?" Tanya Asmita memastikan.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Mereka tertawa terbahak-bahak dengan mata yang saling melihat satu sama lain, mereka tertawa karena pemikiran mereka sama. "Kalo dipikir-pikir sih iya, cewek begitu siapa juga yang mau." Ucap Bela yang belum meredakan tawanya.
Kita tidak bisa meminta orang-orang untuk menyukai kita, kita seperti kertas putih pada buku. Ada yang menyobeknya, ada yang mempermainkannya, tetapi ada juga yang menghargainya dan dijadikan sebagai tempat pengingat.
Semesta tak akan hanya mempertemukan kita dengan orang baik, ada kalanya kita dipertemukan dengan orang yang manipulatif supaya kita tahu, seberapa jauh kita bisa memahami sifat yang tak bisa tertebak hanya dengan pandangan singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments