“Lebih baik jika kita hidup sebagai simulasi dari sebuah komputer yang bisa mengalami Glitch in the Matrix”
Hidup itu apa? Itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam benakku. Apakah kita semua benar-benar hidup, yang artinya real menjalaninya sesuai dengan yang kita inginkan. Tapi kenapa banyak orang yang mengeluh pada dunia ini. Banyaknya keluhan, jerit tangis yang menyayat hati.
Tidak bisa dipungkiri jika itu masih menjadi masalah disini, kehidupan ini adalah kehidupan orang yang begitu banyak jeritan karena kebengisan manusia. Apakah masih yakin jika kita hidup di dunia real ketika banyaknya para bajingan dan para bedebah-bedebah sialan yang hidup bagaikan surga tanpa hati. Hanya melirik ke belakang pun mungkin mereka enggan.
Menolong sebuah kehidupan bagi mereka mungkin sebuah dosa, keadilan tidak ada di dunia ini. Dan para koruptor yang dengan seenaknya menyerobot harta rakyat miskin menghancurkan mereka. Hukum? Apa yang dilakukan para penegak hukum di sini, pada dasarnya mereka yang memiliki kekuasaan dan uang adalah segalanya di mata politik.
Hidup ini penuh dengan drama, ini juga yang aku sesalkan. Drama ini di buat oleh kita sendiri sebagai pelaku atau mungkin ada seorang tokoh yang menjalankannya.
Aku bersyukur jika dunia yang kita tempati saat ini adalah sebuah simulasi dari sebuah komputer, dimana itu kita hidup bukan kehendak diri kita sendiri untuk berbuat hal semacam itu. Setidaknya, aku sedikit beruntung tidak dibuat menjadi tokoh yang memiliki watak bejat seperti mereka.
Lagi, di dunia simulasi bisa saja terjadi sebuah bug yang membuat kita di ubah contoh saja seperti mengulang kembali apa yang telah kita lakukan tanpa kita menyadarinya. Ini bisa di sebut sebagai de javu.
Mungkin ini juga hanya pemikiran konyol ku, bagaimana mungkin hidup di sebuah simulasi komputer. Bagaimanapun kita harus mempercayai bahwa Tuhan kita lah yang telah menciptakan kita.
Back. Aku mungkin sedikit gila karena pemikiran ku yang tidak mungkin. Istirahat telah tiba, kini aku dan Cila sedang berada di kantin.
Tentu berhamburan dan berdesak desakan untuk memesan sebuah makanan sebuah hal biasa bagi seorang pelajar. Kegaduhan akan terjadi bagaikan pasar tradisional.
Aku dengan santainya duduk di pojok dekat jendela sembari menunggu Cila yang sedang menerobos antrean untuk memesan makanan. Memandang Cila, aku sadar jika hidup itu memang harus dinikmati tidak untuk ditakuti ataupun di hindari dan ini semua juga salahku karena menjadi seorang pengecut sejak awal.
Setangkai mawar tanpa duri terpajang di jendela terpampang memamerkan keindahannya, itu sangat indah dari pada seorang teratai putih yang manis atau lebih tepatnya berpura-pura terlihat manis.
Mawar. Mereka terlihat indah tapi juga berduri tapi setidaknya mereka menunjukkan durinya dengan gamblang tanpa kemunafikan. Sedangkan teratai putih, dia menutupi segala kebusukannya dengan tampilan barunya.
Melihat keluar jendela yang langsung terpampang keluar. Mata itu. Mata hitam pekat seolah menarikku untuk terus menatapnya.
Menyedot mataku ke dalamnya tanpa perlawanan. Tajamnya mata membuatku sedikit merinding tapi bukan sebuah ketakutan yang kurasakan, aku merasakan ketegasan dalam dirinya yang tidak aku tahu kenapa.
Mata hitam itu berpaling dariku membuatku tersadar ikut memalingkan mataku darinya. Ini aneh, perasaan aneh ini baru pertama kalinya untukku, sekilas aku melihat banyaknya penutup yang mata itu berikan. Sebuah tembok besar berada di bayangannya mungkin banyak rahasia yang terkunci di dalamnya.
Aku sangat yakin akan hal itu. Hanya, itu bukan termasuk dari ranahku hingga aku tidak bisa mengolaknya. Di dalam bentengnya aku yakin dia menutupinya dengan sangat baik, sangat baik hingga tidak ada seorang pun yang menyadarinya. Bahkan jika tadi aku tidak menatapnya selama 10 detik aku yakin jika aku juga tidak dapat melihat benteng itu di matanya.
Ini sangat unik. Aku belum pernah melihat orang yang bisa menutupi dengan benteng sebesar itu kecuali si dia. Si mata hitam yang bisa menyedot siapa pun untuk menyelam di dalamnya.
“Woy, ngelamun aja lo!”
Sentakan Cila membuatku kembali ke dunia nyata setelah berkelit dengan pemikiranku. Aku hanya berdehem dengan wajah kesalku, melihat kembali jendela di sampingmu untuk mencari black eyes yang telah menghilang.
“Ci, lo tahu black eyes nggak?” Tanyaku. Aku sendiri bingung dengan kerandomanku seolah aku tertarik untuk menyelami black eyes itu.
Cila ternganga oleh pertanyaanku. “Black eyes, black eyes. You eyes! Mana gue tahu lah, lagian siapa sih black eyes. Nama orang kok lucu banget black eyes,” timpalnya.
Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. Salahku juga sih menanyakan itu pada Cila, bahkan orang waras sekalipun tidak akan tahu memangnya ada seberapa banyak orang yang memiliki bola mata berwarna hitam di dunia ini dan aku hanya memberi nama orang itu dengan nama black eyes. Tentu saja tidak ada orang yang mengenal kecuali orang itu memang bernama black eyes.
“Bukan begitu maksudku. Ah, tahu ah. Gue bingung jelasinnya mau bagaimana,” balas ku. “Ci, lo percaya nggak kalau kita hidup di dunia simulasi yang dimana kita hanya hidup di sebuah komputer canggih,” lanjutku bertanya.
Cila memicingkan matanya menatapku aneh. Yah, pikiran konyolku kembali terlontar tanpa berpikir terlebih dulu.
“Gue tahu lo suka nulis fiksi tapi ya nggak begini juga dong Re. Dunia asli jadi dunia simulasi... ih nggak banget,” sahut Cila kesal.
“Ya, itu kan juga cuma pemikiran gue.”
“Re. Jangan campur adukkan dunia asli sama fiksi.” Cila menatapku sendu.
Aku memalingkan wajahku asal tidak menatap wajah sahabatku. “Tapi dunia ini sama dengan dunia fiksi yang penuh dengan plot drama gimana gue bisa...” gumamku semakin mengecil.
“Bisa. Lo bisa, cuma lo nggak mau berusaha lo cuma diam tanpa mau bertindak. Lo terlalu larut dalam fiksi lo hingga lupa lo juga punya kehidupan sendiri, kehidupan di dunia nyata.” Cila menatapku galak.
Sama, persis sama dengan yang berada di fiksi. Setelah perdebatan ini Cila meninggalkanku di kantin sendirian. Sama seperti fiksi yang selalu kutulis jadi bagaimana aku tidak mencampur adukkan antara fiksi dan nyata. Nyatanya aku memang tidak bisa dunia sekitarku sendiri bagaikan plot sebuah drama.
Berharap jika tempat yang kutinggali saat ini memanglah hanya sebuah simulasi komputer yang nantinya bisa merubah semua hidupku, dunia simulasi yang bisa membuatku memulainya dari awal baru karena sebuah kesalahan operasi. Memulai dengan keinginan dan mimpi yang terpenuhi.
Tidak seperti saat ini. Hidup dengan penuh ketakutan bagaikan pecundang. Hidup di dalam rumah bagaikan sangkar tertutup tanpa celah sedikit pun. Tidak ada kunci yang bisa membukanya. Kunci itu perlahan berkarat dan menghilang.
..."Lihatlah, dia yang saat ini menjadi seorang antagonis dan protagonis salah bukan protagonis melainkan teratai putih, dan aku adalah seorang figuran yang tak terlihat dalam sebuah fiksi."...
...
...
Masih di dalam kantin yang riuh tak menggangguku sedikit pun. Dunia begitu rumit, perlu banyak waktu untuk memahami dunia ini apalagi isinya tak terkecuali denganku yang seorang pengecut.
Dunia terlalu luas untukku dan memiliki banyak hal yang tersimpan rapat bagaikan misteri yang tidak tersentuh atau mungkin tidak bisa disentuh walau hanya seujung kuku.
Brak.
Lihatlah. Bahkan kini si antagonis dan protagonis sudah muncul mungkinkah ini memang dunia fiksi? Aku terkekeh pelan memperhatikan setiap adegan yang berada di depanku. Masihkah aku salah jika ini memang dunia fiksi yang terdapat peran perannya sendiri.
Dimana seorang protagonis yang kini tengah menunduk takut pada sang antagonis yang kini tengah memarahinya.
Palsu, itu semua palsu dan terlihat jelas di mataku. Protagonis itu sangat palsu dan ternyata sang protagonis memiliki caranya sendiri untuk mengambil hati orang-orang. Ternyata bukan protagonis melainkan teratai putih, itulah manusia munafik dari sekian banyaknya orang terpampang nyata di depanku.
“Lo, jangan cari masalah sama gue. ****** kecil yang masuk ke rumah gue, ngambil bokap nyokap, ngambil kakak gue dan sekarang lo merebut teman kecil gue!” teriakan Aca membahana, dia seorang antagonis disini.
“Bu... bukan begitu, aku nggak bermaksud dan nggak pernah ngambil punya kamu. Maaf kalau kamu merasa aku...”
Begitulah kira-kira yang mereka debatkan, protagonis lemah dan antagonis yang meledak-ledak. Namun kali ini protagonis itu bukan protagonis yang sebenarnya, sayang sekali ada plot twins di drama ini.
Memang banyak alur fiksi yang memiliki plot twins, salah satunya seperti yang terjadi saat ini. Sang protagonis yang berpura-pura takut dengan antagonis untuk menarik lebih banyak penonton ataupun menarik lebih banyak perhatian, bisa juga menarik orang untuk di jadikan kubunya.
Plot yang sangat menarik bagiku. Protagonis yang sebagai teratai putih akan menyesal ketika ia sudah tua atau bahkan tidak akan menyesal sama sekali di kehidupan ini. Berbagai perkembangan dalam imajinasiku membuatku senang.
..."Dan sekarang saatnya sang protagonis pria muncul bagaikan hero."...
Semakin melihat, semakin menarik. Jika bisa aku ingin mewawancarai mereka mulai dari antagonis dan protagonis wanita untuk aku jadikan pemeran fiksi dalam pikiranku yang menggebu. Sedikit gila memang, tapi inilah aku. Tidak ada seorang penulis didunia yang akan melewatkan kesempatan ini. Hanya, tidak ada seorang penulis juga gila dan mewawancarai mereka secara langsung.
Kini drama telah berkembang hingga sang antagonis menjambak hingga mendorong protagonis jingga terbentur meja. Aku terkekeh saat melihat sang protagonis memancarkan rasa marah dalam matanya, meski begitu protagonis masih memegang kendali dalam dirinya dan menahan amarah yang akan keluar.
Jika ditanya apakah aku memiliki rasa kasihan pada protagonis? Jawabannya adalah tidak, untuk apa mengasihani seorang teratai putih, yang ada aku ingin tertawa melihatnya. Gadis itu kurang sempurna menutupi iblisnya.
Hingga suara gaduh dari pintu masuk mengalihkan pusat perhatian seluruhnya. Dia... sang protagonis pria sudah muncul bagaikan fiksi klasik yang selalu aku baca, ketika antagonis dan protagonis wanita bertengkar saatnya untuk sang hero muncul.
Benar-benar terlihat mirip fiksi, semuanya menjadi diam tidak ada yang berbicara. Bahkan sang antagonis pun terdiam dan langsung menghampiri protagonis pria, dan tinggal menunggu protagonis pria untuk membela protagonis wanita. Klise.
Aku berjalan keluar tak mau melihat lagi, lagipula sudah jelas akhirnya. Lorong-lorong menuju ke kelas tampak sunyi, hanya terdengar suara sepatuku yang mengetuk lantai. Ini waktu ketenanganku. Tidak ada drama, antagonis dan protagonis yang kutentukan.
Aku. Hanya aku sendiri untuk menikmati waktuku sebelum sampai Kelas. Bagaikan Glitch in the Matrix, aku mengingat kembali black eyes yang langsung kutepis jauh.
Suara ketukan langkahku menggema sepanjang koridor yang kini bertambah satu ketukan sepatu yang tiba-tiba melewatiku. Aku tidak tahu milik siapa, ketukan yang tegas dan kuat seakan orang berhutang berjuta juta padanya.
Tinggi sekitar 178, dada lebar, dengan bobot seimbang dan terlihat sangat proporsional dengan rambut ala Korea. Terlihat tegak bagaikan tokoh yang keluar dari fiksi. Tanpa sadar langkahku terhenti dan menatap punggung pria yang telah melangkah jauh dari hadapanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments