"Bersama denganmu membuatku sedikit tidak nyaman. Jangan mendekatiku dan larilah sejauh mungkin. Jika terus seperti ini, aku takut aku akan bergantung padamu . Kita tidak dekat hanya sebatas saling tegur dengan tidak sengaja."
“Ini bukan rumah gue!” Seruku pada Raka yang kini masih menyenderkan badannya di sampingku. Kini kami berada di sebuah rumah yang menjulang megah dengan tanaman yang menghiasi bagian luarnya dihadapanku.
“Gue tau.” Raka keluar tanpa memperdulikanku membuatku menatapnya tidak percaya. Untung Dewa sekolah kalau bukan sudah kuhancur leburkan di dikakiku.
Melihatnya keluar aku mengikutinya dengan tergesa, hell, tentu saja aku tidak mau ditinggal sendiri disaat seperti ini. Segala pemikiran alur novel tentang penjualan organ melayang di pikiranku, aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin jika Raka akan menjualku kan! Membayang saja membuatku bergidik ngeri.
Raka memasuki rumah tanpa permisi dengan aku yang menjadi ekornya seperti anak ayam. Aku mendongak melihat tangga menuju lantai dua di rumah ini, aku ragu untuk melangkah lagi.
Mengedarkan pandanganku kesekitar, aku sedikit terpana dengan luas rumah ini. Di dalam rumah terdapat beberapa vas yang dipajang dengan glamour.
“Ngapain disitu?” Raka berbalik kearahku.
“Terus gue harus kemana?” tanyaku padanya. Kenapa aku merasa sangat bodoh sekarang.
Raka meninggalkan ku dengan pertanyaanku keatas. Aku hanya menggaruk keningku yang tidak gatal, aku tidak salah kan menanyakan itu. Lagipula aku tidak tahu harus kemana.
Aku menunggu Raka dibawah dengan tatapan kosong. Aku tidak tahu harus apa, jadi aku dengan konyolnya menunggu Raka di samping tangga. Daripada aku menyelonong tidak sopan mending setidaknya aku benar dengan menunggunya dibawah. Aku hanya sedikit heran, rumah luas seperti luasnya kerajaan ini aku tidak menemukan siapa pun didalamnya kecuali satpam yang tadi membukakan pintu gerbang.
Jika memiliki rumah seperti ini otomatis akan memiliki banyak pembantu di rumah, tapi ini zonk. Aku tidak melihat siapa pun seakan ini rumah yang telah lama tidak dihuni jika tidak melihat barang-barang yang didalamnya sangat bersih dan rapi. Tidak lama terdengar langkah kaki yang membuatku mendongak dan langsung dengan bertubrukan dengan mata hitam. Kini Raka berpakaian biasa, kaos putih dan celana pendek selutut berwarna abu-abu.
Dengan pakaian yang Raka pakai saat ini menambah daya tariknya sendiri, aku yakin jika ada anak sekolah yang melihat ini sekarang mereka akan menjerit dengan lebay.
“Masih hujan, gue anter lo nanti.” Setelah mengatakan itu Raka pergi lagi.
Aku menghentakkan kakiku. Sial. Aku di sini bagaikan pajangan yang tak kasat mata, dengan seenak jidat Raka meninggalkanku tanpa melirikku sedikit pun. Lagi-lagi aku mengekor di belakang Raka, aku takut akan kesasar karena aku mengakui bahwa aku buta arah.
“Nggak perlu nganterin gue, gue pinjam ponsel lo aja nanti gue bisa suruh Cila buat jemput.” Aku berkata sambil mengikuti langkah kakinya.
Perkataanku tidak digubris sama sekali olehnya atau mungkin dia tidak mendengarku. Aku menahan nafas kesal. “Nggak perlu nganterin gue. Gue pinjam ponsel lo aja nanti gue bisa suruh Cila buat jemput!” Aku meninggikan suaraku.
“Gue nggak budeg.”
Jawaban datar Raka membuatku semakin kesal. Jika dengar kenapa tidak menjawabku langsung, ingin sekali aku membakar seseorang. Kini kami berada di ruang tamu, setelah Raka duduk aku juga ikut duduk tanpa dipersilahkan karena aku tahu bahwa kata dari Raka sanggatlah mahal.
Raka menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa dan memijat keningnya sedikit. “Nggak perlu ngomong sama teman lo. Gue yang bawa lo kesini artinya gue juga yang harus mulangin lo dari sini. Paham.”
Aku hanya manggut dibuatnya. Tidak lagi ingin memprotes lagi, aku tidak mau lagi ada perdebatan.
“Kak. Lo tinggal sendiri disini? Nggak ada pembantu gitu, terus orang tua lo dimana?”
“Orang tua gue ada urusan bisnis kalau pembantu, mereka cuma beresin rumah terus balik lagi ke rumah masing-masing. Untuk masak, gue bisa sendiri.”
Hebat. Putra tunggal tahu cara memasak sendiri. Aku sendiri masak masih keasinan, kemanisan atau apalah yang membuat masalah pada masakanku. Tidak adil sama sekali, aku miskin, bodoh, tidak bisa masak sedangkan Raka yang kaya dan putra tunggal bisa memasak. Ironisnya hidup.
Raka tidak menatapku sama sekali dan menujukan matanya pada meja di depannya. “Rea Andana.” Raka berkata dan menatapku dengan mata hitamnya.
Sebenarnya ini baru pertama kali aku mendengar Raka mengucapkan namaku setelah sekian lama kita saling bicara, itu pun hanya sekedar berkata bukan memanggil. Aku balas menatap mata hitamnya. Aku mengalihkan pandanganku lagi, aku tidak bisa berlama-lama menatap mata itu. Sampai saat ini aku masih tidak bisa menatap matanya terlalu lama.
“Setelah lamanya kita pernah bicara, lo masih takut sama gue,” tukas Raka padaku.
Aku memandangnya sedikit kaget yang segera kusembunyikan. “Kata siapa, gue nggak takut sama lo,” kilahku cepat.
“Lo ngelak terlalu cepat dan membuat semuanya terbongkar.”
Seperti kelinci yang takut diterkam binatang buas aku memilih bungkam. Terkadang bungkam juga dibutuhkan saat kita berada di waktu terdesah seperti ini, dengan bungkam kita tidak memberinya jawaban antara “ya” dan “tidak”
Kepalaku menoleh melihat sekeliling dan terpaku pada sebuah foto yang menurutku sangat lucu, ada seorang bocah perempuan kecil bekisar umur 2-3 tahun yang memakai pakaian ala disney rambut kecilnya diikat keatas menjadi satu tersenyum dengan gigi ompong bagian depan menatap kamera tersenyum lebar.
Aku menunjuknya dengan semangat, itu terlihat sangat menggemaskan. “Kak, itu adek lo!”
Raka menoleh ke belakang, tepat dibelakangnya ada sebuah foto yang tadi aku sebutkan. Aku melihat wajahnya merah padam saat dia melihatnya, berusaha terlihat natural Raka berbalik kearahku.
”Iya,” Raka menjawab dengan telinga memerah.
Aku mengangga tidak percaya, bolak balik memalingkan wajahku antara foto dengan pria di depanku saat ini. Adiknya terlihat manis dan imut tapi kenapa kakaknya memiliki mulut seperti bom, dunia sepertinya sangat adil.
“Kenapa?” tanya Raka memicing.
“Nggak pa-pa.” Aku menjawab sembari menggelengkan kepalaku.
Raka menatapku dalam setelah mendengar jawabanku. Aku kembali menatapnya dengan sedikit kikuk, apakah ada yang salah denganku?
“Lo ngalihin pembicaraan gue,” ucapnya tajam.
Aku hanya diam, disangkalpun pasti akan tetap tertebak.
“Udah terang. Gue anter,” kata Raka datar sambil beranjak dari duduknya.
“Dia marah?” pikirku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments